Cerpen · 16 Mar 2025 14:41 WIT

CERPEN | Bungkam Lalu Pulang !


Ilustrasi. (Desain: Sasagupapua.com) Perbesar

Ilustrasi. (Desain: Sasagupapua.com)

Karya : AJ.

Bunyi Radio “seorang reporter membaca berita” 

“Dilaporkan 10 orang demonstran yang menolak rencana pemerintah untuk melakukan pembabatan hutan, demi membuka pertambangan dan perkebunan sawit di Distrik Burung Surga, dikabarkan ditangkap Orang Tidak Dikenal (OTK), dua diantaranya bahkan dikabarkan hilang”.

“Pemerintah menilai investasi adalah hal relevan dan akan menunjang pendapatan negara usai diterpa krisis moneter dan gejolak reformasi. Pun begitu, menurut masyarakat setempat yang telah lama hidup mengantungkan diri pada hutan, sungai, gunung serta laut nya, hal itu dapat merusak “Rumah” mereka”.

“Protes dan demonstrasi besar pun terjadi, masyarakat melawan pemerintah saat tim akan melakukan pematokan tanah dan pemetaan lokasi, hingga akhirnya kericuhan pun terjadi “.

(Bungkam)

Darah mengalir perlahan di pelipis kiri mata Mume, robekan sepanjang 5 senti menganga, warna kontras merah melukis kulitnya yang hitam kecokelatan, cairan merah itu terus mengalir ke pipinya, pelipis kanannya membiru dan bengkak karena pukulan tangan hingga benda tumpul, bibir atasnya robek, bibir bawahnya dirias dengan bekas luka yang darahnya telah menghitam. Luka-luka diwajahnya membuat Mume nyaris tak dikenali.

Belum lagi, seluruh tubuh mulai dari pundak hingga pinggul penuh luka lebam, tangannya juga penuh sayatan.

Tubuhnya lemas, terduduk di atas kursi, dengan kedua tangan yang terikat kebelakang. Badanya yang tegap dan berotot karena berburu juga sering menyisir hutan kini seperti sebatang kayu kering menunggu mati. .

“Jadi ini harga dari sebuah perjuangan, rasanya begitu pedih, perih, tapi ini tidak seberapa dibandingkan pedihnya membayangkan tanah kelahiranku yang hijau berubah jadi gersang, penuh asap yang menyesakan,” gumamnya yang sedang terduduk disebuah ruangan 3×4, dengan jeruji di sekelilingnya.

Mume yang sejak tadi terduduk tersentak, setelah seember air tiba-tiba menerpa wajah dan tubuhnya yang lemas diikuti hardikan “Bangun!”.

Ruangan yang hanya diterangi sebuah lampu berwarna kuning, dengan kabel menjuntai ke bawah itu menyorot tubuh Mume, pantulan cahaya ke tubuhnya yang penuh keringat bercampur air, seolah membuatnya berkilau.

“Siapa yang menyuruhmu melakukan aksi protes ha?! Jawab!” teriak seseorang dengan badan gempal, tegap dan berkumis itu.

Mume yang mendengar itu hanya diam, mulutnya seolah terkunci, karena luka robek di bibirnya yang masih belum terlalu kering. Mume juga enggan menjawab karena bosan dengan pertanyaan yang sudah didengarnya ratusan kali, sejak ia dan rekannya Moro juga puluhan orang lainnya ditangkap dua hari lalu oleh segerombolan orang yang mendukung program pembabatan hutan dan pembangunan area pertambangan itu.

Mereka ditangkap ketika melakukan protes bersama warga kampungnya, karena gunung, hutan dan sungai, serta pesisir yang jadi sumber kehidupan mereka akan dibabat, dikeruk, dan diratakan.

“Jadi, kau masih tidak mau berbicara? Apa perlu aku hantam kepala dengan rambut keritingmu itu dengan pentungan ini agar kau bicara!” Teriak seseorang dengan menunjukan sebuah tongkat kayu dengan panjang 120 cm berdiameter 8 cm itu.

Mume yang sejak kecil berburu di hutan tanah kelahirannya, memiliki indra penciuman yang terlatih, meskipun matanya tidak dapat melihat dengan baik, ia tahu orang yang bicara di depannya itu adalah Si Gempal, karena aroma tembakau rokok kreteknya yang memenuhi ruangan kecil itu.

Mume tumbuh besar dari suku yang mengagungkan gunung, bagi mereka gunung dan hutan adalah tempat suci, kemudian tanah adalah simbol ibu, karena menghasilkan banyak jenis bahan makanan untuk mereka.

