SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Di tengah perayaan ulang tahun ke-58 PT Freeport Indonesia, yang telah beroperasi di tanah Papua, kritik tajam datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika, Anton A. Niwilingame.
Menurut Anton, meski Freeport telah memberikan kontribusi terhadap pembangunan, sistem yang diterapkan oleh perusahaan itu dinilai sangat tertutup dan cenderung eksklusif.
“Masyarakat mayoritas tidak merasakan manfaat dari sistem yang diterapkan Freeport. Mereka merasa kehilangan tanah, gunung mereka hancur, sungai mereka tercemar, dan yang lebih parah lagi, negosiasi yang tidak transparan,” katanya ketika diwawancarai Selasa (8/4/2025) di Kantor DPRK Mimika.
Kritik ini semakin menguat dengan contoh buruknya infrastruktur yang menghubungkan wilayah-wilayah penting di Papua, seperti jalan dari Tembagapura ke Kampung Waa Banti yang sering putus saat hujan, serta akses jalan darat yang tidak ada di wilayah terdekat seperti Tsinga dan Aroanop.
“Masyarakat bangga disebut ‘Tiga Desa’, tapi kenyataannya, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Hak dasar orang asli Papua diabaikan,” tambahnya.
Dalam pernyataan tersebut, Anton juga menyinggung soal pengambilalihan 51 persen saham Freeport oleh pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo, dengan 10 persen dari saham tersebut dialokasikan untuk masyarakat Papua.
Namun, ia menyebutkan bahwa sebagian besar dari 7 persen yang diperuntukkan bagi Kabupaten Mimika, khususnya yang 4 persen seharusnya diberikan kepada masyarakat yang terdampak langsung, hingga kini tidak jelas distribusinya.
“Ini seperti bom waktu. Masyarakat bertanya-tanya, di mana hak mereka yang 4 persen? Pemerintah sudah berjuang memberikan saham, kenapa masih ditahan?” tegasnya.
Lebih lanjut, Anton mempertanyakan keberlanjutan produksi tambang Freeport yang sebagian besar diproses di Gresik, Jawa Timur, dengan 60 ton emas diproduksi setiap tahunnya.
“Timika punya tambangnya sendiri, tapi apa yang didapat masyarakat? Gunung kami dihancurkan, isinya dikeruk, tetapi kami tidak tahu ke mana hasilnya. Proses distribusinya tidak jelas,” ungkapnya.
Tuntutan untuk transparansi semakin menguat di akhir pernyataannya. Anton berharap, seiring bertambahnya usia Freeport, perusahaan tersebut bisa lebih transparan dalam mengelola serta mendistribusikan hak-hak masyarakat Papua.
“Usia Freeport sudah 58 tahun, seperti orang tua. Jangan sembunyikan hak masyarakat. Buka data, berikan hak kami dengan jelas!” serunya.
Tuntutan ini kata dia mencerminkan keresahan mendalam masyarakat adat yang selama puluhan tahun telah hidup berdampingan dengan Freeport.
“Namun masih merasakan ketimpangan dalam pembagian hasil tambang dan pembangunan di wilayah mereka,” pungkasnya.