Site icon sasagupapua.com

Konflik Kwamki Narama: Tangisan Janda, Kebun Pinang Hancur, dan Natal yang Dirampas

Suasana di Kwamki Narama. (Foto: Dok Istimewa)

SASAGUPAPUA.COM, Timika – Distrik Kwamki Narama (Kwamki Lama), yang pernah dicap sebagai “daerah merah” di Timika, kembali terjerumus dalam pusaran konflik antarkelompok warga.

Dipicu oleh masalah perselingkuhan, pertikaian yang dimulai pada awal Oktober 2025 ini telah memasuki tiga bulan tanpa tanda-tanda mereda, menelan korban jiwa, dan meninggalkan trauma mendalam bagi warganya.

Konflik berlarut ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menghancurkan aset ekonomi, merampas rasa aman, dan memaksa  warga mengungsi, meninggalkan persiapan Natal yang kini terasa getir.

Trauma Warga: Kebun Pinang Hancur, Masa Tua Terancam

Salah satu korban dampak konflik adalah Fince Katrina Wally (60 tahun), seorang janda yang telah tinggal di Kwamki Narama sejak 1983. Ia datang bersama keluarga yang disambut dengan adat dan diberi tanah 13 hektar oleh kepala suku.

Fince mengungkapkan bahwa perang yang terjadi kali ini adalah yang terburuk yang pernah ia alami. Meskipun ia mengakui perang sering terjadi sejak tahun tahun 2000an, tapi kali ini (2025) dampaknya sangat parah.

Kebun Pinang Milik Fince Wally yang rusak akibat perang. (Foto: Dok Istimewa)

“Selama perang berapa kali kami tidak pernah dapat dampak begini. Tapi hanya perang-perang ini baru kami dapat dampak yang tidak baik sekali,” tutur Fince.

Kerugian terbesar yang dialami Fince adalah hancurnya hasil kebun pinang yang ia tanam selama bertahun-tahun. Hasil kebun ini sebagai jaminan masa pensiunnya.

Hampir satu setengah hektar dari total tiga hektar kebun pinangnya yang telah ditanam dan rawat selama 10 tahun dipotong dan hancur.

“Saya memang trauma. Saya trauma, sakit hati dengan saya punya hasil kebun yang selama bertahun-tahun saya tanam,” katanya.

Akibat konflik, Fince Wally dan banyak warga lain kini terisolasi. Mereka tidak bisa ke kebun atau berjualan, membuat mereka terancam kelaparan. “Saya tiap hari dan sekarang ini hanya makan singkong dengan kelapa,” keluhnya.

Seorang ibu yang hanya makan singkong dan kelapa karena ruang gerak warga terhimpit. (Foto: Istimewa)

Selain itu Rumah anak perempuannya hancur dan barang-barang dijarah.

Dengan usia 60 tahun dan status janda, Fince terlihat meragukan apakah pemerintah dapat mengganti kerugiannya dan memastikan ia bisa kembali menanam serta menikmati hasilnya di masa tua.

Korban yang Tidak Terlibat: Kerugian dan Kekecewaan

Kekerasan ini juga menargetkan pihak yang tidak terlibat langsung dalam pemicu konflik. Zwingly Demena Demena, Kepala Suku Besar Jayapura yang tinggal di Kwamki Narama sejak 1990-an, menegaskan bahwa pemicu perang adalah “orang-orang dari luar yang masuk ke situ,” bukan penduduk asli.

Masyarakat dari Suku Jayapura mencatat kerugian yang masif.

Sebanyak Enam rumah keluarga rusak parah hingga hancur total, penjarahan total terjadi dimana semua barang di dalam rumah habis dicuri.

Karena situasi tersebut warga terdampak akhirnya memilih mengungsi ke keluarga maupun ke kos-kos dalam kota.

Kepala Suku Zwingly Demena juga menyampaikan kekecewaannya, menurut-nya respons saat ini dengan dianggap kurang cepat. “Kenapa dari pagi, polisi tidak datang. Nanti sore polisi datang untuk membubarkan mereka,” sesalnya. Menurutnya harus lebih intens dalam patroli.

