Menu

Mode Gelap

Hukum Kriminal · 2 Sep 2025 17:35 WIT

Bayi Malang Dibunuh Ibu Kandung di Sarmi Karena Kecewa dengan Suami -Bagaimana Perempuan Harusnya Kelola Emosi ? 


Dok.Humas Polres Sarmi Perbesar

Dok.Humas Polres Sarmi

Sabtu 23 Agustus 2025, warga di Papua khususnya Sarmi mendapatkan informasi seorang bayi berusia 5 bulan diculik oleh orang yang tak dikenal. 

Informasi tersebut juga sampai ke pihak kepolisian berdasarkan laporan dari keluarga sekitar pukul 13.00 WIT. 

Ternyata ada skenario yang disembunyikan. Beberapa jam kemudian ketika kepolisian sedang melakukan penyelidikan kasus penculikan, warga melaporkan ada yang mencurigakan.

Ditemukan sebuah gundukan tanah di halaman rumah yang ditutup dengan seng. Ada pakaian bayi serta jari kecil yang terkubur ditanah.

- Advertising -
- Advertising -

Polisi dan masyarakat menggali dan menemukan jasad bayi. Segera bayi tersebut dievakuasi ke Puskesmas Sarmi.

Bayi Malang itu Dibunuh oleh Ibu Kandungnya

Usai diusut polisi mendapatkan kronologi sebenarnya. Dimana sejak pukul 05.00 wit pada Sabtu (23/8/2025) sang ibu sudah menghabisi nyawa bayi mungilnya itu.

“Pelaku menutup mulut dan hidung bayinya hingga tidak bernapas. Setelah memastikan anaknya meninggal, pelaku memandikan korban, meletakkannya kembali di ayunan, lalu berpura-pura seolah bayi masih hidup,” kata Kasar Reskrim IPDA Firmansyah ketika melakukan jumpa pers pada Senin (28/8/2025) lalu.

Kapolres Sarmi AKBP Ruben Palayukan, menerangkan ibu tiga anak itu nekat membunuh bayi mungil itu lantaran masalah dengan suaminya. Ia mengaku kecewa karena suami tak memberikan nafkah yang cukup.

Usai melakukan pembunuhan, pelaku lalu menggali tanah di depan rumah, menguburkan jasad bayi, dan menutupinya dengan potongan seng.

Lokasi penemuan bayi dikuburkan. (Dok.Humas Polres Sarmi)

Untuk mengaburkan perbuatannya, pelaku bahkan menyebarkan cerita palsu tentang penculikan bayi melalui media sosial.

Dari tangan pelaku, polisi menyita barang bukti berupa pakaian bayi, sarung tangan, ayunan, bantal, selimut, sebilah parang, dan potongan seng.

Atas perbuatannya, pelaku dijerat pasal berlapis yakni Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan/atau Primer Pasal 340 KUHPidana Subsider Pasal 338 KUHPidana, dengan ancaman hukuman pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun.

Seorang Ibu Butuh Dukungan

Kasus seorang ibu tega bunuh anak kandungnya banyak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia termasuk di Papua. Kebanyakan karena alasan terhimpit ekonomi hingga kesal terhadap suami.

Menurut penjelasan Psikolog Patricia Yuannita T.,M.Psi secara umum ibu yang sudah emosional karena tidak mendapatkan dukungan yang positif dari lingkungan misalnya pada saat sedang hamil, melahirkan atau saat memiliki anak di usia balita.

Sejumlah alat bukti yang ditunjukan oleh pihak Polres Sarmi dalam momen Jumpa Pers beberapa waktu lalu. (Foto: Capture Video Humas Polres Sarmi)

Owner Klinik ISOKE Jayapura ini mengatakan, pada dasarnya ibu membutuhkan banyak dukungan.

Misalnya saat seorang ibu hamil otomatis ada manusia lain didalam tubuhnya, ada detak jantung lain yang hidup didalam tubuh mereka.

“Berarti itu sudah menjadi tanggungjawab besar untuk satu keluarga penuh, jadi suami ikut, orang tua juga ikut support begitu,” katanya kepada media ini.

