Site icon sasagupapua.com

Kata Masyarakat Kampung Yoboi: Olah Pakai Mesin, Perempuan ‘Su’ Tidak Ramas Sagu

Saul Wally saat mengolah sagu menggunakan mesin parut bersama anak-anaknya. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Penulis: Kristin Rejang 

 

SAUL Wally (60) pada Jumat (10/1/2024) terlihat sibuk memperbaiki mesin parutan sagu untuk siap mengolah sagu yang sudah dikuliti dan dipotong sejak kemarin. Sagu yang dipotong adalah sagu phara yang merupakan sagu berkualitas nomor satu bagi masyarakat Sentani.

Saul tidak sendiri, tampak Deto Tokoro (29) keponakan dari Saul yang selalu setia membantu sejak ia masih SD. Deto yang mengenakan topi dan sepatu boot itu terlihat sibuk menyiapkan mesin Alkon milik mereka sebagai alat untuk menyedot air.

Sagu phara yang sudah dibelah dan akan dipotong lagi untuk diparut. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Selain itu ada beberapa anak-anak muda seperti Agus Mallo yang merupakan keponakan dari Saul Wally, juga ada dua anak muda lainnya yang tampak ikut membantu aktivitas yang berlangsung di sudut hutan sagu Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura siang itu.

Saul tak lagi menokok sagu sejak tahun 2002 sebab sudah mengenal mesin parutan sagu.

Menurut masyarakat setempat, mesin parutan sagu tersebut pertama kali dibawa oleh seorang warga Kampung ketika ia belajar dari luar. Dan sudah ada sejak tahun 90-an.

Mesin sagu itu dirancang oleh Saul dengan menggunakan mesin parutan kelapa yang diganti mata pisaunya dengan desain yang cocok untuk memarut sagu. Dengan bantuan minyak bensin, mesin tersebut bisa bergerak.

Batang sagu sedang di belah menjadi ukuran yang lebih kecil untuk di parut. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Biasanya secara tradisional, laki-laki bertugas menebang, menguliti, dan menokok sagu, lalu perempuan bertugas untuk meramas sagu. Aktivitas tersebut kini tak lagi digunakan oleh Saul, sekarang mereka menebang, menguliti menggunakan kampak atau sensor,  lalu memotong batang sagu berukuran 80 centi, dipikul keluar dari hutan lalu dipotong lagi menjadi bagian kecil-kecil kemudian diparut.

Mereka juga merancang tiga buah drum plastik biru yang akan digunakan untuk menyaring sagu. Usai memarut, ampas sagu kemudian diangkut menggunakan ember lalu dimasukan kedalam saringan yang sudah disiapkan, lewat saringan tersebut, air sagu akan diendapkan disebuah tempat segi empat yang dibuat menggunakan batang sagu, ditutupi kulit sagu, lalu dilapisi dengan beberapa baliho partai yang dijahit menyatu agar tidak ada kebocoran saat pengendapan.

Deto Tokoro saat menyaring ampas sagu. (Foto: Edwin Rumanasen/sasagupapua.com)

Dengan metode ini, perempuan tak lagi punya peranan untuk meramas sagu seperti gaya tradisional biasanya. “Sekarang mace alkon yang bantu Ramas,” celetuk Deto.

Ketika ampas sagu dimasukan ke wadah saringan, lalu mesin alkon dibunyikan dan air yang berasal dari danau Sentani tersebut mengalir keras melewati selang lalu diarahkan ke dalam saringan, air keras tersebut membantu memisahkan sari sagu dengan ampasnya.

Aktivitas pengolahan sagu yang dilakukan di pinggiran danau Sentani masih dalam kawasan hutan sagu sehingga sangat membantu untuk memperoleh air yang banyak dalam proses pencucian ampas sagu.

Pengolahan sagu menggunakan mesin tersebut memang membutuhkan tenaga laki-laki, jelas terlihat membutuhkan tenaga yang kuat, juga kecekatan dan kecepatan.

Tampak proses penyaringan sagu yang membutuhkan banyak tenaga. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com)

Ada yang harus bertugas memegang selang Alkon yang berat karena derasnya air, ada yang bertugas memasukan ampas kering sagu ke dalam penyaring, ada yang bertugas membuang ampas sagu yang sudah selesai di saring.

