Site icon sasagupapua.com

CENDERAWASIH: Diburu, Rumahnya Duhancurkan, Jadi Mahkota Dipakai ‘Sembarangan’, Berujung Dibakar

Ilustrasi/sasagupapua

SASAGUPAPUA.COM, JAYAPURA – Antropolog Asli Papua, Selpi Yeimo menanggapi pemusnahan satwa offset oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua dan tim terpadu yang dilakukan dengan cara membakar. Salah satu satwa offset yang dibakar adalah mahkota Cenderawasih.

Selpi mengatakan fungsi dari lembaga BBKSDA adalah melindungi satwa dan lingkungan.

Menurutnya peristiwa pembakaran mahkota tersebut membuat kaget seluruh masyarakat khususnya Orang Asli Papua sehingga menimbulkan pertanyaan berdasarkan kesepakatan siapa ? Dan dengan siapa lalu mahkota dibakar begitu saja.

Selpi mengatakan yang menyulut kemarahan Orang Asli Papua bahkan dirinya sebagai antropolog yang juga masyarakat adat di Papua karena tindakan membakar mahkota yang merupakan simbol budaya.

“Kenapa harus dibakar kalau memang  untuk menghentikan penggunaan mahkota itu kenapa tidak dirapatkan atau pertemuan dengan adat-adat atau lembaga pendidikan seperti Uncen punya UPT museum kenapa tidak dimuseumkan dan dibuat regulasi agar tidak menggunakannya. Kenapa harus dibakar. ?,” ucapnya.

Berbagai Sudut Pandang

Mahkota Cenderawasih dikenal luas sebagai simbol kebudayaan Orang Asli Papua.

Permasalahan terkait pembakaran mahkota Cenderawasih ini kata dia bisa dilihat dari berbagai sudut pandang.

Jika ditarik dari sisi budaya atau adat memang dari 250 lebih suku yang tersebar di Tanah Papua tidak semua pemimpin adat memiliki penyebutan masing-masing.

“Kalau kita pelajari kepemimpinan adat itu ada beberapa misalnya kalau di La Pago atau Me Pago ada sistem penyebutan kepala suku, kalau Mamta gunakan sistem ondofolo atau ondoafi, kemudian yang dikepala burung pakai sistem raja dan lainnya semua menggunakan konsep sendiri,”

Dari kepemimpinan adat ini, memang tidak semua suku menggunakan simbol kebesaran dengan mahkota mahkota khususnya burung Cenderawasih.

“Yang perlu kita telusuri lagi itu dari suku-suku ini harus ada penelitian mendalam terkait dengan mahkota Cenderawasih sejak awal siapa yang sebenarnya mengawetkan itu cenderawasih lalu menjadikan dia sebagai mahkota yang digunakan sebagai simbol,” jelasnya.

Selpi juga menyinggung terkait data yang dikeluarkan oleh Ko’Sapa dimana penyelundupan burung Cenderawasih ini sudah dilakukan secara liar sejak abad 19.

Foto: Istimewa

Pada tahun-tahun tersebut, cenderawasih dipakai sebagai hiasan (mode) yang tren di Eropa dan setiap tahunnya sekitar 10.000 sampai 30.000 ekor per tahun burung cenderawasih diselundupkan ke Eropa.

Tak hanya itu, pedagang China  datang ke Papua untuk mencari cenderawasih selain komoditi lainnya. Zending pada awal tahun 1900 turut melarang perdagangan cenderawasih, dalam Koloniale Studièn 1920.

Pembakaran Mahkota: Simbol Penaklukan Kekuatan Adat yang Ada di Papua

Belakangan ini, kata Selpi masyarakat mengenal untuk bersuara tentang mahkota Cenderawasih setelah orang sudah ramai memakainya.

Ia mengaku tidak sepakat mahkota Cenderawasih yang utuh itu digunakan sembarangan.

