Site icon sasagupapua.com

Kekayaan Budaya Koteka dan Mahkota dari Papua Butuh Regulasi

PENGGUNAAN koteka dalam perhelatan Papua Street Carnival di Kota Jayapura, Provinsi Papua awal Juli yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo sempat menimbulkan protes dari masyarakat Papua.

Dimana masyarakat menilai Panitia Papua Street Carnival menyalahi aturan dalam menyiapkan konsep acara perkenalan budaya Mee Pago dan La Pago khususnya penggunaan koteka yang dianggap ‘melecehkan’ budaya.

Lalu bagaimanakah Koteka dan Mahkota harusnya dipergunakan ?

Antropolog Papua, Selpi Yeimo,S.Sos menjelaskan, koteka adalah busana yang dipakai oleh laki-laki dari Mee Pago dan La Pago.

Untuk daerah Mee Pago memiliki satu jenis koteka mulai dari daerah Paniai, Deiyai, Dogiyai dengan atribut lengkap.

Sebelum adanya busana modern saat ini, koteka menjadi satu-satunya busana yang digunakan. Mulai dari awalnya polos, sekarang sudah ditambah dengan busana.

“Seperti kita tahu pak Benny Giay, doktor dan salah satu tokoh antropolog Papua, waktu SD sampai SMP masih pakai koteka di jaman-nya waktu itu. Semakin modern, koteka hanya dipakai sebagai busana adat karena sudah ada pilihan untuk menggunakan busana modern sekarang,” kata Selpi.

Koteka merupakan busana adat yang sakral dan dipakai sebagai bentuk identitas diri laki-laki.

Dijelaskan koteka daerah Mee Pago dan La Pago berbeda-beda.

Kalau di daerah La Pago misalnya di lembah wamena atau hubula yang adalah suku dani itu juga berbeda.

“Ada suku lani di Lany Jaya dan Tolikara, kemudian ada suku Yali di Yalimo, dan ada suku Nduga. Dan mereka punya bentuk koteka itu beda, dan di Puncak Jaya. Dasarnya sama cuma bentuknya beda juga. Kemudian atribut koteka atau pasangannya juga beda,” ujarnya.

Sayangnya, kata Selpi untuk daerah La Pago nilai atribut busana koteka sudah mulai hilang dan tergantikan.

“Jadi kalau acara-acara adat untuk laki-laki tidak banyak yang pakai koteka langsung tapi mereka sudah mulai ganti dengan celana, tapi celana nya tidak sembarang, mereka tidak pakai celana-celana ketat seperti yang kita tonton kemaren (Acara Papua Street Carnival), tidak ada koteka dimasukkan ke dalam celana perang,” ungkapnya.

“Kebetulan suami saya sendiri orang nduga dan kebetulan disana juga sudah tidak selalu pakai koteka di acara-acara adat, acara-acara pemerintah, mereka sudah ganti dengan celana perang, celana perang itu yang pendek. Ada warna kuning, hitam, dan ada warna merah hitam, dan hiasan diatas tetap hiasan khas budaya mereka,”

Namun, penggunaan koteka secara natural di daerah Wamena masih bisa dilihat ketika festival budaya Lembah Baliem yang setiap tahun dilaksanakan.

Karena koteka merupakan budaya asli dan sakral, sehingga kata Selpi jika digunakan tidak sesuai dengan aturan maka bisa dikatakan sebagai pelecehan atau penghinaan budaya.

“Karena koteka itu sendiri cara pakainnya diikat di badannya laki-laki tanpa adanya celana atau lapisan apapun, jadi itu benarnya harus polos. Kalau kita lihat dalam acara PSC, jelasnya ada materi yang dipadukan, kenapa kita bilang pelecehan karena ada materi lain, yaitu celana hitam yg dipakai dan kotekanya tidak diikat tapi dipegang,” ujarnya.

Dianggap penghinaan karena orang La Pago dan Mee Pago tidak menggunakan koteka secara sembarangan dan tidak menghikangkan nilai budayanya.