Sesekali ada yang membantu mengangkut ampas sagu di saringan yang masih tertinggal di saringan bawah, sembari memantau jangan sampai tempat pengendapan mengalami kebocoran. Semua dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Proses penyaringan sagu. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Menurut Mereka Antara Kualitas dan Waktu

Agus Mallo (18) ketika beristirahat, bercerita sembari  mengenang ketika bersama ayahnya. “Saya dari kecil sudah bantu bapa tokok sagu, kita kupas kulit bagian atas baru tokok, biasa itu bapa dari sana (ujung batang sagu yang satu) baru saya dari sini, nanti tokok sampai ketemu di tengah-tengah,” ujarnya.

Agus merupakan generasi yang beruntung karena sempat merasakan sensasi menokok sagu. Namun saat ini ia lebih mengenal pengolahan sagu menggunakan mesin.

Agus Mallo saat memarut sagu. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

“Kalau tokok memang kualitasnya bagus, tidak capek, tapi prosesnya lama, bisa sampai tiga hari baru satu pohon, kalau sudah gelap besoknya lanjut lagi, tapi kalau pakai mesin satu hari bisa tiga pohon habis, memang kalau pakai mesin kualitasnya beda, terus lebih beresiko salah-salah tangan bisa hancur kena mesin, terus ada pengeluaran juga seperti bensin, kalau tokok kan tidak,” ungkapnya.

Tugas dari laki-laki Papua ketika mengolah sagu secara tradisional adalah menebang, menguliti, dan menokok, kemudian peran perempuan adalah meramas sagu.

Ketika ada mesin, cara mengolahnya menjadi berubah, laki-laki bertugas untuk menebang sagu, menguliti, lalu memotong, kemudian memikul ke area yang dekat dengan sumber air dan mesin sagu, lalu batang sagu di parut. Perempuan tak lagi meramas sagu sebab semua dikerjakan oleh laki-laki dan mesin.

“Pakai mesin ini memang cape juga apa lagi pas proses saring, pas buang ampas sagu itu berat sekali, butuh tenaga,” kata Deto.

Proses pengendapan sagu yang sudah disaring (foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Ditambah lagi kadang mesin terjadi eror. “Tapi karena jaman sudah berubah jadi kita pakai mesin supaya lebih cepat,” ungkapnya.

Saul Wally juga sepakat dengan pendapat kedua putra Sentani tersebut, menurutnya Tokok sagu memang kualitasnya bagus saat dimakan, namun hasilnya kurang.

“Kalau tokok memang hasilnya kurang,  satu pohon kita biasa dapat 8-7 karung paling sedikit 5 karung. Kalau mesin bisa kita dapat sampai 11 karung,” katanya.

“Jadi kalau pakai mesin, mama-mama tidak lagi ramas sagu, dong urus makan saja,” lanjutnya.

 

Sagu Untuk Hidup

Saul Wally menuturkan mereka menebang sagu untuk diolah hanya ketika stok di rumah baik untuk makan sehari-hari maupun berjualan habis.

“Panen biasa tidak menentu kalau stok habis untuk makan atau ada butuh anggaran sekolah ya kita tebang sagu satu atau dua pohon,” jelas Saul.

Sagu yang diambil selain untuk makan, juga dijual untuk kebutuhan anak sekolah. “Anak saya yang kandung ada dua orang dan saya ada piara enam anak juga, semua saya hidupi dengan sagu ada yang SD, SMP yang paling tinggi SMA kelas 3,” terangnya.

Saul Wally bersama anak-anak saat mengolah sagu. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

“Setiap hari harus kasih keluar uang 200 ribu lebih, apa lagi yang SMA di Buper itu satu hari 100 ribu untuk transportasi, ” jelasnya.

Akses Kampung Yoboi memang harus menggunakan perahu, sehingga anak sekolah setiap pagi ikut perahu, kemudian sampai di dermaga mengganti transportasi taksi maupun ojek.

Untuk itu, Saul terus berjuang demi menghidupi anak-anak melalui sagu dan ikan.

Sagu bagi Saul adalah untuk hidup. Ia paling cepat mendapatkan uang dari sagu ketika sagu dijual di pasar.

“Satu karung dijual Rp300 ribuan, kadang kalau tidak laku berarti kita jual Rp250 ribu, dan kalau dibawa ke pasar itu sudah pasti habis,” ujarnya.