“Kau ini sama bodohnya dengan temanmu, si Moro, kalian diam untuk apa? Kalian tinggal jawab pertanyaan lalu kalian akan menghirup udara segar lagi, udara kampung halaman kalian yang akan penuh dengan kemajuan” kata si Gempal sembari mendekatkan wajahnya ke arah Mume yang hanya tertunduk.

Mume yang tadinya tertunduk perlahan mengangkat wajahnya ke arah si Gempal. “Mana yang kau sebut kemajuan? tanah kita yang kalian kuras? lubangi? pohon-pohon kalian tebang, dan bakar? jalan-jalan beton yang akan kalian bangun demi keuntungan kalian sendiri? kalian gusur rumah-rumah kami!” teriak Mume diikuti ludahan ke wajah si Gempal.

“Bajingan! Kau!”

“Buuuk,” wajah Mume yang tadinya menghadap ke arah wajah Si Gempal tiba-tiba sudah berubah arah, karena pentungan yang tadi dipegang Si Gempal menghujam ke wajahnya, darah pun mengalir semakin deras dari pelipisnya.

“Pukulan lagi, pentungan lagi, rasanya aku sudah seperti teman dekat mereka, karena keduanya sering berkunjung ke wajahku ini” gumam Mume dalam hati diikuti senyum tipis.

Mume yang sejak kecil selalu mempertanyakan dan berani mengungkapkan isi kepalanya dengan kata yang berapi-api itu, kini hanya tertunduk tak berdaya, wajahnya penuh luka, kedua alis yang menunjukan ketegasan kini layu karena siksaan yang bertubi-tubi diterimanya.

“Kau tidak akan melihat kampungmu dengan segala kemajuannya, kau dan temanmu Moro hanya akan menjadi bangkai!,” kata Si gempal diikuti tawa puas.

“Tak apa jika aku harus kembali pulang, kembali pulang ke tanah leluhur, pulang bertemu mama dan bapa yang telah lebih dulu pergi,” kata Mume dalam hati dengan cahaya mata yang semakin redup.

Di ruang yang hanya berjalak lima langkah kaki, Moro juga mengalami hal serupa, air wajahnya yang biasa terlihat tenang, kini terlihat seperti sebuah sungai keruh penuh lumpur, darah memenuhi wajahnya, karena kedua pelipisnya robek, kedua matanya bengkak dan biru, punggungnya penuh sayatan pisau hingga darah bercampur keringat sesekali menetes ke lantai putih ruangan itu.

“Rasa sakit ini, semua yang saat ini tubuhku rasakan, semua ini adalah keinginanku  untuk menyelamatkan sungai dan lautku agar tak tercemar, tak digenangi sampah, tak disentuh dengan limbah. Aku ingin sungaiku terus mengalir, lautku tetap biru, tetap tenang” batin Moro yang sedari kecil bercengkrama dengan laut.

Sungai dan laut seperti halaman belakang rumah Moro, sejak kecil, bahkan saat dia berdiam di perut ibunya, keduanya menjadi teman setianya. Mereka seperti bagian tidak terpisahkan, leluhurnya menganggap sungai sebagai sumber kehidupan, keseharian mereka mencari ikan, siput, dan kepiting bakau. Bahkan leluhur Moro menegaskan tiga hal penting sebagai moto hidup anak dan cucu mereka, yakni sungai, sampan, dan sagu.

“Sekali lagi aku bertanya, siapa yang menjadi pendukung kalian, untuk melakukan protes? Gara-gara kau dan temanmu itu, warga yang seharusnya tinggal mengangguk, mengaminkan langkah kami, sekarang ikut protes, dasar sial!” kata seseorang dengan perawakan tegap dan berotot itu, dia adalah Si Tegap rekan Si Gempal.

“Kami hanya bergerak atas keinginan kami sendiri, yang sadar apa yang akan kalian lakukan hanya akan menciptakan kerusakan pada sungai dan laut kami, mereka akan penuh limbah, setelah kau keruk gunung itu” timpal Moro dengan suara lirih.

“Kami tahu, kalian akan membuang semua sisa pasir kerukan, lalu menambang dan memurnikan hasilnya, lalu kemana kalian akan membuang limbah? Cara termudah adalah sungai dan laut bukan?”.

Buukkk! pentungan mengarah keras ke kepala Moro.

Si Gempal berjalan dengan kesal, ke arah tempat mereka menahan Moro “Bagaimana? Apa dia berbicara.” Tanya si Gempal kepada si Tegap yang sedang menyalakan rokoknya. “Si sialan ini juga tidak ingin berbicara, dia ternyata sama bodohnya dengan temannya itu” kata Si Tegap sembari memukul perut Moro.