Namun, pada kenyataannya banyak juga ibu-ibu yang tidak mendapatkan dukungan yang supportif dari keluarga atau bahkan pasangan sendiri.

“Apalagi ibu yang usianya masih muda sehingga mereka belum memiliki kemampuan atau keterampilan yang baik untuk mengatasi stress dan emosi yang  masih belum stabil, jadi emosinya labil,” ujarnya.

Sebagai Ibu Harus Melihat Emosi dalam Diri Sendiri

Yuannita juga mengatakan sebagai ibu atau perempuan, kita pun harus belajar untuk melihat emosi atau perasaan kita.

“Kita harus mengenal kita punya diri terlebih dahulu, tentang perasaan. Jadi kita belajar untuk memvalidasi kita punya emosi sendiri, jadi tidak bisa juga membebankan itu kepada orang lain sekalipun itu kita punya orang tua atau pasangan,” ujarnya.

Mengenal diri sendiri dan berusaha mengalah terhadap diri sendiri sebab emosi perempuan sangat berpengaruh pada lingkungan sekitar.

Selain itu, kata dia sebagai perempuan juga perlu menerima jika kita memang memiliki perasaan atau emosi yang negatif. “Itu bagian dari kita punya diri. Pertanyaan selanjutnya ke diri sendiri, kalau saya sedih, saya harus buat apa supaya hati ini baik-baik saja, apa yang harus saya buat agar tidak melampiaskan ke orang lain ?,”jelasnya.

Sebagai perempuan bahkan seorang ibu, juga harus mengurangi kebiasaan membandingkan diri dengan ibu-ibu yang lainnya.

“Karena membandingkan diri, itu akan membuat seorang perempuan stress,” ucapnya.

Untuk itu, kata dia, perlu membangun komunikasi yang baik bersama pasangan, lingkungan sekitar. Harus berani mencari dukungan.

Mengapa Anak Kerap Jadi Korban ?

Ketika ibu mengalami emosional yang tinggi, anak kerap menjadi korban pelampiasan amarah. Anak-anak selalu menjadi tempat meluapkan amarah yang menggebu-gebu.

Psikolog Yuannita mengatakan, anak-anak selalu menjadi korban karena mereka adalah orang yang tidak memiliki kekuatan lebih seperti orang dewasa, jadi apa saja mereka terima.

Bunyi Informasi yang beredar tentang penculikan bayi di Sarmi yang ternyata dibunuh ibu kandungnya. (Foto: beredar di berbagai sumber)

“Kalau anak kecil mereka tidak bisa membalas, jadi mereka hanya bisa terima saja, ketika emosi sendiri kita tidak kenal, kita akan gampang sekali menyalahkan atau melampiaskan kepada sosok yang dianggap lemah,” ujarnya.

Itulah, mengapa sering anak-anak menjadi korban. Apalagi anak-anak selalu menempel di mama dan tidak ingin dilepas meskipun seorang ibu berlaku kasar kepada anaknya.

Bagaimana Deteksi Emosi Kita ?

Emosi yang meledak dan memendam kadang sulit untuk dideteksi, yang sewaktu-waktu bisa saja fatal.

Psikolog Yuannita menerangkan deteksi pertama bisa dilakukan dengan melihat perubahan mood yang drastis atau kondisi kecil dimana ibu terlihat tidak mampu diselesaikan.

“Misalnya susu tumpah, atau hal kecil apa begitu yang sepele, bakso lupa ditaro bawang goreng, tapi ibu ini responnya sudah luar biasa, meledak-ledak emosinya, atau bahkan menangis terus menerus tanpa sebab,” jelasnya.

Hal seperti ini kata dia, jangan disepelekan.

“Terkadang lingkungan yang suka bilang seperti ‘barang begini saja kenapa ko menangis’ Padahal sebenarnya itu sudah ciri khas yang suka diabaikan, atau dianggap sepeleh oleh orang. Itu adalah hal lain dari pengaruh hormonal, atau tanda-tandanya,” jelas Yuannita.

