Rafael Taorekeyau, pada suatu siang, menunjukan sebuah foto kepada Jurnalis Sasagupapua.com. Foto itu tampak mulai memudar namun masih bisa terlihat jelas dalam foto itu ada seorang pria tanpa baju, berdiri bersandar di sebuah pintu, dengan tangan sebelah kanan bertato, dan jari ibu sebelah kanan dan kiri terselip di saku celana hitam.
“Ini menggambarkan sa (saya-red) punya penderitaan, karena di foto ini sa tampak banyak beban,” begitu kata Rafael sembari menunjukan foto dirinya 13 tahun lalu dan memulai bercerita.
Tanggal 2 Januari 1992, di Fak-fak Mama Bibiana Tiraparo Mairimau dan Bapak Gerardus Taorekeyau merasa bahagia karena dikaruniai anak ke-5 yang diberi nama Rafael Taorekeyau.
Gerardus Taorekeyau adalah seorang pegawai Telkom di Kabupaten Fak-fak. Waktu itu banyak sekali orang Kamoro maupun Amungme menghabiskan aktifitas di Fak-fak, yang bekerja kantoran, pegawai dan lainnya termasuk ayah dari Rafael. Karena saat itu, Mimika masih merupakan sebuah Distrik dibawah naungan Kabupaten Fak-fak.
Ketika Rafael sudah duduk di kelas 3 SD, Kabupaten Mimika dimekarkan, mamanya memboyong mereka kembali ke Kota Timika. Ayahnya berpindah tugas di Telkom Timika.
“Awalnya mama yang mau pulang kesini karena isu pemekaran dan ada bantuan dari Freeport waktu itu bantuan sosial ke masyarakat yang kena dampak permanen, saya punya mama kampung dari Nawaripi, bapa Aikawapuka,” cerita Rafael.
Tahun 2000 suasana Timika masih sangat baru bagi Rafael, banyak orang imigran, jalan masih tanah bercampur batu, di Koperapoka jalan baru diaspal sekitar tahun 2003-2004 yang diwarnai juga dengan pembangunan.
Rafael lalu melanjutkan SD-nya di SD Nawaripi kemudian berlanjut lagi ke SD Koperapoka hingga selesai dan menamatkan SMP di SMP YPPK Santo Bernardus Timika.
Masa Sulit Ketika Mengalami Broken Home
Ketika duduk di kelas 5 SD, ia harus mengalami masa sulit dimana kedua orang tua memilih berpisah.
Saat itu, ia sebagai saksi ketika sang mama berjuang dan berusaha menghidupi mereka meskipun sesekali ayahnya juga datang dan membagikan berkat untuk kebutuhan sekolah mereka dan lainnya.
“Pertama saya punya mama hanya ibu rumah tangga, mama akhirnya berjualan sayur di pasar, habis itu kita juga hanya numpang di saya punya mama pu saudara-saudara di Nawaripi dan itu cukup sulit untuk mama menghidupi lima orang anak,” jelasnya.
Situasi itu menjadi tantangan yang cukup rumit bagi Rafael sebagai anak bungsu, ia dan empat kakak-kakaknya harus menanggung beban yang berpengaruh pada psikologis akibat tekanan keluarga.
Kakak-kakaknya menjadi pecandu alkohol, kakaknya yang kedua meninggal karena alkohol, yang nomor empat dengan sifat pendiam, menyimpan semua masalahnya hingga terkena tumor otak, kakaknya sementara kuliah di Jakarta, sakit lalu kembali ke Timika dan meninggal.
“Kami dalam keluarga hidup tidak baik-baik saja, gangguan psikologis karena broken home dan kita memilih bahkan ada yang hidup dijalanan, aktifitas nakal-nakalah bahkan mencuri dan lainnya ikut rame,” jelasnya.
Rafael sendiri meskipun masih kecil, ia mengalami kerasnya kehidupan berjualan koran keliling hotel-hotel, memungut botol maupun kaleng bekas, memungut sampah di toko-toko dan membuang kemudian diberikan uang oleh pemilik toko.
