POLEMIK Rolling atau rotasi jabatan bisa terjadi di sejumlah pemerintahan. Rolling jabatan yang menimbulkan polemik bisa berdampak pada pelayanan publik dan administrasi pemerintahan.
Rotasi jabatan yang terjadi di Mimika, dalam masa kepemimpinan OMTOB, tidak hanya dilakukan oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng, namun Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob juga sempat melakukan rotasi jabatan saat menjabat sebagai Plt. Bupati pada Oktober 2022. Namun rolling jabatan yang dilakukan pada September hingga Desember (4 kali berturut-turut) oleh Bupati Omaleng disebut publik paling ‘Brutal’.
Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Bonefasius Bao, S.IP,MA, yang juga ikut menyimak berbagai informasi berkaitan dengan rolling jabatan di Kabupaten Mimika dengan berbagai dinamika.
Dikatakan, jika dipotret dari peraturan pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2020 perubahan dari PP 17 tahun 2017 tentang manajemen ASN.
“Dari kacamata saya persoalan mutasi atau rolling jabatan itu di kalangan PNS adalah hal yang biasa, wajar oleh Pemkab selaku user atau pengguna tapi dengan catatan bahwa rolling atau mutasi harus dilaksanakan sesuai dengan atauran dan mekanisme yang berlaku,” kata Bonefasius kepada Sasagupapua.com, Rabu (19/12/2023).
Bupati selaku pengguna, memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang untuk merotasi atau memutasi jabatan. Dalam merotasi jabatan tentu memiliki batasan seperti diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.
Dalam undang-undang tersebut menyebutkan misalnya, sahnya sebuah keputusan harus dipetakan oleh pejabat yang berwenang, kemudian dibuat melalui prosedur sesuai dengan objek substansi kebutuhan.
Terkait dengan mutasi jabatan poin penting yang harus diperhatikan Bupati sebagai pemegang kebijakan yakni berkaitan dengan kompetensi.
“Disini sangat penting sekali kalau kita asal comot, apalagi ada istilah ‘orda’ punya kepentingan politik atau semacam ucapan terimakasih atas kerja-kerja politik selama ini itu berbahaya karena dalam ASN itu kita kenal yang namanya merit sistem jadi kalau merit sistem ini dilanggar kan berbahaya dalam pelayanan publik,” ungkapnya.
Kemudian berkaitan dengan pola karir yang penting untuk diperhatikan dalam merolling jabatan seorang ASN dalam pemerintahan.
“Kalau belum memenuhi eselon dan bisa diganti dengan eselon yang lebih rendah, atau baru diangkat menjadi ASN lalu ditempatkan dalam sebuah jabatan namun tidak memenuhi syarat undang-undang, ini berbahaya,” katanya.
Selain pola karir, yang harus diperhatikan juga adalah terkait pemetaan pegawai, pemetaan pegawai kata Bonifasius jangan menumpuk pada satu instansi namun perlu ada pemerataan dengan cara pemetaan.
“Syarat berikutnya adalah terkait dengan pengembangan karir kemudian prestasi, kinerja dan perilaku kerja ini kan penting sekali apakah yang diangkat itu punya prestasi kerja memenuhi syarat atau seperti apa. Dan juga apakah memenuhi kebutuhan organisasi jangan organisasi tidak dibutuhkan tetapi dipaksanakan untuk rotasi dan segala macam,” jelasnya.
Bonefasius mengatakan, mutasi jabatan memang paling penting adalah kesesuaian antara kompetensi dengan jabatan. Ada klasifikasi dan pola pikir serta yang paling penting adalah prinsip larangan ‘konflik kepentingan’ hal tersebut menjadi sangat urgen.
“Jadi jika proses (rolling jabatan) sarat akan kepentingan, ini sangat berbahaya dalam pelayanan publik, kalau sampai kemudian ada polemik maupun dinamika,” kata Bonefasius.
Ia menjelaskan birokrasi pemerintahan bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik dan melakukan pengelolaan atas kepentingan masyarakat, tentunya akan berbeda-beda tergantung pada aspek yang dominan mempengaruhi.
“Kalau kita memperhatikan aspek politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan di Indonesia umumnya dan di daerah-daerah khususnya terjadi tarik-menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi,” ujarnya.
Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat, berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan.
Hingga saat ini, kuatnya pengaruh politik terhadap birokrasi (politisasi biroktasi) membuat semakin sulitnya mesin birokrasi memberikan pelayanan publik yang professional dan rentan terjadinya tarik-menarik kepentingan politik.
“Dalam kontestasi pilkada misalnya, terkadang calon menggalang birokrasi sebagai tim sukses, apalagi calon wakilnya berasal dari kalangan birokrat. Langkah ini sedikit banyak akan memengaruhi kontelasi birokrasi yang ujung-ujungnya memecah belah birokrasi itu sendiri. Sangat disayangkan karena menggangu profesionalisme bagi birokrat yang masih aktif sebagai ASN,” ungkapnya.