Ia mengatakan potensi ekonomi dari sagu juga cukup menjanjikan.

Anak-anak saat membantu Saul Wally saat mengolah sagu. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

“Satu kali panen lalu jual kadang-kadang dapat Rp3 juta, paling sedikit dua juta. Itu yang putar untuk anak punya sekolah,” jelasnya.

Menurut pengakuan Saul, Meskipun Pohon Sagu ditebang, namun ia selalu berusaha untuk menanam kembali. Pasalnya setiap satu pohon yang ia tebang, Saul akan menanam kembali 5-10 pohon sebagai penggantinya meskipun sagu baru akan dipanen sekitar 15-20 tahun kemudian.

“Tidak boleh hanya tebang saja. Memang ada sagu yang tumbuh sendiri. Dusun sagu besar begini masih banyak yang bisa dipanen ada yang sampai busuk-busuk karena orang tidak bisa jangkau, tapi tetap kita harus menanam lagi,” kata Saul.

Ia merasa bangga dengan hutan sagu yang ada di kampungnya.

“Kami bangga sekali karena udara dari sagu memberikan kami kehidupan, tidak bikin kami sakit karena mengeluarkan kesejukan, setiap hari kami hirup udara dari sagu membuat kami tetap sehat,” tuturnya.

Kampung Yoboi dan SAGU-nya

Kampung Yoboi merupakan kampung wisata yang selalu menjadi idola para wisatawan ketika dilaksanakan Festival Ulat Sagu.

Berawal hasil foto seorang jurnalis yaitu Billy Tokoro, kampung Yoboi akhirnya bisa terkenal hingga manca negara.

Suasana di Kampung Yoboi. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Disana juga terdapat lokasi tracking sagu yang dikerjakan oleh masyarakat setempat atas bantuan Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2020 lalu.

Lokasi tracking sepanjang 420 meter itu dibangun untuk memanjakan mata para wisatawan menikmati hutan sagu di Kampung Yoboi.

Ditemani Jems Wally (41) Jurnalis Sasagupapua.com, ikut melintasi lokasi tracking tersebut. Sayangnya beberapa balok kayu sudah mulai terlepas, menandakan kurang adanya perawatan.

“Kami belum tarik retribusi karena memang harus ada badan hukum, rencananya tahun ini mau buat Badan Usaha dulu baru kita bisa pikirkan yang lainnya,” kata Jems.

Jems juga menuturkan kedepan mereka berencana mengganti tracking tersebut dengan bangunan beton agar lebih kokoh.

“Ini biasa kalau tidak ada festival ada yang datang buat ulang tahun juga di lokasi ini, ada juga yang berkemah, cuman kami tidak tarik tarif,” jelasnya.

Mengenai pengolahan sagu menggunakan mesin, Jems menyebut di Kampung Yoboi memang lebih banyak orang mengolah sagu menggunakan mesin, namun ada pula yang sesekali menokok sagu. Proses menokok sagu juga biasanya ditampilkan saat festival.

Kampung Yoboi dihuni kurang lebih 114 Kepala Keluarga dimana ada empat suku yang mendiami kampung tersebut.

Suku-suku itu adalah Wally, Tokoro, Depondoe dan Sokoy atau biasa disingkat (Watdos). Bahasa daerah yang digunakan adalah dialeg Sentani Tengah.

Kepala Suku Dari Ovole olouw (Ovotouw), Agus Wally menjelaskan jenis sagu yang tumbuh di hutan Kampung Yoboi bervariasi.

“Sagu-sagu diambil dari tempat lain. Nenek moyang jaman dahulu mereka pikir bagaimana supaya hutan sagu luas akhirnya mereka tanam, sehingga yang tanamnya kita tidak tau, sagunya ada disini pemiliknya dari kampung lain, karena kita semua ini berlatar belakang dari satu pulau, tapi karena seribu satu keadaan akhirnya kita pindah,” jelas Agus.

Ia menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian kurang lebih ada 27 jenis sagu yang ada di Kampung Yoboi. Dari 27 jenis tersebut ada beberapa sagu yang menjanjikan dan bernilai paling mahal, sagu tersebut adalah Phara, Yebha dan Follo.