“Karena situasi kondisi keluarga, namanya anak-anak butuh jajan jadi kadang kalau orang tua tidak kasih ya kita cari sendiri. Jadi itu di pasar lama waktu itu sangat ramai sekali jadi saya juga habiskan waktu di pasar lama,” terangnya.
Ia bersyukur ketika SMP ia berkesempatan mendapatkan beasiswa LPMAK sehingga tidak lagi membebani orang tua untuk biaya sekolah.
“Momen itu saya ambil untuk tetap bersekolah, sehingga mengurangi beban mama, dan memang jaman itu anak-anak semangat sekolah makanya kita juga terpengaruh semangat untuk sekolah meskipun lingkungan seperti itu tetapi ketika lihat anak anak sekolah kita juga ikut semangat sekolah,” ujarnya.
Mama Bapak, Lalu Kakak Meninggal Dunia
Beban Psikologis ternyata masih terus menghantui Rafael, ketika ia sudah berjuang dan bahagia karena tidak lagi membebani sang mama dengan biaya sekolah SMP-nya, ternyata kenyataan berkata lain baru bersekolah kelas 1 SMP tepatnya di semester dua, Mama yang sangat ia sayangi dan banggakan dipanggil Tuhan.
“Saya bingung mau tinggal dimana e, sementara kami tinggalnya ini numpang. Dengan situasi kondisi keluarga begitu Kaka-Kaka hanya minum-minum saja, yang satu kerja tapi TKBM di bawah sana. Cuman dia kan sudah kawin, hidup dengan anak istri jangan naik (Timika) juga yang tua,” jelasnya.
“Jadi kalau saya tinggal dalam rumah sendiri ini, nanti bagaimana, makan minum bagaimana, itu sudah menjadi bimbang dalam saya punya hidup lanjut sekolah lagi nanti bagaimana,” ungkapnya.
Saat itu, ia tidak sendiri, Rafael masih memiliki lingkungan pertemanan yang baik, membentuk kelompok persahabatan, ia mendapatkan perhatian dari sahabat-sahabatnya tersebut.
“Kadang juga mereka ajak tidur disini sudah. Sampai terakhir ujian kelas 3 SMP kita tidur di sa teman punya rumah, kita semua bersahabat ini tidur di saya punya teman jadi selama kita ujian itu kita sama-sama.Itu yang bisa buat saya lulus SMP,” ungkapnya.
Disamping itu, ketika ia mengalami Broken Home kemudian bapaknya akhirnya memiliki pasangan yang baru lagi jauh sebelum mamanya meninggal. Dan saat momen itu, bapak dan ibu ‘tiri-nya’ merangkul Rafael.
“Saya punya mama (mama tiri) sangat baik setelah mama meninggal dia cari kami anak-anak lalu urus kami dan dari situ saya mendapatkan kasih sayang seorang ibu kembali,” ungkapnya.
Tak hanya itu, dukungan juga datang dari guru-gurunya.
Karena banyak dukungan dari orang-orang yang peduli dengan dirinya, Rafael akhirnya lulus SMP dan melanjutkan SMA di Sekolah SMA Tiga Raja.
Sayangnya, ketika mau masuk SMA, ia harus menerima kenyataan pahit, bapaknya, Gerardus Taorekeyau harus dipanggil Tuhan.
“Waktu saya punya bapak meninggal, itu yang bikin saya mau keluar dari Timika, saya punya mama sudah meninggal kemudian bapa lagi, itu buat saya rasa tempat ini kayak buat saya sial ka,” kata Rafael.
Perasaan tersebut membuatnya bertekad untuk keluar dari Timika. “Kalau saya disini bisa-bisa saya juga mati, nanti saya tidak bisa lanjut kehidupan,” katanya.
Akhirnya ia memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah SMA di luar Timika, ia mencoba keberuntungan dengan ikut tes beasiswa YPMAK namun gagal.
Beruntungnya, Rafael mempunyai keluarga yang panggil dengan pangkat Bapak Ade yang ditugaskan oleh Freeport bekerja di Jakarta.