“Kita singkirkan mereka berdua” kata Si Gempal dengan melambaikan tangan kepada empat orang yang sejak tadi duduk seperti anjing penjaga, menunggu perintah dari tuannya.

Tidak lama berselang, terdengar suara kaki-kaki melangkah cepat menghampiri Mume. Kain hitam langsung disarungkan ke mukanya. Mume meronta sekuat tenaga meskipun dengan kedua tangan yang terikat kebelakang dan tubuh lemas akibat siksaan. Namun, pukulan bertubi-tubi dari dua orang yang ingin membawanya mengakhiri usahanya itu.

“Kau akan berakhir,” bisik salah seorang yang membawanya itu.

Mume diseret melewati sel yang menahan Moro, melihat rekannya tidak berdaya dan penuh luka, Moro berteriak sekuat yang dia bisa.

“Mau dibawa kemana dia?! Woy, anjing?! Sembari berusaha bangkit dari kursi.

Mendengar teriakan itu, Mume pun berteriak kepada rekannya itu, “Moro, kita jumpa lagi kawanku, yakinlah suara kita akan terus terdengar” pekiknya diikuti tawa.

Moro tidak berdaya, dia hanya bisa melihat rekannya itu melintas.

“Tidak perlu kau semarah itu, karena kau juga akan menyusulnya” kata si Tegap.

“Mau kau apakan Mume?! Jawab?!

“Kami hanya mengantarnya saja, bertemu dengan moyang yang diagungkannya itu” kata Si Tegap diikuti tawa.

 

(Pulang) 

Pintu sel Moro berbunyi, ia mendengar langkah kaki menuju kepadanya, ikatan talinya dilepas lalu diganti dengan sesuatu yang rasanya dingin saat menyentuh dipergelangan tangannya.

“Kau sudah borgol dia?”

“Sudah pak”

“Cepat bawa dia, kita tidak punya banyak waktu, matahari segera terbit, bagaimana dengan perahu? Sudah siap?”

“Sudah pak”

Moro diseret perlahan meninggalkan ruang 3×4 itu. Dengan mata yang sudah tidak lagi dapat melihat dengan jelas, Moro melirik sekilas, kemana dia dibawa, ternyata dia dimasukan ke dalam sebuah mobil,  setelah itu kepalanya dimasukan ke dalam sebuah kain berwarna hitam, Moro pun tidak lagi bisa melihat, kemana dia akan berakhir.

Dalam perjalanan itu, Moro mendengar percakapan orang-orang yang membawanya.

“Sepertinya, protes menyebar, warga juga semakin berani, mereka tidak segan menyerang dengan batu, atau apapun, mereka juga mempertanyakan kedua orang ini”.

“Tidak perlu khawatir, kita sudah bereskan si bangsat Mume itu bukan? Sekarang mungkin dia sudah di makan cacing” diikuti gelak tawa keras, mobil pun penuh suara tawa orang-orang itu.

Mendengar itu, hati Moro tercekat, terlintaslah kenangan saat dirinya Mume dan warga bertemu untuk merencanakan aksi demo. Mume yang berapi-api selalu menjadi pengobar semangat para warga yang selalu ragu dan diliputi ketakutan untuk melakukan aksi. Sementara dia yang teduh dan tenang selalu melerai debat yang sering terjadi antara Mume dan masyarakat lain.

“Selamat jalan kawan, seperti katamu, kau telah kembali pulang.” Kata Moro, yang tak terasa air mata mengalir di pipinya.

 

(Pulang I) 

Suara burung bernyanyi begitu merdu, sembari mereka terbang menari diantara pepohonan yang tinggi, daun dari pohon-pohon di hutan lebat, seolah memayungi Mume, matanya melihat langit biru, hidungnya mencium bau tanah yang khas, tangan dan kakinya terikat, yang bisa dia lalukan adalah tersenyum. Sementara tanah perlahan mulai menutupi tubuhnya, tidak ada lagi sakit, teriakan protes, tidak ada lagi pukulan, dia menatap ke atas, menikmati perjalannya kembali “Pulang” kepada para leluhurnya.

Jauh di dalam hati Mume, di saat-saat terakhirnya, sebelum seluruh tubuhnya ditutup tanah yang digali dua orang dengan sekop itu, Mume berceletuk “Semoga debu dan asap tidak menggulung dilangit biru rumahku, pohon tinggi tidak kehilangan teduhnya, deru mesin tidak menyamarkan nyanyian angin dan daun-daun di ranting, sungai-sungai tak tersumpal, gununug-gunung tak dipangkas dan dikeruk”.

