KABAR berpulangnya musisi Papua Yance Rumbino meninggalkan banyak cerita yang mendalam.
Tahun 2021 lalu, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Papua, Antonius M. Ayorbaba bersama tim dari Kanwil Papua berkunjung ke Pulau Undi gugusan Pulau Padaido tempat tinggal mendiang Yance Rumbino.
Kakanwil Didampingi Kepala Divisi Pemasyarakatan, Kusnali difasilitasi Pemkab Biak bersama dengan Asisten II Setda Biak Numfor.
Disana, mereka mendengarkan cerita pengalaman langsung dari Yance Rumbino.
Saat itu, Yance Rumbino mengisahkan ulang perjuangannya hidup menjadi guru di Pedalaman Papua.
Yance Rumbino lahir pada 22 Juni 1953 di kota Sorong. Ia berasal dari Suku Biak namun lahir di Sorong sebab orang tua-nya adalah tentara Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL).
KNIL adalah tentara Kerajaan Hindia Belanda yang didirikan atas dekrit kerajaan pada 14 September 1819.
“Kenapa saya orang Biak lahir di Sorong, orang tua kandung saya adalah tentara knil Belanda waktu perang dunia ke II sehingga bertempat di Kota Sorong,” kata Yance saat itu.
Masa Sekolah Dasar (SD) Yance habiskan di SD YPK Betlehem Biak. “Waktu itu kami tinggal di Pulau Mansurbabo terus sekolah disini (Undi) tiap hari mendayung perahu untuk ke sekolah,” kenangnya.
Setelah tamat SD, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Bawaan (SGB) di Biak, dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Saat itu ia tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Ia langsung menjalankan tugas mengabdi sebagai guru di Puncak Jaya tahun 1975.
“Kami jaman itu pas sekolah sudah dapat ikatan dinas, sehingga sebelum ujian SK sudah disiapkan,” katanya.
Apabila nilai mereka tidak memungkinkan untuk jadi guru, maka SK tersebut dibatalkan, atau jika mau lanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi maka SK yang sudah disiapkan dibatalkan. Sementara yang mau langsung bekerja maka gaji langsung dibayarkan.
“Gaji jaman itu masih pakai Irian Barat Rupiah (IBRp) senilai IBRp 17.800, IBRp itu 1000 rupiah bisa beli beras 20 kilo. Sehingga walaupun gaji kecil masih lumayan,” kenang Yance.
Ia bercerita, ketika ia dimutasikan ke Puncak Jaya saat itu usianya 22 tahun dan sudah menjadi guru SD di daerah Puncak.
Ketika itu, ia mendidik siswa berusia kecil hingga yang sudah tua dan memiliki semangat untuk belajar.
“Saya menghadapi murid yang kecil, sampai lebih besar dari saya semua kelas 1, kurang lebih hampir 200 murid,” katanya.
Karena para siswanya belum bisa menggunakan bahasa Indonesia akhirnya ia mendidik para siswa tersebut dengan menggunakan pola seni dan olahraga.
“Lewat seni dan olahraga mereka bernyanyi bermain bola sampai mereka tertarik ke sekolah baru saya mulai ngajar. Ngajarnya pakai isyarat saja,” jelasnya.
Saat itu, kenang Yance, ada tiga anak yang sangat berbeda dari siswa lainnya. Mereka tergolong siswa yang sangat nakal.
Namun, Yance tidak menyerah, dibalik kenakalan tiga anak tersebut, menurut dia mereka punya potensi dan memiliki keberanian.
“Saya didik sampai lama-lama mereka menjadi juru bahasa isyarat untuk saya mengajar, akhirnya berhasil mengajar mereka tau tulis dan membaca dibantu dengan teman lain (guru) yang dimutasikan,” katanya.
Suatu saat, ada hal unik yang membuat Yance merasa kaget. Seorang anak berusia 6 tahun dalam keadaan tidak berbusana, sayang menghampiri dia.
“Dia bilang pak guru mau bilang apa dalam bahasa indonesia. Saya katakan kamu tau bahasa indonesia dari mana ? Karena SD ini SD pertama dibuka SD Inpres. Dia katakan saya lahir di Enarotali, bapak saya guru injil, jadi saya tau bahasa Indonesia, akhirnya dia ikut saya mengajar, dia jadi penterjemah membantu saya, akhirnya berhasil,” ceritanya.
Setelah beberapa tahun disana, terjadi kerusuhan di Sinak yang hingga kini masih ada gejolak.
Akhirnya, Yance dijemput oleh Kapolres Nabire saat itu untuk kembali ke Nabire.
Karena dedikasinya, Yance diberikan kepercayaan 33 tahun menjadi kepala SD dengan pengalaman memimpin berbagai SD di Nabire kota hingga pinggiran.
“Saya pernah ditarik menjadi kepala bidang promosi dan penyuluhan dinas pariwisata dan saya pernah menjadi pengawas sekolah tingkat SD,” katanya.
