SASAGUPAPUA.COM, Timika – Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) secara resmi menyatakan sikap tegas menolak wacana pengelolaan dana abadi oleh Yayasan Pemberdayaan Amungme dan Kamoro (YPMAK) dan PT Freeport Indonesia (PTFI).
Hal ini disampaikan oleh Ketua Lemasa, Menuel John Magal dalam keterangannya mewakili lembaga pada Senin (17/11/2025).
Magal menekankan bahwa polemik dana abadi harus dihentikan hingga status kepemilikan dan transparansi dana 1% diaudit secara menyeluruh.
John Magal menyoroti persoalan mendasar terkait ketidakjelasan legalitas dan status kepemilikan dana abadi YPMAK yang hingga kini belum tuntas.
“Status kepemilikan dana abadi tersebut tidak jelas, sehingga legalitas keberadaannya pun patut dipertanyakan,” ujar Magal.
Ia mengungkapkan, sejak 2005 hingga 2008, dana abadi YPMAK mengalami kerugian berturut-turut hingga mencapai sekitar Rp200 miliar tanpa adanya evaluasi komprehensif.
Fakta ini, kata dia diperkuat oleh evaluasi akademik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) pada 2018-2019, yang juga menegaskan ketiadaan kejelasan kepemilikan dan kerangka kelembagaan yang sah untuk dana tersebut
LEMASA menegaskan bahwa YPMAK tidak memiliki mandat adat maupun kapasitas representasi untuk bertindak atas nama masyarakat Amungme dan Kamoro dalam mengelola dana tersebut. Demikian pula PTFI, dinilai tidak memiliki legitimasi adat untuk mewakili kedua suku dalam pengelolaan dana 1% maupun dana abadi.
Latar Belakang Dana 1% dan Rekomendasi yang Terabaikan
Magal turut mengungkit sejarah dana 1% yang muncul pasca demonstrasi masyarakat adat pada 1996. Dana tersebut awalnya dikelola melalui Program Pembangunan Wilayah Timika Terpadu (PWT2).
Audit sosial independen oleh Labat-Anderson, Inc. pada 1997 merekomendasikan empat hal krusial, termasuk pelatihan kepekaan budaya, peningkatan perekrutan tenaga kerja lokal, dan dialog terbuka dengan transparansi penuh.
Rekomendasi tersebut terdiri dari:
- PTFI perlu melaksanakan pelatihan kepekaan budaya bagi seluruh pegawai.
- Meningkatkan perekrutan dan pemberdayaan tenaga kerja lokal, termasuk peluang ekonomi bagi masyarakat.
- Melibatkan konsultan manajemen independen untuk memperbaiki kebijakan internal dan proses pengambilan keputusan.
- Menghormati adat, martabat, dan hak masyarakat lokal melalui dialog terbuka dan transparansi penuh.
“Sayangnya, rekomendasi strategis tersebut tidak pernah diimplementasikan secara sungguh-sungguh. Sebaliknya, PTFI merumuskan mekanisme pengelolaan dana 1% secara sepihak, tanpa persetujuan formal dari lembaga adat Amungme dan Kamoro,” tambah Magal
Status Dana 1% Masih Kabur: CSR atau Hibah?
Ketidakjelasan status dana 1% juga menjadi sorotan utama. Magal mempertanyakan apakah dana tersebut merupakan hibah atau Corporate Social Responsibility (CSR).
“Jika dana tersebut disebut sebagai hibah, tidak ada dokumen kesepakatan resmi. Jika CSR, masyarakat Amungme dan Kamoro tidak pernah menyetujui diksi tersebut. Istilah ‘CSR 1%’ muncul sebagai klaim sepihak PTFI,” jelasnya.
Praktik pengelolaan dana melalui YPMAK saat ini juga kata Magal dinilai tidak transparan, membuat masyarakat tidak mengetahui secara jelas aliran dana, penerima manfaat, dan dampaknya terhadap pembangunan ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya masyarakat adat.
Tuntutan LEMASA: Audit Sebelum Pembicaraan Dana Abadi
Atas dasar ketidakjelasan dan potensi penyalahgunaan, LEMASA bersama LEMASKO menyerukan agar seluruh polemik dana abadi segera dihentikan. Pembicaraan mengenai dana abadi hanya bisa dilakukan setelah dilakukannya:
- Audit Sosial Menyeluruh: Untuk menilai manfaat nyata (atau kerugian) yang diterima masyarakat Amungme, Kamoro, dan lima suku kerabat lainnya.
- Audit Investigatif: Untuk memastikan tidak ada penyimpangan, konflik kepentingan, atau konsentrasi kekuasaan.
- Penyusunan Mekanisme Pengelolaan Dana Baru: Sistem pengelolaan dana yang transparan, partisipatif, dan berlandaskan hukum serta adat yang sah, dapat dibangun setelah hasil audit dipublikasikan kepada publik.