“Jadi maksudnya kalau koteka ya koteka saja, kalau celana ya celana saja, dan tidak boleh seperti itu. Makanya kami sempat marah,” ungkapnya.

Mahkota Cenderawasih

Selpi juga membahas mengenai penggunaan mahkota burung cenderawasih yang kerap salah dipergunakan dalam berbagai acara.

Dijelaskan setiap suku di Papua pasti memiliki hiasan, didalam tradisi, mahkota dominan dipakai oleh kepala-kepala pemimpin adat dan pemimpin adat setiap suku juga berbeda-beda.

“Misalnya di daerah pegunungan dengan sebutan kepala suku, kalau di daerah Tabi yakni Jayapura dan sekitar nya itu ada dengan sebutan ondoafi, ondofolo, kemudian di daerah kepala gunung itu mereka pakai istilah pemimpin adat dengan raja-raja seperti Fak-Fak dan sekitarnya. Jadi untuk mahkota Cenderawasih itu layak dipakai oleh pemimpin adat,” ujarnya.

Selpi Yeimo,S.Sos (Antropolog Papua). Foto: Istimewa

 

Untuk itu, kata Selpi pemimpin-pemimpin yang ada di pemerintahan juga tidak layak menggunakan mahkota Cenderawasih yang utuh karena mahkota hanya layak dipakai oleh pemimpin adat.

Namun, nilai-nilai itupun sudah berubah karena sudah ada pencampuran budaya.

“Saya pikir, dan nilai itu semakin pudar karena dipakai oleh sembarang orang begitu,” ungkapnya.

Untuk itu, menurut Selpi perlu adanya regulasi yang dibuat. Saat ini kata Selpi harusnya juga menjadi fungsi MRP sebab selama ini MRP tidak kuat untuk memproteksi kebudayaan di ratusan suku yang tersebar di seluruh Papua.

“Memang regulasinya kita lemah skali seperti Lembaga Masyarakat Adat (LMA), kemudian kepala-kepala suku dan MRP ini tidak kuat untuk proteksi itu atau buat aturan, mana yang layak dipakai hanya pemimpin adat setempat, mana yang layak dia pakai oleh pemimpin pemerintahan, mana yang layak dipakai oleh tamu kenegaraan dan lain-lain nya dipakai seperti apa. Kalau pemerintah MRP, dinas pariwisata dan kebudayaan bersama-sama harusnya buat aturan itu,” ujarnya.

Selain itu kata Selpi, untuk perempuan di daerah La Pago dan Mee Pago tidak boleh memakai.

“Tapi hari ini kita lihat sudah kacau sekali, harusnya untuk perempuan Mee Pago dan La Pago, itu tidak boleh sama sekali dipakai,” ungkapnya.

Untuk di daerah Mee Pago, kata Selpi perempuan hanya boleh gantung noken karena simbol noken bagi perempuan adalah sebagai wadah untuk mengisi segala sesuatu seperti hasil kebun, bahkan anak-anak bayi juga digendong menggunakan noken.

“Begitu juga di daerah La Pago, walaupun ada mahkota hiasan kepala tapi ada perbedaan antara ukuran, kemudian nilainya di dalam mahkota, kemudian bahan yang harus dibuat itu juga beda,” ujarnya.

Selpi mengatakan, penampilan koteka yang menumbuhkan protes kemudian mahkota yang digunakan tidak sesuai aturan semua terjadi juga karena tidak memiliki regulasi yang sah dan jelas.

“MRP harusnya mengambil andil lah semacam buat aturan yang memproteksi kebudayaan Papua. Intinya itu saja, kalau sudah ada regulasi kita mau bicara seperti sekarang misalnya kita buat konten marah-marah dan segala macam, biar ada dasar, karena kalau tidak ada dasar, itu tidak kuat apa yang kita protes,” pungkasnya.

 

Penulis: Kristin Rejang

Berikan Komentar
Exit mobile version