“Memang penggunaaannya ini sudah takaruang (sembarang) sekali. Karena itu simbol kebesaran bahkan perempuan bisa pakai, anak kecil bisa pakai, orang yang tidak punya jabatan kepala suku atau keturunan ondoafi itu dorang pakai, orang tamu dari luar dikasih pakai semua. Ini macam budaya kita ini kebesaran ini kayak sudah diperdagangkan atau dijual belikan,” katanya.

Dirinya sepakat pernyataan masyarakat bahwa praktik pembakaran mahkota Cenderawasih sebagai simbol budaya ini kata dia melecehkan budaya.

“Tapi saya juga pandang ini dari sudut pandang antropologi juga sebagai simbolik ada hal terselubung secara simbolik mereka menaklukan budaya kekuasaan dan power kekuatan budaya di Papua artinya mereka mudah untuk taklukan kepemimpinan atau kekuasaan kekuatan adat apapun,” ujarnya.

Kalau dari sudut pandang spiritual, jika melihat kilas balik ke masa zending ketika misionaris datang ke Papua untuk membawa konsep Ketuhanan khususnya Kristen Protestan.

“Hal pertama terutama kita yang protestan ini mereka suruh kita untuk bakar benda-benda yang menjadi kekuatan selain Tuhan baik secara kebudayaan atau kekuasaan itu. Kaka lihat dari sudut budaya Menang mereka melecehkan mahkota simbol kekuatan kepemimpinan seorang pemimpin adat. Kalau secara spiritualnya saya lihat sebagai simbol penaklukan kekuatan adat yang ada di Papua,” katanya.

Kehilangan Arah

Sepertin yang telah dijelaskan oleh Selpi diawal bahwa tidak semua suku di Papua menggunakan mahkota. Seperti suku Mee mereka tidak menggunakan mahkota seperti Cenderawasih maupun bulu kasuari begitupun Papua Pegunungan.

“Tetapi ini barang ini siapa yang kenalkan, mungkin kita adopsi juga dari kepemimpinan dari suku-suku lain di Papua sehingga kita anggap itu sebagai mahkota kebesaran semua suku di Papua,” ungkapnya.

Dengan situasi tersebut kata dia masyarakat adat telah kehilangan arah untuk menghormati kebesaran mahkota itu sendiri.

“Saya selalu protes kalau ada perempuan yang pakai mahkota cenderawasih utuh, atau orang tamu dari luar dong kasih pakai. Itu tidak bisa, itu simbol kebesaran seorang pemimpin adat. Itu juga tidak dipakai sembarang. Mahkota itu dipakai di acara adat tertentu upacara yang dilakukan di komunitas adat itu sendiri,” terangnya.

Selpi Yeimo, (Antropolog Papua).
Foto: Istimewa

Jadi kata dia mahkota sendiri merupakan simbol kebesaran pemimpin budaya. Artinya hanya bisa digunakan oleh para Kepala Suku khususnya Ondoafi atau tergolong raja, pemimpin suku yang pantas dan layak memakai mahkota.

“Untuk wilayah yang pakai kalau daerah Mee Pago memang tidak mengenal mahkota begitu juga La Pago, tapi teman- teman di pesisir memang mereka sudah mengenal bahwa pemimpinnya menggunakan mahkota untuk membedakan dia dengan dia punya anggota masyarakatnya. Terus mahkota digunakan sebagai simbol kebesaran,” ungkapnya.

Cenderawasih Tidak Bisa Hidup di Pohon Sawit atau Padi dan Tebu

Ia mengatakan Cenderawasih adalah burung surga. Burung yang sangat indah, sesuatu yang unik apalagi belakangan orang sudah jadikan sebagai accesories kepala dan sesuatu yang menjadi pelengkap ketika kita menggunakan busana adat dalam upacara upacara adat tertentu.

“Untuk pelestarian sendiri saya sepakat tapi ini akan berkaitan dengan bagaimana mahkota dibakar, dimusnahkan, musnahkan bangkai cenderawasih atau segala macam. Daripada dia mati dikepala kita sebagai hiasan biarkan dia hidup bebas di alam,” ujarnya.