Pengalaman mengajar tidak hanya di tingkat SD, Yance juga pernah mengajar di SMP, SMA dan SMK khususnya mengajar bidang seni dan budaya. Selama 6 tahun, ia juga memberikan kuliah kepada mahasiswa program DIII dan S1 FKIP Uncen Cabang Nabire tentang seni dan budaya bagaimana mengajar di SD supaya tertarik khususnya pengembangan seni dan budaya.
“Akhirnya saya pensiun dan kembali ke pulau ini sebagai nelayan,” kata Yance.
Kisah Dibalik Penciptaan Lagu Tanah Papua
Mulai tahun 1975, seumur hidup, Yance baru merasakan naik pesawat pertama kali. Pesawat yang ditumpangi saat itu adalah jenis pesawat Twin Otter.
Selama menempuh satu jam perjalanan, mata Yance disuguhkan dengan keindahan alam puncak jaya, ada lereng gunung, dan awan yang digambarkan seperti salju abadi.
Pertama kali menginjakan kaki di Puncak Jaya Yance mengaku terkesima sebagai orang Papua, ia sendiri tidak mengetahui kisah kehidupan masyarakat Papua di pegunungan.
“Karena saat itu tidak ada media, surat kabar, televisi yang bisa kita nonton,” katanya.
Pesawat mengantarnya hanya sampai di Mulia, yang kini menjadi ibu kota Puncak Jaya. Untuk sampai ke kota Sinak, Yance berjalan kaki satu hari satu malam, bermalam di tengah jalan.
“Tapi suatu saat sepanjang jalan saya duduk d lereng gunung, saya lihat burung kakatua putih berterbangan kecil di bawah sana dalam hati saya bilang, Papua ini penuh misteri sekali, unik ada orang yang tinggal di tempat susah seperti ini apa maksud Tuhan dibalik itu,” paparnya.
Yance berjalan kaki menuju ke Sinak berbekal uang IBRp 300. 100 digunakan membeli tebu sebagai pengganti air minum, dan 100 ia membeli petatas untuk dibakar.
“Jadi dikubur (ubi) didalam abu, setelah itu ketika dikeluarkan itu sudah masak,” katanya.
Ia melanjutkan perjalan ke Sinak. Selama bertugas di Sinak, kata Yance mereka tidak mengenal nasi. Masyarakat bergantung pada alam.
“Tergantung masyarakat kalau kasih ubi kami dapat, bakar makan, sambil minum air dari lereng gunung yang mengalir. Kami tidak pernah mengeluh karena begitu karena kami merasa kami adalah utusan yang harus atau melakukan suatu panggilan, demi kemajuan masyarakat di tempat itu,” kenangnya.
Pernah satu waktu, Yance berjalan kaki dari Sinak ke Tiom sebuah distrik di Lanny Jaya. Disana ia melihat alam yang terukir indah dengan batu-batu, Lembah baliem, perkampungan di pulau-pulau kecil lalu sambil berjalan mata Yance disuguhkan dengan udang di Wamena yang dikenal dengan nama udang selingkuh.
“Waktu itu sudah ada di tempat itu, kita hanya bawa tempat, tinggal pungut saja, tidak memakan biaya dan tenaga. Hal hal ini saya tidak pernah alami. Ini suatu misteri,” katanya.
Disana daerahnya sangat dingin, ubi jalar tumbuh subur, sayur kol berukuran sangat besar sebesar kepala manusia dewasa, begitupun kentang.
Tahun 1985, Yance sudah kembali ke Nabire. Bersama istri tercinta, Yance menempuh perjalanan sekitar 100 kilo meter menggunakan motor dari Nabire ke pinggiran kota.
“Jalannya baru dibuka tapi belum selesai. Sampai disana, ada satu bukit namanya bukit Gamei, saya melihat emasnya ada di sungai, lalu saya turun, saya katakan sama istri saya, cepat atau lambat sungai-sungai di Papua akan mengalirkan emas. Dan semua emas yang saya bawa di tangan itu saya hambur di hutan agar menjadi berkat untuk orang di atas tanah ini,” kenangnya.
“Saya pulang saya nangis sampai di rumah. Istri saya tegur saya bapa menangis tapi tahan stir karena kalau jatuh tidak tau jam berapa sampai di rumah,” kata Yance sambil tertawa.
Selama perjalanan, hatinya menangis, Yance banyak memikirkan tentang maksud Tuhan. Menurutnya Tuhan menciptakan tanah (Papua) ini kaya raya namun menurutnya sumber daya manusia masih sangat kurang.
“Apa maksud Tuhan begitu tanah ini kaya tapi kami mau maju. Kini harus kami bergerak bangkit meningkatkan sumber manusia Papua itu sendiri supaya menjadi tuan diatas negerinya tidak menjadi penonton di atas negerinya sendiri,” katanya.
