Site icon sasagupapua.com

Aktivitas Pendakian di Gunung Cartenz Tanpa Persetujuan Masyarakat Adat ?

Suasana di Area Gunung Cartensz. (Foto: tropik_adventure)

SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Kabar duka menyelimuti sejumlah media sosial mengiringi kisah kepergian dua sahabat, Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono yang meninggal dunia akibat cuaca yang sangat buruk mulai dari hujan salju, hujan deras hingga angin kencang sehingga menyebabkan hypotermia usai melakukan pendakian di Puncak Cartenz pada Sabtu, 1 Maret 2025 lalu.

Memang untuk mendaki puncak Cartenz tidaklah mudah. Ini juga diungkapkan oleh Penyanyi Fiersa Besari yang juga ikut dalam pendakian ke Puncak Cartenz namun dengan tim yang berbeda.

Fiersa dalam postingannya mengungkapkan rasa belasungkawanya kepada Lilie Wijayanti Poegiono (Mamak Pendaki) dan Elsa Laksono.

“Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kekuatan. Semoga Bu Lilie dan Bu Elsa diberikan tempat terbaik di sisi-Nya,” katanya.

Ia juga meminta maaf kepada masyarakat karena baru memberikan kabar perihal situasi Carstensz Pyramid atau puncak tertinggi Indonesia dengan nama lain Puncak Jaya.

“Karena kami yang berada di basecamp Yellow Valley (YV) pun merasa sangat syok dan berduka atas tragedi yang telah terjadi,” katanya.

Ia menjelaskan dirinya bersama dengan satu rekannya yakni Furky Syahroni baru tiba kembali di Timika pada Senin (3/3/2025) setelah tertahan di YV terkait

cuaca buruk yang berdampak pada lalu lintas helikopter yang menjadi satu-satunya akses resmi ke YV untuk saat ini.

“Kondisi kami Alhamdulillah stabil. Untuk kronologi, saya rasa tidak perlu banyak menjelaskan, karena sudah banyak sumber berita kredibel yang memberikan informasi,” terangnya.

Adapun kata Fiersa menjelaskan dirinya tergabung dalam tim yang terdiri dari tiga orang. Sementara Lilie dan Elsa tergabung dalam tim yang terdiri dari empat orang. Mereka beda tour operator.

“Kami ditemani para guide. Selain kami dan tamu-tamu WNA hari itu pada 28 Februari 2025, ada juga tamu dari pihak Balai Taman Nasional yang turut mendaki,” kata dia.

Ia juga sedikit memberikan penjelasan terkait pendakian.

Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono. (Foto: Istimewa)

“Carstensz Pyramid berbeda dengan gunung di Indonesia pada umumnya. Medan tebing curam dengan ketinggian 600-an meter (basecamp YV 4200-an MDPL – Puncak Jaya 4884 MDPL), mewajibkan kita untuk lancar menggunakan alat-alat tali untuk naik dan turun (ascending dan rappelling) sebagai safety procedure,” ujarnya.

Sebagai catatan, lanjut Fiersa di ketinggian di atas 4000-an MDPL, apalagi dalam cuaca buruk, kita memang tidak boleh diam terlalu lama, sebab rentan terkena hipotermia.

“Rangkaian tragedi yang menimpa Bu Lilie dan Bu Elsa, juga tiga korban lainnya yang pada saat itu masih terjebak di area tebing, baru saya dan Furky Syahroni ketahui setelah kami tiba di basecamp YV (kami tiba 28 Februari 2025 – 22:48 WIT, dapat kabar 1 Maret 2025 – sekitar 04 WIT). Kaget dan sedih, tapi bersama orang-orang di YV, mengontak korban yang terjebak dengan menggunakan HT agar tetap merespons, sampai akhirnya mereka dijemput oleh para relawan-baik lokal ataupun internasional-pada tanggal 1 Maret 2025.Alhamdulillah ketiganya selamat, meski sempat kritis,” tutupnya.

PT. Tropis Cartenz Jaya Dipercaya Mewadahi Seluruh Operator di Indonesia

Operator Lokal Pendakian Puncak Cartenz Jdari manca negara yanki PT Tropis Cartenz Jaya dalam bulan Februari 2025  dipercayakan untuk mewadahi seluruh operator di Indonesia.