Apa yang terjadi di Mimika menurut Bonefasius, ada ‘tarik menarik’ yang berimplikasi terhadap pelayanan publik dan administrasi pemerintahan akhirnya tidak maksimal dalam pemerintahan.
Sehingga kata dia jika dinamika di Mimika terus berlarut maka pelayanan publik pasti akan terhambat dan tidak berjalan maksimal.
“Jadi bagaimana pejabat yang dilantik tadi mau menjalankan kewenangan jabatan barunya dalam pelayanan publik, jika tak punya legitimasi. Jadi kalau tidak punya legitimasi tidak ada pengakuan ini prosesnya pasti akan terhambat apalagi misalnya di instansi tertentu atau opd tertentu jabatan itu tidak mendapatkan legitimasi dari bawahan,” katanya.
Jika pelayanan publik tidak maksimal, maka persoalan ini bisa mengorbankan masyarakat.
“Karena birokrasi tidak boleh berhenti dalam pelayanan publik pada masyarakat karena itu sangat penting sekali,” ujarnya.
Sebagai akademisi, ia menganalisis, rotasi yang dilakukan di Mimika bukan tanpa sebab.
“Jadi kalau kita bicara mengenai kalau dalam kaca mata saya misalnya kenapa kemudian bupati melakukan rotasi atau semacam mutasi jabatan tadi mungkin ada hal-hal kepentingan yang tidak bisa dijangkau dalam ruang kekuasaan,” ujarnya.
Misalnya, kata Bonefasius ada manuver-manuver politik atau ada lobi-lobi semacamnya yang bisa berimplikasi buruk terhadap proses administrasi pelayanan publik.
Sehingga, ia mengingatkan Bupati selaku user tidak bisa serta merta melakukan rotasi karena memiliki kewenangan tanpa melihat aturan. Begitupun Sekda selaku pimpinan ASN tertinggi yang paham akan aturan juga harus memberikan masukan penting kepada Bupati
Ia juga mengatakan sebagai catatan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah ASN harus bersikap netral.
“Jadi dalam aktivitas politik baik pilpres, maupun pilkada untuk daerah itu harusnya mereka netral. nah ini kan kalau tidak netral apalagi kalau kita bicara jabatan politik yang dilakukan di tingkat daerah kan bisa berimplikasi kepada ASN yang misalnya tidak netral tadi ketika dalam pilkada mereka memihak pada salah satu paslon,” katanya.
Dikatakan, keterlibatan ASN juga cukup kuat dalam memberikan dukungan kepada calon Bupati, yang setidaknya dipengaruhi oleh dua hal.
Pertama, iming-iming naik jabatan atau naik promosi ketika nantinya terpilih. Hal ini sebagai implikasi ketidaknetralan dimana penempatan jabatan berdasar kepentingan politik yang mengabaikan kompetensi mengedepankan mariage system bukan merit system.
Kedua, posisi ASN yang cenderung dilematis, satu sisi dituntut untuk bekerja secara professional disisi lain ASN sebagai bawahan pembinaan Pejabat Politik yang tidak bisa melawan instruksi atasan sehingga terjadi “monoloyalitas”.
“Ini dilematis, kalau tidak ikut arah angin politis, bisa tidak kebagian jabatan, atau jabatan yang sekarang akan terampas ketika pemimpin merasa bahwa perlu bersih-bersih rotasi jabatan bagi ASN yang tidak sejala atau sepaham saat kontestasi politik berlangsung, maka di sini muncul istilah “balas budi politik” dan “dendam politik” di kalangan birokrasi. Ketika birokrasi tidak netral dan jagonya kalah, masuk kategori “dendam politik”, habislah karier dia sebagai ASN,” kata Bonefasius.
Sehingga ia berharap ASN di Mimika bisa menunjukan kenetralan dan tidak berpihak kepada kepentingan-kepentingan politik dalam arti yang bisa mengorbankan jabatan dan lainnya.
Publik Mimika juga menilai hubungan antara Eltinus Omaleng dan Johannes Rettob ranggang, meskipun jabatan mereka telah diperpanjang lagi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 143/PUU-XXI/2023 memastikan pasangan ini menjabat hingga periode keduanya berakhir di tahun 2024.
Bonefasius mengatakan, dalam pemerintahan tentu ada bupati dan wakil bupati, sangat disayangkan jika dalam proses tidak ada saling koordinasi antara Bupati dan Wakil Bupati.
“Untuk apa kita memilih satu paket bupati dan wabup tapi kemudian kerja-kerjanya kedua paket ini tidak seiring sejalan dalam penyelenggaraan pemerintahan itu kan sangat disayangkan,” ujarnya.
Sehingga kehadiran bupati dan wakil juga menjadi hal yang sangat penting dalam birokrasi pemerintahan.
“Bagaimana dua orang ini bisa menjadi pemimpin yang betul betul dalam hal tadi kalau kita bicara mengenai penyelenggaraan pemerintahan bisa saling mengisi, saling bertanya konsultasi itu sangat penting. Jangan sampai nanti orang menilai bahwa pasangan ini hanya mesra di awal kemudian tidak mesra dalam perjalanan,” pungkasnya.
Penulis: Red