Selpi menegaskan yang kini jadi persoalan sekarang adalah bagaimana eksploitasi lingkungan, tempat tinggal, rumah bagi Cenderawasih.

“Sekarang hutan-hutan dihancurkan dengan skala yang besar, eksploitasi hutan dan penebangan hutan karena cenderawasih itu hidup tidak di dekat-dekat sini, dia hidup di tengah hutan pohon yang tinggi hutan tropis dia bisa berkembang bebas menari disana,” katanya.

Harusnya kata dia semua pihak sepakat bahwa ada pembatasan penggunaan mahkota. Mahkota tidak dipasarkan, dijual belikan secara umum tanpa menghargai kepemimpinan dan tidak semua orang bebas memakainya.

Capture video saat BBKSDA dan tim gabungan memusnahkan satwa offset.

“Jadi tong hentikan itu, ini juga untuk kembalikan wibawa seorang kepala suku hanya mereka yang boleh pakai tidak boleh dipakai secara luas secara umum sembarang,” katanya.

Namun yang terpenting juga adalah perlu dibenahi dulu supaya Cenderawasih hidup aman, bagaimana supaya pohon tidak ditebang sembarang, bagaimana supaya cenderawasih bisa hidup bebas.

Hal ini kata Selpi menjadi tanggung jawab semua baik BBKSDA, Lingkungan hidup, masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan dan tanah adatnya.

“Bagaimana semua orang kita sepakat untuk menjaga alam supaya hewan hewan endemik, satwa yang kita sudah bilang itu langka sekali seperti kasuari dengan teman temannya bisa hidup abadi, lama mereka bisa hidup lestari bebas solusinya harus sama-sama jaga tanah dari eksploitasi yang dilakukan secara sistem oleh negara tapi juga kaum kapitalis yang ingin menguras atau menggantikan hutan dengan sagu,” ungkapnya.

“Cenderawasih tidak bisa hidup terbang di hutan pohon padi, pohon kelapa sawit dia tidak bisa hidup disitu. Jadi kalau hari ini hutan mau digantikan dengan kelapa sawit, cenderawasih tetap akan punah, meskipun kitong batasi dia menjadi mahkota,” sambungnya.

Membatasi penggunaannya bentuk Cenderawasih mati dan menjadi hiasan perlu ditambah lagi bahwa harus bersama melestarikan rumah dari satwa yang dilindungi.

“Bikin dia punya rumah bagus supaya cenderawasih hidup bebas di alam sana. Karena akan sama kita batasi tapi kalau orang masih buru secara liar, rumahnya dihancurkan, dia mau hidup bagaimana. Kita bisa melihat makna ini dari semua sudut pandang,” katanya.

Perlu Ada Regulasi

Selpi mengatakan pemerintah maupun pihak terkait harus membuat regulasi. Peristiwa pembakaran mahkota cenderawasih menjadi pukulan bagi pemangku kepentingan yang terkait.

“Buat regulasi yang diatur didalamnya larangan menggunakan mahkota cenderawasih secara liar atau sembarangan oleh semua orang, hanya boleh digunakan oleh pemimpin adat di Papua, kemudian pemerintah bersama MRP dan pihak adat untuk duduk bersama untuk sepakati hal itu,” katanya.

“Dan kembali lagi pemerintah, MRP bahkan masyarakat Bahkan masyarakat adat semua kitong harus lestarikan cenderawasih, dia punya tempat tinggal  dan simbol budaya yang lain,” katanya.

Semuanya harus diatur dengan baik. Memberikan perlindungan bagi hewan-hewan dan budaya yang selama ini disalahgunakan juga wajib ada kontrol terhadap regulasi yang jika nanti akan dibuat.

“Jadi kita harus lihat ini dari semua sisi dan semua orang yang berada di Papua bahkan ada dimana saja kita harus kontrol ini secara kontinu, secara berskala agar Cenderawasih tetap hidup ditengah kita bersama Dnegan hewan lainnya. Alam yang ada ini dan kebudayaan Papua tetap terjaga,” pungkasnya.

Berikan Komentar
Exit mobile version