Mereka mengaku siap memberdayakan dan melibatkan tenaga pendukung sumber daya manusia (lokal) untuk program pendakian Puncak Cartenz seperti tenaga porter dan pemandu pendaki (Guide).

Hal ini disampaikan pihak PT. Tropis Cartenz Jaya pada Senin (24/2/2025) lalu saat diwawancara wartawan di Sekretariat PT Tropick Cartenz Jaya.

Mereka menjelaskan sebagai operator Lokal yang dipercayakan untuk mewadahi seluruh operator pendakian di Indonesia, PT Tropick  Cartenz Jaya berkomitmen untuk memberdayakan tenaga-tenaga pendukung bagi pendaki yang akan naik ke Puncak Cartenz yang merupakan salah satu puncak tertinggi di Indonesia dan masuk dalam World Seven Summit.

Cartenz Pyramid, puncak tertinggi di Indonesia yang berselimutkan salju abadi ini berketinggian 4.884 mdpl. Sebagai salah satu World Seven Summit, gunung ini banyak dijadikan sebagai destinasi impian para pendaki sejati dari Indonesia bahkan mancanegara.

Mereka mengaku program ini telah disambut baik dan banyak pendaki dari manca negara sudah berdatangan ke Timika dan akan mendaki dari Bulan Februari hingga Maret 2025.

Manager PT Tropick Cartenz Jaya, Van Irianto saat itu menjelaskan untuk awal pendakian di Bulan Februari, pihaknya telah mengakomodir dan melibatkan sejumlah tenaga yang pendukung untuk kegiatan pendakian ke Puncak Cartenz yang terdiri dari putra-putri dari Suku Amungme, untuk sementara bisa mendampingi dan mengawal seluruh pendaki.

“Karena ini awal dari program pendakian Puncak Cartenz setelah lima tahun lebih vakum, dan kini mulai Februari hingga Maret secara bertahap akan ada pendaki dari seluruh dunia yang akan berdatangan ke Timika. Karena itu, keterlibatan anak-anak Suku Amungme dalam pendakian awal ini berstatus magang atau belajar untuk bisa mendapatkan lisensi untuk berbagai posisi tenaga pendamping pendaki, baik sebagai porter maupun guide,”ungkap Van Irianto.

Mereka juga berkomitmen untuk menggandeng tenaga-tenaga lokal untuk bisa mendampingi para pendaki, karena itu bertahap kita akan latih dan seperti magang untuk mengetahui syarat-syarat menjadi tenaga pendamping pendaki.

“Secara bertahap terus kita akan bina mereka, karena ini menjadi atensi dari Kapolda dan Kapolres. Karena ini atensi dari pihak Kepolisian untuk bisa memberdayakan tenaga-tenaga lokal dalam pendakian Puncak Cartenz, kalau nantinya bisa menciptakan atau bisa menyiapkan tenaga lokal yang sudah handal, sehingga kedepan tenaga lokal yang lebih banyak kesempatan,”sebutnya.

Ia berharap, untuk program pendakian Puncak Cartenz ini mampu mendatangkan ekonomi pendapatan khususnya tenaga-tenaga lokal, dan ada income untuk daerah.

Lebih khusus bisa mendatangkan PAD dan pendapatan ekonomi warga lokal seperti Kuliner, kerajinan dan bisa melihat destinasi lainnya selain Puncak Cartenz.

“Kami berharap dengan Pendakian Puncak Cartenz ini dapat mendatangkan PAD bagi daerah, dan bisa berdampak pertumbuhan ekonomi bagi usaha kecil menengah Mikro dan lebih khusus Mama-mama Papua. Para pendaki yang merupakan WNA bisa memberikan kontribusi pendapatan bagi usaha ekonomi kecil di Mimika,”tuturnya.

Selain tujuannya untuk ke Puncak Cartenz, para turis juga bisa mengunjungi destinasi lain yang ada di Mimika seperti mengunjungi sanggar Ukiran Kamoro maupun pertunjukan seni budaya Kamoro.