Pria kelahiran 28 November 1955 ini mengatakan dalam menjaga sagu, masyarakat masih mengalami kesulitan sebab ada yang berpikiran untuk menjaga, ada yang berpikiran menebang hingga tebang satu tanam lima pohon tak lagi berlaku.

Suasana lokasi tracking sagu di Kampung Yoboi. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Usia sagu bukan hanya setahun atau dua tahun namun, kata Agus membutuhkan 15 tahun lamanya ketika sagu ditanam hingga dipanen.

Sagu yang terdapat di hutan Kampung Yoboi juga ada yang tidak dipanen akhirnya busuk dan jatuh menjadi gudangnya ulat sagu.

“Alam begitu baik, sagu meskipun sudah tidak bernilai untuk dipanen namun masih menyediakan ulat sagu untuk bisa dikonsumsi,” katanya.

Menurutnya, masyarakat belum mencintai hutan sagu, sebab kata dia mencintai berarti merawat, membersihkan.

Sagu selain dikonsumsi untuk makan sendiri, masyarakat juga menjual untuk kebutuhan sehari-hari. Sagu juga bukan hanya dijadikan papeda, karena perkembangan jaman, diolah menjadi tepung, hingga aneka kue-kue.

Karena jaman tersebut, kata Agus Wally sekarang bukan lagi masyarakat yang mencari pasaran, melainkan pasaran yang datang dan menjemput sagu.

“Dulu hanya ambil untuk makan, dulu sagu diisi didalam Tumang dan dibawa ke pasar. Sekarang tidak, pasar dia datang di dekat. Jadi pasarnya yang datang mencari,” jelasnya.

Pengolahannya juga sudah tidak lagi menggunakan tradisional, melainkan menggunakan mesin yang hasilnya memang banyak namun rasa sagunya berbeda.

“Tahun 1973 saya masih kelola alat tradisional di jaman itu tidak bisa buang ampas sagu sembarang. Jaman itu kami tumbuh dengan daya pikir tradisional, sekarang lain, dulu kami menjaga sagu di dengan baik karena didikan, sekarang tidak,” ungkapnya.

Suasana tempat pengolahan sagu di pinggir danau Sentani. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Agus juga mengungkapkan beberapa masyarakat yang mengolah sagu pakai mesin, memang mempermudah namun tidak ada stok di rumah dan malah sehari-hari masih beras yang dimasak jadi nasi. “Saat ditanya sagu, jawabannya aduh sudah jual semua,” ujarnya.

Ada pula kata Agus, masyarakat yang terkesan ‘nakal’ karena tidak menghargai pemimpin dusun.

” Ada dari luar ambil tapi tidak minta ijin. Diambil secara terang-terangan tapi kirimnya secara sendiri-sendiri. Lewat untuk melihat sagu lalu pakai sampan ambil diam diam, bahkan tidak minta juga. Diambil ke kota. Itu masalah dan tidak ada yang minta ijin. Ada yang sifatnya nakal, ada yang sopan santunnya bagus menghormati komandan dusunnya,” ungkapnya.

Padahal, dulu kata Agus sangat kental dengan adat dan saling menghargai komandan dusun.

Kepala Suku Dari Ovole olouw (Ovotouw), Agus Wally. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

“Bahkan ikan satu ekor pun digantung dan mereka lihat pasti mereka minta ijin. Mereka gantung lalu kepala suku akan membuat perhitungan ketika meminang. Sekarang tidak ada seperti itu main belakang saja nanti baru baku urus,” terangnya.

Ia menerangkan praktek tersebut sudah sering dilakukan tidak hanya orang dari luar kampung namun juga dilakukan oleh orang dikampung Yoboi sendiri.

“Ada rasa sesalnya, ada yang ambil sagu, bayar dengan hasil sagu, jadi permainan bisnisnya itu berjalan dengan arah yang berlawanan dan itu sudah terjadi didalam (Yoboi) sini,” ujarnya.

Namun yang menjadi kekuatan saat ini, kata Agus adalah hukum adat terkait tanah. Dimana mereka memiliki kerukunan adat yang kuat sehingga tidak bisa menjual tanah.

Ia mengatakan untuk komitmen menjaga hutan sagu memang saat ini sangat berat, perlu kesadaran dari masyarakat dan didikan jaman.

Agus mengaku, memiliki beban tersendiri jika satu saat dusun sagu yang dikelola akan punah sehingga ia berharap di setiap gereja harus ikut gaungkan menjaga hutan sagu.

