SASAGUPAPUA.COM, NABIRE – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah dan rombongan melakukan kunjungan ke Provinsi Papua Papua Tengah.
Ada beberapa agenda yang dilaksanakan oleh Komnas HAM antara lain melakukan pengecekan terhadap kondisi pengungsian, mereka juga bertemu dengan Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa dan Pansus Kemanusiaan pada DPR Papua Tengah (DPRPT).
Usai bertemu dengan Gubernur Papua Tengah, Kamis (16/10/2025), kepada awak media, Anis menjelaskan Komnas HAM telah berada di Papua Tengah selama satu Minggu.
“Dalam seminggu ini kita turun ke beberapa wilayah di Papua Tengah terutama di Puncak (Ilaga), kemudian Nabire dan Timika,” jelasnya
Komnas HAM kata dia memberikan perhatian yang serius dan melakukan pemantauan secara khusus terkait situasi pengungsi yang ada di puncak akibat ekskalasi konflik yang terjadi sepanjang 2025.
“Ini luarbiasa, karna dari sisi statistik tampaknya ini paling besar, karena 9.261 orang yang ada di tenda-tenda dan 61 ribu orang lebih yang terdampak dari pengungsian ini sudah berjalan cukup lama, hampir sembilan bulan kondisi pengungsi juga sangat memprihatinkan,” katanya.
Selain itu kata dia ada pula yang sakit, perempuan, anak-anak menderita, tidak ada layanan khusus, mengalami trauma dan sangat ingin kembali ke kampung halamannya.
Anis menjelaskan masyarakat ingin kembali di Kampung Halamannya tapi disisi yang lain mereka juga trauma karena pos-pos keamanan non-organik yang dibentuk di beberapa checkpoint di kampung-kampung.
“Sehingga dalam pertemuan kemarin dengan masyarakat pengungsi di Ilaga, di Gome, mereka menyebutkan bahwa mereka ingin kembali tetapi mereka meminta agar pasukan non-organik yang ada di beberapa titik-titik checkpoint di puncak diminta ditarik secara bertahap, secara terukur, sehingga masyarakat merasa aman untuk kembali ke kampung halamannya,” terangnya.
Sementara masyarakat masih mengungsi, kata Anis mereka juga masih mendorong langkah-langkah bagi pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan, layanan dasar, dan bagaimana situasi darurat di Puncak dan lainnya bisa dipulihkan.
“Karna sudah 9 bulan anak-anak kehilangan hak nya untuk sekola, dan banyak sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan, dibakar, rumah-rumah guru juga sama, aset-aset sekolah juga banyak yang hilang,” ungkapnya.
Hal ini kata dia tentu menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat dimana ada 107 honai yang juga dibakar, rumah warga dan lainnya.
Sehingga pihaknya mendorong upaya-upaya yang komprehensif dalam penanganan tanggap darurat
Tak hanya itu tapi juga dalam jangka panjang Komnas HAM mendorong adanya dialog kemanusiaan untuk mengakhiri konflik yang terjadi cukup lama di Papua Tengah.
Anis juga menerangkan terkait dengan jumlah anak yang menjadi korban dari data Pemda belum diklasifikasikan berapa anak yang menjadi korban.
“Jadi baru dipilah berdasarkan data pengungsi laki-laki dan perempuan. Kami (Komnas HAM) masih mengidentifikasi data jumlah anak yang mengungsi di Ilaga berapa, lalu diluar puncak itu berapa, kemudian sekolah-sekolah yang terdampak itu berapa,” ujarnya.
Pihaknya juga terus melakukan konsolidasikan seluruh data, sehingga diharapkan nanti upaya-upaya pemulihan baik infrastruktur sekolah maupun mengaktifkan kembali kegiatan belajar mengajar bisa dilakukan segera.
Selanjutnya Komnas HAM juga melakukan pemantauan kondisi pengungsi yang berada di Nabire dan Timika.
“Kami melakukan pemantauan di Nabire dan timika, dan dari pemantauan itu memang kondisinya hampir sama, karena seluruhnya ada sekitar 1000, dari semua pengungsi yang ada disekitar lokasi itu,” jelas Komisioner Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai.
Dijelaskan rata-rata pengungsi di Timika maupun di Nabire memang kesulitan untuk kesehatan, hak atas kesehatan nya, hak atas pendidikan untuk anak-anak, kalaupun anak-anak bisa sekolah itu mereka harus menggunakan biaya sendiri.
“Kemudian tempat tinggal yang tidak layak karena mereka mungkin numpang dirumah saudara atau ada warga yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk tinggal disitu. Di satu rumah yang kecil, itu terpaksa harus ditempati oleh 4 atau 5 keluarga yang yangmana satu keluarga itu bisa lima sampai tujuh orang, jadi sangat tidak memadai,” terangnya.
Kemudian juga terkait dengan beberapa fasilitas lain dan juga hak atas pekerjaan, para pengungsi kesulitan untuk bekerja karena bukan daerah mereka
“Jadi mereka paling bisa berkebun.
Oleh karena itu, harapan kita, tadi juga kami sampaikan kepada pak gubernur untuk segera mengatasi persoalan pengungsi, sambil juga kita mencari solusi untuk akar persoalannya. Kalau kita hanya fokus ke pengungsi tapi akar permasalahannya tidak terselesaikan, pengungsian akan terus terjadi,” pungkasnya.