Baginya, menikmati apa yang ada di Tanah Papua hanya satu cara yaitu peningkatan SDM lewat jalur pendidikan.
Lewat apa yang dialaminya, Yance akhirnya terdorong untuk menulis lagu pada tahun 1985. “Lagu ini macam ada bahasa yang saya tidak mengerti tapi saya tulis saja. Nanti setelah sudah selesai, saya mencoba mengerti apa yang saya tulis sehingga waktu itu syair pertama kali itu pakai judil Irian Jayaku karena tahun 1985 belum disebut Papua, jadi lagu ini judul aslinya adalah Irian Jayaku,” ujar Yance.
Yance bercerita, setelah tahun 1991 otsus mulai di orbitkan di Jakarta, lagu tersebut mulai dinyanyikan oleh Orang Asli Papua, khususnya orang Nabire.
“Mereka nyanyi lagu ini bersamaan dengan mereka yang mau merombak kata irian Jayaku menjadi Tanah Papua. Mereka lapor saya, saya setuju karena kalau nyanyi pakai irian jaya sudah bukan waktunya lagi,” ungkapnya.
Lagu yang pertama kali ditulis oleh Yance berjudul Irian Jayaku.
Disana pulauku
Yang kupuja slalu
Irian Jaya pulau indah
Hutan dan lautmu
Yang membisu slalu
Cenderawasih burung emas
Gunung-gunung, lembah-lembah
Yang penuh misteri
Yang kupuja slalu keindahan alammu
Yang mempesona
Sungaimu yang deras mengalirkan emas
Oh ya Tuhan Terimakasih.
Kemudian syair Irian Jaya dirubah menjadi Tanah Papua.
“Sampai lagu ini diuruskan oleh bapak Ayorbaba (Kakanwil Provinsi Papua Barat) Yang pernah mengundang saya ke Manokwari. dan saya menjelaskan soal detail lagu ini,” katanya.
Mulai dari menggunakan kata disana pulauku, bukan menggunakan kata disini pulauku sebab menurutnya eksistensi dari sebuah karya harus melihat keluar.
“Misalnya kalau saya bilang kaya disini berarti hanya memikirkan orang Biak saja. Dia harus melihat secara universal. Melihat Papua keluar dulu. Menyangkal diri baru melihat oh disini bagus. Disini yang beres disana yang belum, itu sifatnya universal. Kalau orang bilang disini, dia adalah orang yang paling angkuh dan sombong diatas tanah ini,” kata Yance.
Lagu Tanah Papua juga pernah dinyanyikan oleh grup Trio Ambisi. Ia meluruskan ketika dinyanyikan oleh Trio Ambisi menggunakan kata Kau Kupuja.
“Kau kupuja artinya saya puja Papua. Jadi Papua dianggap sebagai Tuhan, Dewa yang selalu dipuja-puja. Papua selalu dipuja puja, kerja atau tidak kerja begitu saja yang penting puji Papua. Bukan soal itu untuk membangun Papua memerlukan sumber daya manusia yang harus bekerja keras di atas tanah ini,” jelasnya.
Kemudian ada juga yang menggunakan kata Kan Kupuja, baginya kata kan ku puja artinya akan ku puja, yangmana karya Allah diatas negeri ini belum disyukuri hanya masih dalam angan-angan saja.
Sehingga kata yang benar adalah yang kupuja. Artinya segala sesuatu Allah sudah dijadikan diatas tanah ini.
“Marilah bekerja keras meningkatkan sumber daya manusia agar bisa menikmati apa yang Tuhan berikan di atas negeri ini,” serunya.
Berikutnya adalah Trio Ambisi menggunakan kata Sio Ya Tuhan. Yance mengatakan kalimat yang benar adalah Oh Ya Tuhan Terimakasih. Sebab ketika berdoa orang selalu mengatakan Oh ya Tuhan Terimakasih.
“Tidak pernah orang bilang sio ya Tuhan Terimakasih,” ujarnya.
Sehingga syair tersebut telah ia luruskan ke versi asli dan telah mendapatkan Hak kekayaan intelektual (HAKI) dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) yang berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia.
“Lagu nya saya notasi langsung dengan empat suara, saya fotokopi dan akhirnya saya diberikan hak cipta. Lagunya sekarang dibeli oleh Gubernur Papua Barat. Sebagai aset untuk Papua Barat jadi nanti kalau berurusan denhan Gubernur papua barat. Lagu ini saya buat dalam tiga bahasa. Indonesia, bahasa biak, dan bahasa inggris,” pungkasnya.
Kini, Yance Rumbino telah kembali menghadap sang khalik, pada Kamis (30/5/2024). Namun karyanya yaitu lagu Tanah Papua akan terus bergema di bumi Cenderawasih.
Sumber: YouTube Humas Kemenkumham Papua