“Saya selalu merasa beban, Ada rasa khawatir untuk satu saat dusun sagu yang kita kelola dia akan punah karena usia tumbuhnya membutuhkan waktu yang lama, saat ini, penyiaran di mimbar gereja masih rendah. Kalau di Kampung ini terpampang tulisan destinasi tapi (jaga sagu) itu belum terpikirkan dan hati para pemilik dusun atau yang mendiami kampung ini sama saja kami sedang berbohong kekayaan alam yang Tuhan beri, ini yang saya lihat,” ujarnya.

Ia berharap lebih banyak juga pihak yang memiliki hati untuk menjaga hutan sagu untuk terus bersuara dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat khususnya yang ada di Kampung Yoboi untuk menjaga sagu.

 

Debora Wally: Perempuan Tak Lagi Menokok Sagu Itu Ancaman

Tokoh perempuan yang berasal dari Kampung Yoboi, Debora Wally menyebut ketika perempuan tidak lagi menokok sagu menjadi sebuah ancaman.

“Ketika perempuan tidak lagi menokok sagu ini sebuah ancaman, perempuan sekarang lebih banyak duduk main hp, tidak duduk di dapur, makan makanan dari luar, itu tidak gizi,” katanya.

Menurut Debora, gizi dalam keluarga tentu ada peran mama. “Anak menangis mama kasih supermi, dulu itu kita makan pisang bakar, sagu bakar, tidak tau kalau kami sudah tidak ada budaya dan makanan lokal ini bagaimana,” terangnya.

Debora Wally. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)

Ia memahami situasi perkembangan jaman, banyak perempuan yang sudah memiliki pendidikan yang tinggi dan berkarya di luar dari kampung asal, hal ini sangat berbeda dengan jaman dulu dimana perempuan perperan sebagai peramas sagu, lalu perempuan juga bisa mencari ikan. “Bisa molo ikan pakai alat, lalu jaring ikan, sekarang sudah berbeda,” kenangnya.

Namun, ada kesedihan sendiri dimana menurutnya budaya tersebut hampir hilang.

“Mama rasa bagaimana e, budaya kita ditinggalkan, jadi sebenarnya kita sendiri yang harus tokok, sekarang pakai mesin jadi perempuan tidak tokok lagi. Sering saya lihat mereka pergi ambil sagu semua mereka jual terus nanti butuh sagu mendadak mereka akan minta di tetangga itu saya rasa sedih sekali,” kata Debora.

Ibu kelahiran 24 September 1947 ini mengatakan seharusnya peran perempuan juga ketika tidak lagi menokok sagu harus bisa mengatur urusan dapur dengan cara menyimpan stok sagu di dapur.

“Harus satu dua (karung) di taruh di rumah, jangan semuanya di jual, memang kita butuh untuk ekonomi, dan lain lain. Tapi kita juga harus terus lestarikan pangan lokal, makan sagu di rumah seperti dulu kita sehat,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan sempat ada beberapa orang yang datang ke kampung tersebut menawarkan akan membangun pabrik sagu dengan iming-iming satu hari 15 bahkan 20 pohon sagu bisa dipanen.

“Kami berpikir, nanti bagaimana, pohon sagu lambat baru tumbuh dan siap panen, makanya kami tolak jangan taruh pabrik, kalau sekarang orang pakai mesin parut ini semoga tidak apa-apa,” ungkap Debora.

Debora mengingat kisah lama bersama sang suami, yang sering pergi menokok sagu. Suaminya berperan menokok sagu dan Debora meramas sagu, ada kesan kerjasama yang baik antara suami dan isteri, jauh dari cekcok rumah tangga. Semua dilakukan bersama-sama.

“Saya ada ramas sagu, bapa nanti pergi tanam anak sagu di tempat yang kosong, hari ini satu (pohon) jatuh, lima enam sudah tanam, itu sudah turun temurun, tapi sekarang banyak yang tebang tapi banyak yang tidak tanam,” ujarnya.

Karena itu, ia dan masyarakat setempat melarang agar orang tidak boleh membangun pabrik juga menjual tanah.

“Ini kami punya nenek moyang kasih turun temurun jadi kami mau jaga,” pungkasnya.

 

Berikan Komentar
Exit mobile version