“Selain ke Puncak Cartenz, para turis yang datang juga bisa ada pilihan untuk mengunjungi destinasi lainnya di Papua seperti, keindahan Laut Triton di perbatasan Mimika Kaimana, di Nabire ada Hiu Paus, Wamena ada festival Lembah Baliem, di Sorong ada Wisata Laut di Raja Ampat dan destinasi lainnya,”aku Van Irianto.

Ia menuturkan, untuk mengawali pendakian puncak cartenz sudah ada sejumlah pendaki yang sudah menuju Puncak Cartenz, dan bertahap akan terus berdatangan pendaki untuk nantinya juga melakukan pendakian dan bergabung bersama pendaki yang sudah lebih dulu tiba di lokasi dengan menggunakan helicopter.

Mendapatkan Sorotan dari Lembaga Adat, DPRK Hingga Pemerintah

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika, Dolfin Beanal pernah bersuara dan menolak aktivitas wisata yang dilakukan tanpa melibatkan masyarakat pribumi tersebut.

Dolfin saat itu menyoroti maraknya turis asing yang telah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz tanpa adanya regulasi yang jelas serta keterlibatan masyarakat asli Amungme sebagai pemilik hak ulayat.

Ia juga menyebut bahwa kawasan tersebut disebut merupakan tempat sakral bagi masyarakat suku Amungme.

“Jadi beberapa waktu terakhir ini hotel-hotel penuh (oleh turis),” katanya.

Ia sepakat dengan suara dari masyarakatnya yang ada di wilayah dapil V mereka menolak adanya aktivitas pendakian tersebut.

“Itu benar, saya mendukung. Entah siapapun yang mengakomodir, orang-orang yang punya kepentingan dibalik ini untuk merugikan masyarakat pribumi. Cartenz dan salju itu dulu orang Amungme menyebut tempat yang pamali atau sakral dan tempat suci bukan sembarang,” kata Dolfin, 25 Februari 2024 lalu.

Ia juga meminta agar pemerintah bisa mengambil tindakan tegas. Ia menegaskan bahwa izin pihak mana pun yang melayani masuknya turis ke Cartenz harus dicabut, baik transportasi udara maupun darat.

Anggota DPRK Mimika dari Partai Gerindra, Dolfin Beanal (Topi) (Foto: Kristin Rejang/sasagupapua.com)

“Saya menolak tegas jika ada yang melanggar dan memasukkan turis ke sana tanpa izin yang jelas. Kalau ada yang melayani, entah itu mobil atau pesawat, izinnya harus dicabut! Kecuali anak pribumi yang mengelola,”tambahnya.

Aktifitas wisata ini juga pernah mendapatkan tanggapan dari pihak  pemerintah daerah.

Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Disparbudpora) Mimika, Elisabeth Cenawatin, mengakui bahwa selama ini pemerintah daerah tidak mengetahui adanya aktivitas wisata di Puncak Cartenz. Ia baru menerima laporan dari masyarakat terkait pengusaha yang telah menjalankan usaha wisata tanpa koordinasi dengan pemerintah.

“Saya baru tanyakan ke Kabid Pariwisata, ternyata selama ini pemerintah tidak tahu. Beberapa perusahaan sudah masuk dan melaksanakan aktivitas pendakian tanpa sepengetahuan kami,” kata Elisabeth.

Ia menambahkan bahwa ada sekitar empat hingga lima pengusaha yang terlibat dalam aktivitas ini dan mereka akan segera dipanggil untuk rapat bersama pemerintah dan pemilik hak ulayat.

“Selama ini mereka jalan tanpa ijin dan kami pemerintah belum tahu aktivitas itu. Saya sudah perintahkan ibu kabid untuk mendata mereka, cari tahu alamat dan nomor teleponnya. Kami akan surati dan duduk bersama untuk membahas hal ini. Pemilik hak ulayat juga sudah menyampaikan surat permintaan rekomendasi untuk pengelolaan wisata di Cartenz, jadi semua pihak harus terlibat dalam diskusi,” jelasnya.

