Menu

Mode Gelap

Lingkungan · 15 Nov 2025 09:03 WIT

Janji Iklim di Panggung Dunia, Perusakan di Tanah Papua: Food Estate Merauke, Deforestasi, dan Krisis Hak Masyarakat Adat


Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Merauke, Teddy Wakum di Beleém, Brasil, 11 November 2025. (Foto: SIEJ/Joni Aswira) Perbesar

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Merauke, Teddy Wakum di Beleém, Brasil, 11 November 2025. (Foto: SIEJ/Joni Aswira)

SASAGUPAPUA.COM, Belém –  Di tengah sorotan dunia pada Konferensi Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, proyek “food estate” di Merauke, Papua, kembali menjadi contoh kontras antara komitmen iklim Indonesia di panggung global dan kenyataan di lapangan.

Dikutip dari media COP30 SIEJ dalam sesi diskusi bertema “Food Estates in Papua: The World’s Largest Deforestation Project”, aktivis lingkungan sekaligus Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien menilai proyek strategis nasional (PSN) itu justru memperparah deforestasi dan menyingkirkan masyarakat adat Papua dari wilayah hidup mereka.

“Deforestasi di Merauke terus terjadi, baik di lahan tebu maupun cetak sawah. Itu terjadi di hutan alam dan areal gambut yang seharusnya dilindungi negara,” kata Andi di Belém, Brasil, 11 November 2025. “Kalau dilihat dari komitmen pemerintah menjaga hutan dan masyarakat adat, kondisi di lapangan justru sangat bertolak belakang.”

Ia menegaskan, proyek food estate di Merauke harus dievaluasi ulang dan diselaraskan dengan komitmen iklim nasional seperti Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dan target FOLU Net Sink 2030. “Proyek ini harus dihitung ulang dan disesuaikan dengan janji yang Indonesia sampaikan di forum internasional,” ujarnya.

- Advertising -
- Advertising -

Dampak proyek pangan skala besar itu bukan hanya pada hutan, tapi juga pada masyarakat adat yang kehilangan tanah dan identitas budaya. “Apakah masyarakat adat yang tergusur akibat PSN Merauke juga termasuk dalam janji pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat pemerintah? Jangan-jangan mereka justru tidak dihitung,” tutur Andi.

Kritik serupa disampaikan pengacara hak masyarakat adat sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Merauke, Teddy Wakum. Ia menyebut proyek food estate melibatkan peran militer dan menimbulkan ketegangan sosial di lapangan. “Ini proyek besar negara. Tapi bagi kami, apapun caranya akan kami tempuh, termasuk lewat mekanisme internasional, agar dunia tahu bahwa masyarakat adat Papua hari ini sedang menghadapi ketidakadilan,” kata Teddy di tempat yang sama.

Ia menilai paradoks antara diplomasi hijau Indonesia di luar negeri dan realitas kehancuran hutan di dalam negeri kian mencolok. “Di luar, Indonesia bicara soal perdagangan karbon dan pelestarian hutan. Tapi di Merauke, hutan masyarakat adat justru dibabat. Kalau serius ingin bicara iklim, hentikan proyek-proyek perusak hutan,” tegasnya.

Kontras dengan kritik itu, dalam pidatonya di Leader Summit COP30 pada 6 November, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan bahwa Indonesia “tetap berkomitmen memperkuat target iklim nasional” dan telah menurunkan tingkat deforestasi sebesar 75 persen sejak 2019. Hashim juga menyoroti kebijakan pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat dalam empat tahun ke depan sebagai wujud inklusivitas aksi iklim Indonesia.

Namun bagi para aktivis, angka-angka itu belum menjawab ketimpangan struktural yang mereka saksikan langsung di Papua. Proyek food estate yang diklaim untuk ketahanan pangan nasional justru menimbulkan krisis ekologis dan sosial di kawasan yang selama ini menjadi paru-paru terakhir Indonesia.

Di balik pidato diplomatis dan statistik keberhasilan, suara dari hutan Merauke menuntut keadilan: agar janji iklim tak berhenti di meja negosiasi, tapi hadir nyata di tanah tempat masyarakat adat berakar dan bertahan.

Berikan Komentar
Artikel ini telah dibaca 22 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Komunitas Pemuda Adat di Sorsel Tolak Keras PSN di Wilayah Adat Tanah Papua

12 November 2025 - 17:08 WIT

COP 30: Misi Paviliun Indonesia Belum Mewakili Masyarakat Adat dan Orang Muda Papua

12 November 2025 - 13:14 WIT

Dari Bom Ikan hingga Pemetaan Partisipatif: Dilema Hukum Adat dan Konservasi di Papua

2 November 2025 - 21:51 WIT

Youth Forest Camp 2025: Deklarasi Solol Tuntut Pengakuan Adat, Kopi Jadi Simbol Ekonomi Hijau Papua

2 November 2025 - 21:18 WIT

CENDERAWASIH: Diburu, Rumahnya Duhancurkan, Jadi Mahkota Dipakai ‘Sembarangan’, Berujung Dibakar

25 Oktober 2025 - 08:53 WIT

Tim Blok Wabu Akhirnya Bertemu Bahlil Lahadalia, Berikut Hasilnya

2 Oktober 2025 - 21:27 WIT

Trending di Lingkungan