“Saya telfon ke keluarga saya bilang saya ini sudah lulus SMP, saya rasa kalau saya sekolah di luar itu nanti saya bisa lebih baik dan bisa berhasil,” katanya.
Ia takut nanti semakin lama di Timika dengan banyak tekanan bisa putus sekolah.
“Jadi saya bicara di keluarga secara baik baik jadi keluarga bisa bantu, dan akhirnya mereka support saya untuk berangkat ke bapak Ade di Jakarta,” ungkapnya.
Ia didukung oleh keluarga dan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah SMA di Santo Fransiskus Asisi.
Disana, Rafael mendapatkan teman-teman yang baik, kondisi psikologisnya perlahan terobati, mendapatkan lingkungan yang menerima dirinya dengan baik.
Hal itu membuat Rafael nyaman dan tidak berpikir untuk kembali ke Timika.
“Karakter saya suka berteman dari dulu menang begitu saya tidak mau kumpul dengan orang Kamoro, Kamoro saja, saya lebih suka berteman dengan siapa saja, membaur dengan siapa saja. Akhirnya dengan pembawaan diri seperti itu mereka lebih menerima dan buat saya rasa nyaman dan akhirnya sekolah sampai selesai,” katanya.
Setelah berhasil selesaikan sekolah tingkat SMA, duka kembali datang, Kakak kandungnya (anak ke-2) meninggal dunia akibat tumor ganas.
“Itu saya punya mental down karena yang pertama meninggal yang keempat meninggal lagi jadi saya rasa sa pikir Tuhan itu tidak adil kenapa ambil semua.
Kembali ke Timika, Mulai Down: Semua Saya Konsumsi
Rafael kembali ke Timika ketika sang kakak meninggal dunia. Membuat ia down, pikiran bercampur aduk tidak terkontrol.
“Saat saya pulang dengan kondisi sa punya Kaka meninggal, Kemudian saya mulai pikir wah saya punya mama bapa meninggal jadi itu terenung kembali, tekanan batin mulai tambah lagi. Jadi selesai sudah, itu orang bilang yang jago mabuk punya, saya habiskan untuk menghilangkan pikiran dengan mabuk tiap hari,” ungkapnya.
Rafael tak terkontrol semua aktivitas ia habiskan dengan cara meneguk minuman.
“Ini orang satu timika ini dorang tau, kacau, semua saya konsumsi yang saya tidak bisa sebut disini. Hancur parah punya, tidur di jalan jalan bahkan tidur di parit juga pernah, saya mabuk tiap hari. Saya punya aktifitas itu mabuk terus tapi dengan saya minum tiap hari, setan itu de kasih tiap hari minum itu ada,” katanya.
Ada uang sedikit ia pasti habiskan untuk mabuk.
“Pokoknya ada yang dapat uang, orang tua kasih itu pakai untuk mabuk saja, jadi saya punya hari itu mulai dari pagi, siang, sore, malam, tidur bangun siang mabuk. Makan juga dalam kondisi mabuk,” kenangnya.
Bayangkan, aktivitas itu ia jalankan mulai dari tahun 2012 hingga 2016. “Enam tahun saya ada di lingkungan itu,” katanya.
Perlahan Merendah
Satu waktu, Rafael dalam kondisi mabuk, Rafael bercerita seperti ada malaikat yang datang.
“Ada seorang dokter asal San Fransisco, dr. Clare Cameron tapi sebelumnya juga ada kakak perempuan dari dia bilang anak ini mabuk-mabuk tapi dia punya potensi, dia paham soal komputer, publik speaking bagus siapa tau di bisa kerja, kita panggil dia ke USAID,” ucapnya.
“Kantornya dibelakang Gelael waktu itu, jadi tugasnya kita antarkan obat ke pasien TBC yang ada di Timika,” terangnya.
Singkat cerita mereka panggil Rafael bergabung bersama USAID dan mulai bekerja.
” Tapi sudah tau to Trada uang saja kitong bisa mabuk apa lagi ada uang, itu tambah gila lagi, sudah dapat gaji toh, gaji masuk itu barang putus di minuman,” cerita Rafael sembari tertawa.
