Budaya · 4 Jun 2025 14:01 WIT

Amungme Membutuhkan Pemimpin Visioner: Jalan Keluar dari Krisis Kepemimpinan


Menuel John Magal Perbesar

Menuel John Magal

Oleh : Menuel John Magal

“Where there is no vision, the people perish; but he that keepeth the law, happy is he.” (Proverbs 29:18, KJV); “Bila tidak ada visi, rakyat dibiarkan tak terkendali, tetapi orang yang memelihara hukum, berbahagialah dia.” (Amsal 29:18, ILT)

Firman ini begitu relevan dalam menggambarkan realitas yang tengah dihadapi masyarakat Amungme saat ini. Tanpa visi yang jelas, suatu komunitas mudah terombang-ambing, kehilangan arah, dan rentan menjadi korban berbagai kepentingan eksternal. Pemimpin yang lemah, tanpa visi dan keberanian, hanya akan membawa komunitasnya menuju ketidakpastian. Sebaliknya, pemimpin yang berpegang teguh pada prinsip keadilan dan kebenaran akan menjadi pilar kekuatan yang mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Namun, tantangan besar menanti mereka yang memilih untuk berdiri di atas prinsip. Sistem yang cenderung kapitalistik seringkali menciptakan lembaga-lembaga semu dan mengangkat figur-figur lokal yang kurang berdaya, hanya untuk dijadikan instrumen dalam mempertahankan kepentingan pihak luar. Situasi ini telah menjadi kendala serius bagi para pemimpin dan pejuang adat yang tulus memperjuangkan aspirasi masyarakat adat di dunia manapun termasuk suku Amungme.

Dalam perjalanan sejarah, Amungme pernah memiliki seorang pemimpin visioner dan berkarisma: “Almarhum Tom Beanal.” Di bawah kepemimpinannya (1994–2000), LEMASA berdiri kokoh sebagai benteng perjuangan masyarakat adat Amungme. Tom Beanal bukan sekadar pemimpin administratif; ia adalah simbol keberanian, kebijaksanaan, dan dedikasi dalam memperjuangkan hak-hak masyarakatnya. Di tangannya, LEMASA menjadi rumah bersama yang mampu menyatukan kekuatan masyarakat adat, pemerintah, dan pihak eksternal, termasuk perusahaan besar yang beroperasi di tanah Amungsa.

Namun, kejayaan itu tidak bertahan lama. Pasca kepemimpinan Tom Beanal, absen dalam kepengurusan LEMASA, Pengurus yang dipercayakan LEMASA terjebak dalam krisis panjang: lemahnya kepemimpinan, penyalahgunaan wewenang, praktik korupsi, serta penyimpangan dari prinsip-prinsip Musyawarah Adat (Musdat). Jabatan Direktur LEMASA kerap menjadi komoditas, Musdat diabaikan, dan dana-dana strategis yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama malah disalahgunakan. Hal ini berdampak buruk: kepercayaan masyarakat menurun, solidaritas melemah, dan perjuangan hak-hak masyarakat adat menjadi terpecah-belah.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, sebagian terpelajar Amungme justru terlibat dalam pusaran kepentingan ini, bukan sebagai agen perubahan, melainkan sebagai bagian dari masalah. Bahkan masyarakat biasa pun sering dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang lemah dan kurang memahami substansi perjuangan, demi mempertahankan posisi atau kepentingan sesaat.

Kepemimpinan Tanpa Visi: Jalan Buntu Perjuangan

Kenyataan ini mengingatkan kita pada firman Tuhan: “Di mana tidak ada wahyu, rakyat menjadi liar.” Tanpa pemimpin visioner, masyarakat Amungme ibarat kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing dalam lautan konflik kepentingan. LEMASA yang semestinya menjadi penjaga hak-hak masyarakat adat, kini kehilangan daya tawar di hadapan pemerintah dan pihak swasta, bahkan gagal menjalankan fungsinya sebagai rumah bersama bagi masyarakat adat Amungme.