Mume perlahan menutup matanya, begitu juga tanah yang kini sudah menutup seluruh tubuhnya, memeluknya erat hingga dadanya terasa sangat sesak, cacing-cacing mengerubungi tubuhnya seolah menyambut pulangnya Anak gunung dan hutan yang lama pergi berkelana. Napas terakhir Mume pun bertiup, seolah berkata “Aku Pulang”.

 

(Pulang II) 

Suara mesin mobil akhirnya berhenti, Moro pun mendengar suara yang tidak asing ditelinganya, dia pun langsung tahu, itu adalah bunyi air yang bertemu dengan karang, dan pasir pantai.

Moro membuka matanya perlahan, entah berapa lama dia menutup matanya itu, bebat kain hitam tidak lagi menutup matanya, dia pun mengitip dari jendela mobil itu. Pemandangan laut, dan pantai yang luas membentang dihadapanya. Terlihat juga pohon kelapa yang menari ditiup angin.

“Oh Tuhan, ini pantai, ini laut?!” Decak kagum dalam hatinya.

Dua orang menghampiri mobil, salah satunya adalah si Tegap, pintu pun dibuka, angin bertiup kencang, membelai kulit di seluruh tubuh Moro.

“Turun kau, ini akan menjadi akhirmu” kata Si Tegap yang telah berdiri di depanya.

Dengan tangan terikat, Moro dipapah menuju sebuah perahu mesin, oleh si Tegap dan seorang lagi, sementara seorang lainnya menyalakan mesin perahu.

“Pak, perahunya sudah siap”

“Kita ke tengah laut.” timpal si Tegap sembari berusaha menyalakan rokok.

Mume yang duduk ditengah perahu dikelilingi si Tegap dan rekannya itu, hanya melihat ke arah laut, hatinya yang kalut, takut, kini tenang, dia seolah tahu akan menghadapi apa, tetapi dia juga tahu, Laut adalah rumah terbaiknya kembali pulang.

“Berhenti” hardik si Tegap kepada si pengemudi perahu.

“Cepat, angkat dia berdiri” dua orang dengan cepat mengangkat tubuh Moro yang duduk di tengah perahu untuk berdiri.

“Ada kata terakhir?” kata si Tegap sembari menghisap rokoknya yang tinggal menyisakan puntung.

Mume hanya melihat mata si Tegap lalu berkata “Ibu, Ayah, dan leluhur aku pulang”.

“Door” bunyi keras meletup.

Moro merasakan ada sesuatu yang menembus dadanya, kedua orang yang memegangnya lalu mengangkat dan melemparnya ke laut.

Moro hanya melihat ke atas, cahaya matahari kian redup, saat tubuhnya semakin dalam melayang ke dasar laut, para ikan serta lumba-lumba menari disekelilingnya, mereka seolah ingin menyapa Moro.

Lumba-lumba seolah tahu Moro akan tinggal lama kali ini, tidak seperti biasanya yang hanya melintas menggunakan perahu.

Lambat laun mata Moro mulai menutup, nafas kehidupan seolah meninggalkan tubuhnya.

“Maka kini pulanglah aku ke dasar perutmu, kau yang menjadi sumber kehidupan sejak nenek moyangku hingga diriku, akan menjadi tempat terakhirku menutup segalanya, semoga aku menjadi nutrisi bagi ikan-ikan ini lalu jadi energi buat kehidupan generasi setelahku”.

Sayu terdengar suara radio “Protes warga semakin berkecamuk menolak program pembabatan hutan dan pembangunan area pertambangan di area gunung Burung Surga. Menurut warga yang telah lama tinggal di wilayah itu, pembabatan hutan sama saja merampas sumber kehidupan mereka, belum lagi adanya pertambangan juga akan mencemari lingkungan, sungai hingga laut”.

“Bentrokan bahkan terjadi antara para warga yang menolak dengan mereka yang disewa oleh perusahaan Tindas, selaku pemenang tender proyek nasional itu, hingga mengakibatkan puluhan orang luka-luka”.

“Akibat protes tersebut, pemerintah pun mengambil tindakan, rencananya mega proyek itu akan dihentikan”.

 

AJ (13/1/2025).

Berikan Komentar
Artikel ini telah dibaca 117 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Sa yang Mendukung de yang Mengandung

27 April 2025 - 21:27 WIT

Trending di Cerpen