“Itu sampai kadang saya suka terlambat ke kantor tapi mereka (USAID) masih sayang saya,” terangnya.
Satu waktu, masih dengan kondisi mabuk dalam momen event hip-hop yang memang ditekuni oleh Rafael, ia bersama komunitasnya melakukan penampilan street hip hop di area Koperapoka.
Ia dihubungi oleh dr.Clare Cameron, dokter tersebut datang melihat aksi hiphop mereka hingga terjaga ketika Rafael sedang dalam kondisi tidak sadar karena dipengaruhi minuman keras.
“Dia jaga saya minum, mabuk, ini dokter jaga saya minum, bule ni dia jaga saya minum, sampai selesai dia bilang ko antar saya pulang dia tinggal di Timika Indah dua, sampai disana jadi selama sampai di dia punya rumah dia beli pizza, makan pizza pulang,” ungkapnya.
Setiap hari, dokter itu selalu ada waktu untuk Rafael.
“Setiap hari begitu, Satu kali dia mau tes saya komputer, waktu itu tidak terlalu paham apa yang dia maksud mungkin dia punya misi tersendiri. Jadi satu kali dia mulai dia tes saya komputer, ko ini ketik cepat juga e ko belajar dari mana saya memang dulu suka main counter strike, suka main game di warnet. Saya suka main game di warnet,” jelasnya.
Ia belum bisa menangkap apa maksud dari dokter tersebut setiap hari dia meminta agar Rafael ikut kemanapun mereka pergi, makan siang selalu bersama.
“Dan memang di momen itu satu momen saya mulai menyadari bahwa dia seperti terapi saya secara diam diam dengan dia punya cara. Setelah itu baru sa mulai paham, dia ajar saya untuk tepat waktu. Hari hari sa mulai disiplin waktu dan kemudian saya mulai merasa bahwa sa jam 12, 10 sa harus kesini kalau sa mabuk lagi sa nanti tidak bisa kesana, dengan sendirinya saya mulai di terapi,” jelasnya.
Dengan sendirinya, Rafael terbiasa dengan kegiatan yang dilakukan oleh dr. Clare.
“Dengan sendirinya terus menerus terjadi refleks begitu saja, saya mulai kurangi aktivitas minum-minum, jalan-jalan,” terangnya.
Kembali ke Pendidikan
dr. Clare berhasil menghipnotis Rafael, ia membawa Rafael keluar dari situasi yang sulit. Disamping itu, Rafael juga diberikan semangat oleh Monica Natalia Kulmanol sang pujaan hati yang menemani dan memberikan semangat hingga ia berhasil keluar dari situasi dan keadaan yang berat. Hingga kini telah menjadi istrinya.
dr. Claire mencoba untuk memberikan semangat kepada Rafael untuk kembali dan kuliah, menerima beasiswa dari YPMAK.
“Saya sempat pikir, orang pasti sudah cap saya tidak baik tidak mungkin mereka terima saya,” katanya.
Tapi kenyataan berkata lain, Rafael ditantang untuk mengikuti tes dan semua dilewati hingga akhirnya ia berhasil berangkat ke Semarang untuk melanjutkan kuliah.
Bukan jarak yang dekat, sekitar 6 tahun sejak tamat SMA, Rafael akhirnya kembali berhubungan dengan dunia pendidikan.
Ia harus berhadapan lagi dengan pihak Yayasan Binterbusih yang menurut Rafael, mungkin mereka juga meragukan dirinya.
“Mereka (YPMAK) suruh saya ketemu sendiri dengan orang Binterbusih saya bicara dengan mereka saya mulai kuliah 2017, dan saya akan selesaikan kurang lebih 3 tahun setengah, hitungan dari sekarang itu komitmen saya,” ujarnya.
Menjadi kejutan dan sangat tidak disangka-sangka, kurang dari 1 tahun tahun 2021, tiga tahun setengah ia mampu membuktikan dirinya lulus ujian skripsi S1.
“Kurang dari 1 hari tahun 2021 itu kurang dari 1 hari saya bawa hasil dan dengan pakaian putih, saya sudah lulus ujian Skripsi Mereka (Binterbusih) terkejut,” ujarnya.