Kisah serupa dialami Jack Demena, yang terpaksa mengungsi sejak 2 November 2025. Rumahnya dibongkar dan semua barang berharga, mulai dari pakaian, peralatan dapur, hingga HP, jam tangan, dan printer, dijarah.

Dok rumah warga di Kwamki Narama yang rusak. (Foto: Dok Istimewa)

“Rumah itu sudah kasih hancur, pintu-pintu di kasih hancur, kita punya barang-barang di dalam semua itu mereka angkat semua. Kami yang tidak tahu apa-apa kan kita jadi korban… hari-hari kita kerja, cuma pikiran rumah, begitu,” ungkap Jack, yang kini menumpang di kos-kosan adiknya.

Jack Demena berharap pihak keamanan segera mengambil tindakan cepat. “Kalau biarkan berlarut-larut begini kan kasihan kita yang tidak tahu apa-apa kan kita jadi korban,” ujarnya.

Dinamika Konflik: Perang dan Momentum Hari Besar

N.M, warga Kwamki Narama, menjelaskan bahwa wilayah itu relatif aman pada periode 1990 hingga 2005. Setelah 2006, konflik antarsuku dan antarmarga mulai pecah. Ia menggambarkan bahwa dalam perang suku, konflik cepat meluas dan melibatkan warga atau keluarga karena adanya kecenderungan untuk saling bergotong-royong. Tidak ikut terlibat dapat dianggap negatif di mata kelompoknya.

“Artinya tuh ya, pihak satu dengan pihak satu itu biasanya tuh saling membantu,” jelasnya. “Jadi, kalau tidak ada tindakan seperti apa, tidak ikut terlibat di dalam itu, itu bisa katakan itu, itu ada harus [ikut]. Akhirnya tuh ya, masyarakat yang ada itu semua terlibat

Konflik tahun 2025 ini bertepatan dengan momen Hari Besar, menambah kerugian yang ditimbulkan seperti Kegiatan yang seharusnya berjalan di Hari Besar menjadi macet, Warga tidak bisa bergerak bebas, Keluarga dari luar suku utama (seperti Jayapura dan Biak) yang tidak terlibat langsung, turut menjadi korban perusakan rumah dan penebangan kebun yang berujung warga terpaksa keluar dan pindah dari tempat tinggalnya.

Tampak jendela rumah warga yang dirusak. (Foto: Dok Istimewa)

N.M. mengakui bahwa bagi beberapa Suku asli, kerusakan seperti ini sudah dianggap sebagai hal yang “biasa” dalam perang suku. Namun, kekhawatiran utamanya adalah kerugian yang menimpa keluarga yang tidak terlibat dalam konflik (misalnya dari Jayapura dan Biak) yang kehilangan rumah dan harta benda akibat perusakan

Solusi Mendesak: Sweeping dan Intervensi Pimpinan

Konflik ini kian memburuk. Jonis Hagabal, Ketua Ikatan Pemuda Kwamki Narama, menyebutkan konflik dipicu perselingkuhan dan hingga awal Desember 2025 telah memakan enam korban jiwa data ini senada dengan penjelasan Kapolres Mimika.

Dampak sosialnya sangat luas: sekolah tutup, masyarakat mengungsi, pekerjaan macet, dan ibadah Natal tidak dapat dilakukan di beberapa gereja yang terdampak.

Ia mendesak bupati dan DPRK hadir langsung di lapangan perang untuk menyerukan perdamaian.

Ketua Ikatan Pemuda Kwamki Narama, Jenis Hagabal. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com)

“Kami dari pemuda kwamki narama usulkan agar kepala daerah bersama DPRK sendiri hadir langsung di lapangan perang dan amankan, itu merupakan solusi untuk selesaikan pertikaian antara keluarga ini, juga berkoordinasi secara serius dengan Pemkab Puncak,” tuturnya.