Ia menjelaskan baru menjabat selama tiga bulan dan setelah mengecek informasi tersebut ternyata selama ini pemerintah tidak pernah ada komunikasi dan koordinasi dengan pengusaha-pengusaha ini

“Saya berusaha untuk kita duduk bicara dengan pengusaha dan pemilik hak ulat disini. Dalam waktu dekat ini kita akan duduk bicara supaya semua bisa tahu perusahaan ini punya ijin atau tidak, kita juga bisa tahu bahwa dari usaha ini kita pemerintah harus buat apa,”  katanya.

Elisabeth juga menegaskan bahwa setelah pertemuan dengan para pengusaha dan pemilik hak ulayat, pemerintah akan segera menyusun regulasi resmi.

“Pemerintah harus tahu aktivitas di sana, harus ada pemasukan yang jelas bagi daerah dan masyarakat setempat,” katanya.

PIhak Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA)  juga sempat ikut bersuara.

Direktur Eksekutif LEMASA (Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme),  Stingal Johnny Beanal pada 18 Februari 2025 menyatakan penolakan terhadap operasi wisata pendakian Gunung Cartensz yang dilakukan tanpa persetujuan dan keterlibatan masyarakat adat setempat.

Dimana dalam penolakan terhadap merupakan keluhan dari masyarakat asli, pasalnya rencana pendakian oleh sekitar 80-90 wisatawan asing yang dijadwalkan pada 19 Februari 2025 melalui PT Tropik. Perusahaan ini dinilai tidak melibatkan pemilik wilayah adat dalam proses perizinan.

Sebelumnya, telah ada komitmen untuk mewujudkan penyelenggaraan pariwisata berbasis masyarakat adat yang bertanggung jawab, adil, merata, dan berkelanjutan di Carstensz Pyramid, Papua, sedangkan dalam kasus ini, PT Tropik tidak memenuhi komitmen tersebut.

Diketahui sejak lebih dari 17 tahun operasi wisata di kawasan tersebut berlangsung, lembaga adat sebagai pemilik wilayah tidak pernah dilibatkan atau dimintai persetujuan.

“Tentunya kami sebagai pemilik gunung dan tempat ini tidak tahu sama sekali tentang permainan tingkat tinggi ini. Sampai saat ini, tidak ada keterlibatan oleh masyarakat, tidak ada surat izin dari lembaga adat,” tegasnya.

Dirinya secara tegas menyampaikan agar para  perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut harus menghentikan aktivitasnya hingga ada kesepakatan resmi dengan lembaga adat dan masyarakat setempat.

“Kami tidak mengizinkan pendakian besok. Dimana mereka harus duduk bersama, dalam satu honai guna melakukan musyawarah dengan pemilik wilayah, dan mencari solusi yang adil,” jelasnya.

Dirinya berpesan kepada perusahaan penerbangan diantara, Intan Angkasa, Dimonim, dan Asian One, agar dihentikan untuk melakukan penerbangan wisatawan ke tempat pendakian tersebut tanpa ijin dari Lembaga Adat. Ia menegaskan dan menyatakan, besok tidak boleh ada lagi operasi atau pengangkutan turis asing ke Cartensz tanpa persetujuan kami,”katanya

LEMASA saat melakukan jumpa pers beberapa waktu lalu.

Disisi lain,Anis Wanmang Tokoh masyarakat menuntut agar perizinan operasi wisata di Gunung Cartensz dicabut jika tidak melibatkan lembaga adat. Mereka menegaskan bahwa wilayah adat adalah milik mereka, dan segala aktivitas yang dilakukan di dalamnya harus mendapat persetujuan dari pemilik sah.

Ia, menyampaikan bahwa keluhan masyarakat telah disampaikan kepada lembaga adat akibat pendakian yang dilakukan secara sepihak tanpa menghargai hak-hak pemilik wilayah.

“Jika ada perusahaan yang ingin memajukan wisata pendakian Gunung Cartensz, mereka harus melibatkan pengusaha asli Papua dan menghargai masyarakat adat,” tegasnya.

Dirinya juga meminta agar pemerintah daerah segera menetapkan regulasi khusus yang melindungi wilayah adat dan mengatur masuknya wisatawan berdasarkan aturan yang berlaku.

“Siapapun yang ingin masuk ke wilayah adat kami harus melalui lembaga adat. Jangan sekali-kali menggunakan kekuatan militer atau aturan sepihak,” katanya.

