SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Sebanyak Dua puluh dua organisasi masyarakat (Ormas) sipil Indonesia telah mengirimkan surat kepada para pejabat tinggi Uni Eropa untuk menyampaikan kekhawatiran atas semakin parahnya kondisi hutan hujan di Papua Barat dengan ancaman deforestasi 2 juta hektar hutan serta meningkatnya ancaman terhadap masyarakat adat Malind dan Yei di wilayah tersebut.
Berdasarkan siaran pers YLBHI tanggal 4 Maret 2025 dijelaskan surat ini ditujukan kepada Teresa Ribera, Wakil Presiden Eksekutif untuk Transisi Bersih, Adil, dan Kompetitif; Kaja Kallas, Perwakilan Tinggi untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan serta Wakil Presiden Komisi Eropa; Jessica Roswall, Komisaris untuk Lingkungan, Ketahanan Air, dan Ekonomi Sirkular Kompetitif; Jozef Síkela, Komisaris untuk Kemitraan Internasional; dan Maroš Šefčovič, Komisaris untuk Keamanan Perdagangan dan Ekonomi, Hubungan Antar Lembaga, dan Transparansi.
Dalam surat tersebut, organisasi masyarakat sipil meminta Komisi Eropa untuk secara serius mempertimbangkan krisis deforestasi dan ancaman terhadap hak-hak masyarakat adat di Papua dalam proses penilaian risiko negara dan bagian-bagiannya dalam skema Benchmarking Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Berdasarkan skema ini, Uni Eropa akan mengklasifikasikan negara atau wilayah sebagai berisiko rendah, standar, atau tinggi terhadap deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Penetapan ini harus dilakukan sebelum 30 Juni 2025.
Pasal 29 EUDR menyatakan bahwa penilaian risiko harus mempertimbangkan tingkat deforestasi dan ekspansi lahan pertanian. Lebih lanjut, Pasal 29(4)(d) mengharuskan Komisi Eropa untuk memperhitungkan keberadaan undang-undang yang melindungi hak asasi manusia, hak masyarakat adat, penanganan korupsi, serta transparansi dari data-data yang dibutuhkan dalam memenuhi ketentuan EUDR.
“Kami mendesak Komisi Eropa untuk memastikan bahwa Pasal 29(4)(d) diterapkan secara konsisten dan ketat di semua negara dan wilayah, termasuk Papua Barat. Tanpa pendekatan yang ketat terhadap perlindungan hutan dan masyarakat adat, skema EUDR berisiko gagal mencapai tujuannya dalam mencegah deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasok global,” ujar Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi.
Laporan yang sebelumnya telah disampaikan kepada Komisi Eropa pada tahun 2024—yang didukung lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil di Indonesia—memperjelas bagaimana ekspansi industri perkebunan skala besar di Papua telah mengancam kelestarian ekosistem serta hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Papua merupakan salah satu pemegang cadangan hutan alam untuk industri perkebunan di Indonesia seluas lebih dari 2 juta hektar—1,9 juta di antaranya hanya untuk komoditas kelapa sawit dan kayu.
Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil mendesak Uni Eropa untuk memastikan bahwa klasifikasi risiko dalam skema benchmarking EUDR mempertimbangkan kerentanan Papua terhadap deforestasi, di mana hal ini mencerminkan realitas di lapangan.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, menegaskan bahwa pembabatan hutan Papua jelas melanggar hak-hak masyarakat adat di sekitar konsesi, terutama masyarakat adat Malind dan Yei.

Solidaritas Merauke saat berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Pertanian tahun 2024 lalu (Foto: Pusaka Bentala Rakyat)
“Uni Eropa sepatutnya bisa mempertimbangkan kondisi perusakan kehidupan, perampasan hak atas ekonomi, serta pecah belah sosial di beberapa distrik di Papua Selatan, termasuk intimidasi tentara dan polisi. Konsumsi bersih Eropa jangan hanya bersih dari perusakan hutan, tetapi juga bersih dari perusakan martabat manusia,” ujarnya.
Proyek mega deforestasi besar di Papua ini menetapkan lahan seluas 1,5 juta hektar untuk sawah dan 500 ribu hektar untuk perkebunan tebu. Meski kedua komoditas tersebut tidak termasuk dalam EUDR, terdapat potensi kayu hasil babatan hutan masuk ke pasar Eropa. Lebih lanjut, potensi deforestasi harus dihitung dari keseluruhan angka bukaan hutan—tidak hanya berpatok pada ketujuh komoditas yang dicangkupi EUDR.
Riset yang dilakukan Satya Bumi dan lainnya menunjukkan bahwa batas atas perkebunan sawit di Indonesia, berdasarkan perhitungan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup, adalah 18,1 juta hektar. Saat ini, perkebunan kelapa sawit Indonesia sudah mencapai 17,7 juta hektar. Dengan ambisi Prabowo Subianto untuk membuka perkebunan pangan dan energi seluas 20 juta hektar, Papua—sebagai hutan alam terluas terakhir di Indonesia—berisiko mengalami deforestasi secara masif.
Komisi Uni Eropa harus mampu memaksimalkan penggunaan EUDR untuk menghentikan laju deforestasi dan melindungi masyarakat adat. Surat ini secara khusus meminta Uni Eropa untuk:
1. Memberikan fokus khusus atas potensi deforestasi di Papua yang terhubung dengan perkebunan pangan dan energi, termasuk minimnya pelibatan masyarakat sebagai potensi pelanggaran hak asasi manusia.
2. Meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan badan-badan terkait lainnya untuk menyelidiki apakah situasi di Papua Barat merupakan pelanggaran terhadap kewajiban hak asasi manusia internasional Indonesia.
3. Mendukung Indonesia dalam menemukan cara-cara berkelanjutan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi, termasuk meningkatkan produktivitas pertanian di lahan yang ada, mengurangi pemborosan makanan, dan memprioritaskan penggunaan lahan terdegradasi untuk perluasan.