Dua suara, dari Kepala Suku Zwingly Demena dan Ketua Pemuda Jonis Hagabal, kompak menyuarakan solusi tegas.

Mereka menyarankan agar dilakukan sweeping besar seperti mengeluarkan semua orang yang tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga Kwamki Narama.

Mengingat masyarakat yang bertikai rata-rata berdomisili di Kabupaten Puncak, Pemda Mimika didesak berkoordinasi dengan Pemda Puncak untuk memulangkan mereka ke daerah asalnya.

Upaya Keamanan yang Terkendala

Meskipun kritik keras dilayangkan kepada pihak keamanan, namun  Kapolres Mimika, AKBP Billyandha Hildiario mengatakan aparat keamanan tidak tinggal diam.

Pada 13 November 2025, Kapolda Papua Tengah, Brigjen Pol Alfred Papare, bersama Forkopimda, telah menemui dua pihak yang bertikai.

Pada 15 November 2025, aparat gabungan melakukan razia dan pembongkaran tenda-tenda yang dijadikan markas oleh panglima perang dan anak buahnya.

Namun, upaya ini hanya meredakan sesaat. Bentrok kembali pecah pada 3 Desember 2025.

Kapolres Mimika, AKBP Billyandha Hildiario Budiman, menegaskan bahwa aparat siaga 1×24 jam di Polsek Kwamki, diperkuat oleh BKO Brimob dan Perintis. Tindakan tegas, penangkapan, razia senjata tajam, dan pembinaan telah dilakukan.

“Kita sudah ada tindakan tegas, tangkap, sweeping hadir disana melerai dan lainnya, kita bongkar tenda-tendanya pada saat itu,” tegas Kapolres, menanggapi tuduhan pembiaran. Upaya ini termasuk razia senjata tajam dan panah, serta kunjungan unsur pimpinan Forkopimda Provinsi Papua Tengah dan Kapolda.

Namun, bentrok kembali pecah, bahkan setelah upaya mediasi. Kapolres menekankan bahwa penyelesaian konflik adat ini tidak bisa hanya menjadi beban aparat keamanan.

Kapolres Mimika AKBP Billyandha Hildiario Budiman.

Kapolres mengakui bahwa keamanan tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan dukungan penuh dari tokoh masyarakat, tokoh agama, dan Pemerintah Daerah, terutama karena konflik ini memiliki akar permasalahan adat.

“Aparat keamanan butuh dukungan baik itu dari tokoh masyarakat, dari pemerintah juga, tokoh agama. Kita tidak boleh diam saja, itu namanya pembiaran, kalau pembiaran kita tidak ada disana, kita tidak berbuat apa-apa, itu pembiaran,” ujarnya, sambil berharap perdamaian dapat tercapai sebelum Natal.

Di tengah situasi ini, Edwin Hanuebi, Kepala Distrik Kwamki Lama, memilih untuk belum bisa berkomentar, ia menyatakan masih mengumpulkan data kerugian.

“Saya belum bisa berkomentar, Nanti data-data kita kumpulkan dulu. Mohon maaf ya,” katanya ketika dihubungi media ini Kamis (11/12/2025).

Harapan Menjelang Natal di Tengah Ancaman

Harapan masyarakat Kwamki Narama sangat sederhana yakni keamanan dan kedamaian.

Harapan Kapolres Mimika, Jack Demena, dan seluruh warga adalah agar perdamaian tercapai sebelum Natal, sehingga mereka bisa menyambut bulan penuh damai ini tanpa rasa takut dan dengan hati yang tenang.

Suasana perang di Kwamki Narama. (Foto: Dok Istimewa)

Namun, tanpa intervensi tegas dan solusi yang mengikat dari pimpinan daerah, kekhawatiran bahwa konflik akan terus berlanjut dan memakan korban tak terhindarkan. Permintaan untuk sweeping dan pemulangan warga non-Kwamki Narama menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat setempat merasa upaya persuasif dan keamanan belum cukup ampuh menghentikan pertumpahan darah yang mengancam perayaan damai.

Berikan Komentar
Exit mobile version