“Masyarakat adat Suku Amungme menegaskan bahwa mereka tidak akan membiarkan pendakian yang dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan dari pemilik wilayah,” tutupnya.

Dolfin Beanal: Sudah Saya Ingatkan Itu Tempat Sakral

Dua pendaki yang meninggal dunia menjadi pusat perhatian  seluruh masyarakat khususnya masyarakat adat.

Ketua DPRK Mimika, Dolfin Beanal yang juga putra asli suku Amungme kembali mengingatkan apa yang sudah pernah disampaikan sebelumnya.

“Saya sudah sampaikan sebelumnya, itu tempat sakral, kalau pemilik hak ulayat, lembaga adat tidak ijinkan tetap akan terjadi.  Itu bukan hanya kali ini tapi sejarahnya sudah ada kalau sudah melanggar aturan-aturan adat tetap akan celaka,” katanya ketika diwawancarai Senin (3/3/2025).

Ia mengatakan saat ini baru dua orang pasca dibukanya kembali wisata pendakian Cartenz, ia mengingatkan jangan sampai semakin banyak korban lain.

“Masyarakat sudah sampaikan bahwa tempat itu sakral pamali. Itu ada syarat-syarat adatnya kalau mau masuk kesitu bukan tutup mata baru masuk, jadi PT (perusahaan) itu harus tanggung jawab,” tegasnya.

Menurutnya apa yang dilakukan melanggar adat istiadat sebab untuk naik ke gunung tersebut memiliki aturan adatnya.

“Ini itu resikonya. Sebelumnya kan saya sudah sampaikan tempat itu pamali, tempat itu sakral jadi ada syaratnya untuk naik disitu ada adat sendiri tapi dong (mereka-red) tidak mau dengar jadi,” ujarnya.

Ia mengatakan karena tempat yang sakral maka tidak bisa sembarang untuk naik tanpa ijin dari masyarakat adat.

“Jadi jangan sekali kali main tabrak-tabrak, itu dua orang yang lalu (2024) kan satu orang korban karena itu juga ilegal juga,” terangnya.

Dolfin mengungkapkan, ada syarat adat yang harus diikuti untuk sampai ke puncak Cartenz, dan harus ada persetujuan lembaga adat yang punya gunung.

“Itu berapa marga, baru bisa ijinkan naik itu baru aman-aman. Freeport saja tidak berani naik di tempat itu,  itupun Freeport mau naik kunjungi saja minta tolong masyarakat doa, adat baru naik ke tempat itu.  Kecuali yang kelola tempat itu adalah anak pribumi langsung punya gunung itu akan aman karena ada syarat-syarat yang mereka lakukan,” katanya.

Ia berharap perusahaan yang membuka wisata tersebut harus bertanggung jawab dengan dua pendaki yang menjadi korban tersebut.

“Tidak boleh geser kemana mana tapi bertanggung jawab oleh PT.PT tertentu yang bawa naik , sponsor dan yang melayani mereka transportasi dan lainnya,” ungkapnya.

Anggota DPRK Dolfin Beanal. (Foto: Kristin Rejang)

Ia pun menyayangkan pemerintah Kabupaten Mimika juga tidak mengetahui hadirnya perusahaan yang menangani wisata Cartenz tersebut.

“Seharusnya mau kecil atau besar mau kemana pun harus diketahui pemerintah yang ada. Karena harus ada regulasi ada pemerintahannya jadi mungkin diijinkan, surat resmi dari Pemda silahkan saja. Tapi pun Pemda kasih keluar pun harus ijin masyarakat  setempat.  Saya kan tau saya sebagai anak gunung dan punya tempat disitu langsung jadi syarat-syarat  aturan saya tau jadi saya berani omong kemarin.

Orang tua sudah kasih tau aturan seperti itu saya saja orang asli disitu takut naik disitu karena salju itu adalah sakral, pamali tempat itu tidak bisa lihat satu dua kali, kalau lihat lama-lama itu bahaya. Apalagi kamu yang tidak mengenal lagi coba-coba kesitu,” pungkasnya.

 

 

Berikan Komentar
Exit mobile version