Ia menyadari hal yang mengatur dirinya hingga berhasil adalah disiplin yang diajarkan oleh dr. Clare.
“Itu sederhana tapi kena sekali secara teoritis materi dengan sendiri refleksi akhirnya saya mulai ikuti, saya harus bangun pagi sekian, ada tugas saya harus selesaikan tepat waktu semua dan apa yang tidak dibuatkan di kampus sa coba buat untuk tawarkan di kampus dan saya berhasil, lulus dengan IPK yang tinggi,” ungkapnya.
Kampus mulai menawarkan dirinya sebagai anak Papua yang punya potensi untuk lanjutkan S2.
“Empat hari setelah lulus ujian skripsi saya langsung mendaftar ke S2 dan satu Minggu kemudian kuliah S2 sudah berjalan, jadi saya belum Wisuda sudah mulai kuliah S2, jadi pas saya Wisuda S1 saya sudah jadi mahasiswa S2,” kata Rafael bangga.
Pengalaman adalah Pelajaran
Lewat kisah hidup dari yang dialami oleh Rafael ia menjadi banyak belajar untuk hidup lebih baik dan berharga.
“Cobaan dalam hidup kemudian saya punya orang yang saya cinta semua berpulang, saya terpuruk dan akhirnya saya bangkit lagi meskipun membutuhkan waktu yang lama,” ujarnya.
Semasa kuliah, Rafael juga mulai aktif ikut berorganisasi mendapatkan banyak pelajaran dalam organisasi sehingga ia menjadi matang.
“Kemudian saya menjadi satu anak yang setelah kuliah selesai kuliah itu saya sudah dapatkan pekerjaan, jadi di momen saya kuliah S2 itu saya bekerja dan sudah mendapatkan gaji,” katanya.
Dari pengalamannya, suaranya ia mulai berpengaruh dalam kurun waktu yang singkat. Ia mendapatkan sorotan di Kabupaten Mimika karena banyak bersuara mendorong hak-hak masyarakat yang harus diperjuangkan.
“Ketika saya selesai kuliah, saya datang disini saya mulai lihat banyak hak masyarakat yang harus diperjuangkan, saya ajak masyarakat agar semua untuk perjuangkan haknya,” katanya.
Pengalaman membuatnya banyak belajar. Hingga akhirnya menjadikan dirinya matang dalam berbicara tentang hak orang banyak, Rafael juga kini masuk dalam daftar tunggu 1 DPRK Mimika, ia juga aktif dalam beberapa organisasi dan menjabat sebagai Sekertaris Yayasan Pendidikan Kamoro Bangkit, dan dipercayakan dalam dunia politik sebagai tim pemenangan Johannes Rettob – Emanuel Kemong (JOEL).
“Bagi saya itu semua pencapaian itu Tuhan yang kasih,” katanya.
Bersuara Lewat Karya
Rafael sangat konsen bersuara untuk kepentingan masyarakat Papua. Ia juga bersuara lewat karya musik hip-hop.
Beberapa hasil karya musik yang sudah ia rilis seperti lagu yang berjudul ‘Dapa Siksa Di Tanah Sendiri’ dan ‘Apa Arti Kemerdekaan’ ( YouTube Rafa Qflow).
Dengan keresahan hati, pengalaman hidup semua ia bagikan dalam karya seni.
“Saya punya keresahan dalam diri, yang saya harus ungkapkan lewat banyak jalan seperti platform digital makanya saat saya mulai bergabung dengan komunitas hip-hop, agak jarang saya bicara soal cinta, sa mau bicara sa punya isi hati jadi saya bicara soal bagaimana OAP ditindas, banyak hal banyak kemudian kita ini semacam seolah-olah terasingkan, kenapa orang Kamoro harus jadi pendulang sedangkan mereka punya sumber daya alam yang luar biasa disini, kenapa orang Amungme pendulang, itu yang saya mulai bicara dan kemudian mulai dari sini saya mulai terjun langsung ke lapangan melalui Aliansi Pemuda Kamoro, sampai hari ini,” ujarnya.