Pesan Terakhir Seorang Muridan bagi Masyarakat Amungme

LEMASA lahir sebagai wadah perjuangan politik dan budaya Amungme, didirikan pada 1994 oleh Tom Beanal untuk melawan dominasi PT Freeport Indonesia, represi militer, dan tekanan migrasi yang mengancam eksistensi masyarakat adat. Dengan dukungan berbagai organisasi masyarakat sipil, LEMASA berhasil membangkitkan kesadaran kolektif, memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat adat, dan menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Selain, Tom Beanal, LEMASA juga melahirkan tokoh-tokoh muda seperti Yopi Kilangin, Benny Senawatme, Bosko Pogolamum, dan lain-lain.

Namun, perjalanan LEMASA tidak selalu mulus. Ketika beberapa pemimpinnya terjebak dalam kepentingan proyek eksternal, idealisme perjuangan mulai tergerus. Upaya pemulihan melalui Musdat 2007 gagal mengembalikan marwah LEMASA. Sejak itu, peran LEMASA sebagai mediator konflik dan penjaga hak-hak masyarakat adat nyaris hilang.

Kini, muncul pertanyaan yang mendesak: bagaimana dengan generasi muda Amungme yang berani melanjutkan estafet perjuangan ini? Siapa yang akan tampil sebagai pemimpin visioner, yang memahami sejarah, mencintai budaya, serta memiliki keberanian untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Amungme?

Harapan Baru: Pemimpin Visioner Sebagai Jalan Keluar

Masyarakat Amungme membutuhkan pemimpin baru—pemimpin yang bukan hanya sekadar figur, melainkan seorang visioner dengan keberanian moral, integritas, dan dedikasi penuh terhadap masyarakat adat. Pemimpin yang memahami sejarah panjang LEMASA, menguasai tantangan kontemporer, serta mampu merumuskan solusi strategis bagi keberlangsungan masyarakat Amungme di tengah arus perubahan global.

LEMASA harus kembali menjadi rumah bersama yang memayungi semua aspirasi masyarakat adat Amungme. Keputusan penting harus diambil melalui Musyawarah Adat (Musdat), bukan melalui transaksi gelap atau intervensi kepentingan eksternal. Kedaulatan LEMASA harus dikembalikan ke tangan masyarakat adat Amungme, bukan dikuasai oleh segelintir elite yang melayani kepentingan diri sendiri dan diboncengi kepentingan pihak luar.

Refleksi dan Arah Perubahan

Sejarah mengajarkan bahwa keberhasilan sebuah perjuangan bergantung pada kualitas kepemimpinan. Keberhasilan Tom Beanal tidak lepas dari visinya yang besar, keberaniannya melawan ketidakadilan, serta kemampuannya menyatukan rakyat. Namun, sejarah juga mengingatkan bahwa tanpa pemimpin visioner, semua pencapaian itu dapat hancur dalam sekejap.

Kini, masyarakat adat Amungme menghadapi tantangan baru: implementasi pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui berbagai regulasi, termasuk Permendagri No. 52/2014 dan Perda Pengakuan MHA di Mimika (2023). Namun, tanpa pemimpin yang mampu menjembatani regulasi ini menjadi kebijakan nyata yang berpihak pada masyarakat adat, semua itu hanya akan menjadi dokumen tanpa makna.

Kebangkitan dan Harapan Baru LEMASA: Sebuah Tanggung Jawab Sejarah dan Martabat Bangsa Amungme

Kebangkitan LEMASA bukanlah sekadar mimpi, melainkan merupakan tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat Amungme yang menyadari pentingnya menjaga warisan luhur dan martabat bersama. Pemilihan kepemimpinan melalui Musyawarah Adat (Musdat) yang diselenggarakan secara demokratis, terbuka, dan bebas dari praktik transaksional pada tanggal 19–20 Januari 2023, telah menjadi sebuah langkah alternatif yang berani dan bijak, dengan melibatkan tokoh-tokoh muda dan tua yang mendapatkan kepercayaan luas dari masyarakat.

