HARI Mangrove Sedunia yang diperingati setiap tanggal 26 Juli menjadi momentum bagi kelompok peduli lingkungan di Jayapura untuk ikut menyuarakan tentang pentingnya ekosistem mangrove.
Di Jayapura lokasi hutan mangrove berada disepanjang Teluk Yotefa. Namun seiring waktu kondisi hutan mangrove di Teluk Yotefa terus mengalami tekanan. Yang utama adalah pengalihfungsian lahan yang dimulai dengan penimbunan.
Peringatan hari mangrove sedunia yang diadopsi oleh UNESCO sejak tahun 2015 ini disahkan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya ekosistem mangrove dan mempromosikan konservasi mangrove secara berkelanjutan.
Indonesia merupakan negara maritim yang luas ⅔ wilayahnya adalah lautan. Kondisi ini membuat Indonesia memiliki hutan mangrove terbesar di dunia dengan luas mencapai 3,36 juta hektar.
Luas ini merupakan 20 persen dari luas total seluruh hutan mangrove di dunia.
Mangrove memiliki peran yang penting untuk mencegah abrasi pantai. Selain itu, mangrove juga menghasilkan berbagai komoditas perikanan dan kehutanan, menyaring limbah secara alami, menjadi habitat dan tempat pemijahan beberapa jenis satwa, dan mencegah intrusi air laut.
Lainnya adalah ekosistem mangrove berpotensi besar dalam menyerap dan menyimpan karbon yang mengancam terjadinya perubahan iklim.
Sehingga, menjaga ekosistem mangrove sama artinya dengan mencegah terjadinya bencana alam yang dapat disebabkan oleh perubahan iklim.
Pada momen hari mangrove tahun 2023 ini, diperingati pegiat lingkungan di Kota Jayapura dengan menggelar aksi demo damai di lokasi Kawasan Konservasi Hutan Bakau Pantai Hamadi, Jayapura Selatan yang sempat pada 11 Juli digrebek dan dilakukan penegakan hukum.
Dalam momen aksi demo damai tersebut, selain orasi mereka juga membawa pesan berbagai tulisan diantaranya, ‘Mangrove Dijaga Bukan Ditimbun’, ‘Hutan Perempuan Not For Sale’, Kawasan Konservasi kok Beralihfungsi’, ‘Ini Dapur Bukan Tempat Batu Kapur’, ‘Usut Tuntas Pelaku Perusak Lingkungan’,.
Para pegiat lingkungan menyampaikan empat pernyataan sikap yaitu.
Pertama, Meminta penyidik Dinas Kehutanan, Balai Gakkum dibantu aparat kepolisian mengusut tuntas para pelaku yang terlibat dalam pengrusakan kawasan konservasi Teluk Yotefa dan menjadikan kasus penimbunan di kawasan konservasi yang melibatkan SR sebagai pintu masuk untuk merunut peta kawasan karena disinyalir telah muncul sertifikat di area konservasi.
Kedua, Meminta pemerintah kota tegas dalam pemetaan rencana tata ruang wilayah dan memastikan kawasan konservasi tak beralihfungsi. Selain itu DPR Kota perlu lebih peka dengan mengambil peran dalam melahirkan regulasi yang memproteksi kawasan konservasi. Status tanah lindung bisa menjadi alternative atau terobosan baru yang artinya tak hanya hutan yang dilindungi tetapi juga tanah yang berada di Kawasan konservasi harus bisa dipastikan tidak akan diperjual belikan meskipun dilakukan oleh pemilik ulayat.
Ketiga, Dinas Kehutanan, BBKSDA maupun DPR Kota harus proaktif memberikan sosialisasi dan edukasi kepada warga terutama pemilik modal usaha untuk tidak lagi menjadikan Kawasan konservasi sebagai tempat usaha.
Keempat, Mengembalikan kondisi hutan mangrove yang dirusak seperti semula atau revitalisasi lahan.
Emma Hamadi selaku orator aksi pada penyampaiannya mengatakan sebagai orang yang peduli, pihaknya tidak mau lagi hutan mangrove ini dijadikan sebagai lahan kepentingan.
“Tolak semua pembangunan sebab ini adalah hutan perempuan. Hutan yang tak boleh lagi ada aktifitas di tempat ini apalagi dilakukan penimbunan. Kami tidak bicara siapa pemilik tanah dan siapa pemilik sertifikat namun yang diminta adalah lokasi hutan mangrove harus steril dan tetap seperti ini untuk anak cucu nanti,” katanya dalam rilis yang diterima Sasagupapua.com.
Ia meminta proses hukum ditegakkan sebagai cermin keseriusan aparat penegak hukum itu sendiri.
“Kalau tidak diproses kami tidak akan percaya dengan pemerintah dan aparat hukum maupun kepolisian, tolong catat itu,” tambahnya.
Sementara itu, koordinator Aksi, Vhian Sada menjelaskan, kelompok peduli yang tergabung dari sejumlah komunitas lingkungan di Jayapura ini meminta agar kawasan Mangrove tetap ada dan tidak beralihfungsi.
“Hutan Mangrove Not For Sale sebab ini ‘dapur’ bukan tempat batu kapur,” ucapnya.
Selain itu ia memastikan bahwa para pegiat lingkungan akan terus memantau perkembangan proses hukum yang sedang berjalan saat ini.
“Kami tidak mau menyoroti satu pihak yang sedang berperkara sebab kami yakin kejadian 11 Juli itu hanya satu sampel dan masih banyak sampel lainnya sehingga ini perlu diungkap dan dibuka secara terang benderang. Sekali lagi hutan bakau ini pelindung bukan justru ditimbun,” ucapnya.
Penulis: Kristin Rejang