Hingga kini, impian dari Rafael adalah mengangkat harkat dan martabat Mimika Wee atau Suku Kamoro.
“Itu impian, karena dasar hidup manusia itu adalah harkat dan martabat, kita jangan meninggalkan itu, budaya, hidup tanpa budaya kita mati dan itu sudah terkikis zaman, OAP itu hidup dengan kebudayaan, perkembangan zaman membuat OAP itu lompat, mulai lompat dari nomaden, semi nomaden kemudian tiba tiba menikmati moderenisasi,” kata Rafael.
Hal tersebut kata dia salah satu faktor yang membuat OAP menjadi terlambat proses untuk bersaing bukan terhambat tapi penyesuaian diri yang sedikit terlambat.
“Jadi butuh banyak hal, dorongan, fasilitas untuk membantu kita untuk bisa sama seperti mereka diluar sana. Untuk itu saya tetap setia dengan Yayasan Pendidikan Kamoro Bangkit ini karena bagi saya gerbangnya ada disini untuk menyelamatkan masyarakat Mimika Wee,” ucapnya.
Pendidikan Keluarga Hingga Sekolah Menjadi Hal Paling Penting
Rafael mengatakan, hidup itu misteri, semua manusia yang Tuhan ciptakan dengan akal dan budi, banyak hal yang dialami ada hal baik, ada hal buruk.
Tapi sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan akal dan budi maka semua pasti bisa melangkah maju.
“Kita juga mampu melakukan banyak hal tidak harus terpuruk dengan situasi dan kondisi yang datang atau globalisasi kita coba mampu melangkah, banyak hal yang kita bisa lakukan, yang terpenting kita bisa mampu melewati semua fase sebagai manusia yang utuh, didalam kehidupan berkeluarga kita harus berkeluarga dengan baik, pendidikan,” ungkapnya.
Ia mengatakan keluarga adalah hal yang terpenting, berkaca dari pengalaman yang ia bagi bersama Sasagupapua.com, Rafael ingin menyampaikan bahwa pendidikan. Formal dan non formal harus diikuti.
“Sekolah itu penting, tidak ada jalan lain menuju kesuksesan selain sekolah, pendidikan itu sangat penting,” ucapnya.
Ia berpesan, untuk generasi Papua khususnya Mimika Wee pendidikan keluarga sangat penting.
Ia juga berpesan kepada orang tua agar jangan pernah meninggalkan anak-anak, harus mendidik anak-anak dengan baik didalam rumah sebab anak-anak bisa rusak semua berakar dari pendidikan keluarga yang tidak baik.
Ia juga mengingatkan agar anak-anak generasi muda jangan pernah melupakan Tuhan ketika dalam situasi terpuruk.
“Apabila ada yang alami hal seperti saya yang pertama itu tidak ada cara lain selain berdoa pada Tuhan, meskipun kondisi tidak baik, waktu itu saya rusak tapi saya selalu punya kerinduan untuk Tuhan tolong saya,” katanya.
Baginya Pendidikan adalah hal yang terpenting, sebab pendidikan merupakan gerbang masa depan, pendidikan yang mampu mengubah karakter seseorang.
“Seburuk apapun karakter kita melalui pendidikan kita akan berubah baik itu pendidikan formal maupun non formal, apabila.kita tidak mendapatkan pendidikan formal minimal kita mendapatkan pendidikan non formal melalui pelatihan, pelatihan kita akan mengubah karakter kita,” kata Rafael.
Terakhir, ia juga menekankan kepada seluruh masyarakat Kamoro agar terus mempertahankan budaya dan jangan pernah menghilangkan budaya.
“Kepada seluruh masyarakat Kamoro jangan hilangkan budaya, kamu itu masyarakat adat, kita ini masyarakat adat, budaya yang buat kita hidup, budaya mati kita mati, sebelum ada pemerintahan sebelum ada apapun dimuka bumi ini adat istiadat sudah ada dan itu diciptakan langsung oleh Tuhan yang maha kuasa, jangan menyangkal diri sendiri, jadilah diri sendiri,” pungkasnya.