Psikolog di ISOKE Klinik, Patricia Yuannita T.,M.Psi.,

Untuk itu kata dia kepekaan dari pasangan dan lingkungan untuk mendukung seorang ibu yang memiliki anak.

“Jadi tidak menyepelekan emosi yang muncul dari seorang ibu, baik ibu hamil maupun ibu menyusui, itu amat sangat membantu ibu untuk melalui masa-masa kehamilan dan masa-masa merawat balita,” jelas Yuannita.

Jika lingkungan bisa menangkap signal tersebut, keluhan seperti ibu mengalami kesedihan, mengalami baby blues sebenarnya bisa dikendalikan.

“Mereka sangat bisa memberikan dukungan, pekerjaan-pekerjaan ibu bisa didelegasikan, terus kondisi ibu yang lagi rentan itu bisa ditemani dalam kurun waktu yang cukup lama, jadi tidak dilepas begitu atau dibiarkan sendirian ibunya,” kata Yuannita.

Kapan Harus ke Ahli ?

Jika ternyata memang kondisi yang dialami cukup panjang dan sulit untuk bangkit bahkan ada pikiran nekat untuk menyakiti diri atau bayi, sebaiknya si ibu, pasangannya atau orang tuanya segera berkomunikasi dengan orang yang ahli untuk siap mendengar dan memberikan solusi.

“Misalnya ke psikolog atau mungkin ada orang yang dianggap bisa dipercaya oleh ibu ini, seperti pendeta atau pemuka agama, secara khusus orang-orang yang bisa beri penguatan begitu secara spiritual untuk melewati masa-masa itu juga diperbolehkan,” ungkapnya.

Namun, jika dirasa sudah sangat sulit diredam, maka bisa ke psikolog agar ibu memiliki ruang aman untuk bisa bercerita.

“Jika memang sudah sangat berat, misalnya sudah melukai diri sendiri atau berbicara punya keinginan untuk tutup anak ini dengan bantal misalnya, ini contoh kasus yang saya terima. Itu memang sudah perlu untuk kita berjaga-jaga,” ujar Yuannita.

Jika tanda-tanda itu sudah muncul maka harus dibutuhkan penanganan psikologis, konseling dan psikoterapi.

“Nanti jika situasi memang lebih buruk, mau tidak mau memang ibu harus dapat obat dari psikiater,” kata Yuannita.

Ia mengimbau agar siapapun yang mengalami situasi sulit dengan mental dan emosionalnya, jangan pernah ragu atau takut untuk meminta bantuan orang profesional di bidang kesehatan mental.

“Karena kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik, kalau kesehatan fisik saja kita bisa jaga baik-baik, alangkah baiknya juga kesehatan mental bisa dijaga sebaik itu juga, mendapatkan perhatian juga yang sama.

Jadi jangan malu dan ragu untuk cari bantuan psikolog atau terapis,” pungkasnya.

Berikan Komentar
penulis : Edwin Rumanasen
Artikel ini telah dibaca 174 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Deiyai Butuh Dokter Kandungan, Donatus Mote Desak Pemkab Serius Soal Nakes

30 Oktober 2025 - 20:49 WIT

Menyatukan Gerakan Literasi di Papua Tengah: Sebuah Langkah Menuju Kemajuan

29 Oktober 2025 - 17:00 WIT

CENDERAWASIH: Diburu, Rumahnya Duhancurkan, Jadi Mahkota Dipakai ‘Sembarangan’, Berujung Dibakar

25 Oktober 2025 - 08:53 WIT

BBKSDA Papua dan Tim Terpadu Musnahkan 54 Awetan Satwa Dilindungi

21 Oktober 2025 - 20:09 WIT

Galeri Foto: Bimtek dan Penyerahan Bantuan Dari Dinas Perikanan Nabire Kepada Nelayan  

17 Oktober 2025 - 18:41 WIT

Komnas HAM Bertemu DPR Papua Tengah: Ada Komitmen Padamkan Api Bukan Asap

17 Oktober 2025 - 09:23 WIT

Trending di Hukum Kriminal