Musdat ini menghadirkan tokoh-tokoh sentral Amungme, antara lain Donatus Kelanangame, Yanes Natkime, Yunus Omabak, Mesak Bukaleng, Almarhum Elminus Mom, Agustinus Anggaibak, Antonius Alomang, Menuel John Magal, Melkianus Kum, Hiskia Senawatme, Almarhumah Berta Beanal, Yohanes Kemong (anggota DPRD), Araminus Omaleng (anggota DPRP Papua Tengah), Adolina Magal (anggota DPRD Kabupaten), Anton Alom (anggota DPRD Kabupaten), serta banyak tokoh lain yang tidak disebutkan satu per satu, baik generasi tua maupun muda, yang telah menunjukkan ketulusan dan komitmennya dalam proses pemulihan jati diri LEMASA.

Kehadiran mereka dalam Musdat bukan hanya representasi politik, melainkan cerminan nilai-nilai luhur, kehormatan, dan harga diri masyarakat Amungme yang harus dijunjung tinggi dan ditegakkan bersama.

Sebagaimana tertulis dalam Kitab Pengkhotbah 3:1: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” Maka, inilah saat yang tepat bagi masyarakat Amungme untuk bangkit — menyatukan kekuatan, merajut kembali persaudaraan yang sempat terkoyak, dan mengembalikan LEMASA sebagai rumah besar yang kokoh dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Amungme secara bermartabat dan berkeadaban.

Momentum ini merupakan panggilan sejarah bagi seluruh anak-anak Amungsa, untuk meneguhkan kembali arah perjuangan yang berlandaskan pada nilai adat, keimanan, dan cinta tanah leluhur, demi memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan generasi Amungme yang akan datang.

LEMASA bukan sekadar sebuah lembaga; ia adalah simbol persatuan, martabat, serta perlawanan damai terhadap segala bentuk ketidakadilan dan marginalisasi. Ia adalah wujud nyata dari tekad dan semangat masyarakat Amungme dalam menjaga identitas serta kedaulatannya di tengah perubahan zaman.

Mari kita satukan langkah dan teguhkan hati untuk mewujudkan visi besar ini dengan semangat kebersamaan — demi masa depan masyarakat Amungme yang lebih adil, berdaulat, dan bermartabat. Sebab masa depan yang kuat hanya dapat dibangun di atas fondasi yang kokoh: persatuan, adat yang hidup, dan iman yang tak tergoyahkan.

 

(Penulis adalah Ketua LEMASA dan Pemerhati Sosial tinggal di Timika)

 

 

 

Berikan Komentar
penulis : Kristin Rejang
Artikel ini telah dibaca 196 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Menteri ESDM, Gubernur PBD dan Bupati Raja Ampat Dilarang Lakukan Tindakan Malatministrasi  

8 Juni 2025 - 07:40 WIT

KLH Temukan  Pelanggaran Serius pada Aktivitas Tambang di Raja Ampat, Apakah Ijin Dicabut ?

6 Juni 2025 - 02:55 WIT

Hari Lingkungan Hidup, WALHI Papua Soroti Masalah Sampah dan Banjir

5 Juni 2025 - 14:52 WIT

Aktivis Greenpeace dan Anak Muda Papua dari Raja Ampat Gelar Aksi Saat Momen Konferensi Nikel di Jakarta

4 Juni 2025 - 08:16 WIT

AMAN Laporkan Kasus Kriminalisasi Masyarakat Adat: Kami minta Pelapor Khusus PBB ke Papua

3 Juni 2025 - 09:43 WIT

Generasi Amungme Perlu Belajar Sejarah LEMASA Untuk Membangun Jati Diri

3 Juni 2025 - 09:02 WIT

Trending di Budaya