SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Selasa sore, (4/3/2025) sebelum pukul 18.00 WIT, terlihat umat Katolik mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berbondong-bondong datang ke Gereja Katedral Tiga Raja Timika, Papua Tengah dengan membawa daun palem kering.
Mereka datang untuk mengikuti misa “Pembakaran Daun Palma” Sebagai persiapan batin menuju Hari Rabu Abu yang dipimpin oleh Pastor Paroki Katedral Timika RD Amandus Rahadat, Pr.
Rangkaian misa mulai dari pembukaan, pembacaan Injil, kemudian homili dan yang khusyuk adalah ketika saat hening. Dimana semua lampu dipadamkan, umat berlutut dan berdoa dalam keheningan.

Suasana Misa pembakaran daun palem di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, Papua Tengah. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua)
Usai saat hening, kemudian dilanjutkan dengan membakar daun Palma yang sudah dibawa oleh umat. Dimana pihak gereja telah menyiapkan sebuah wadah bakaran yang diletakan halaman depan gereja lalu api dinyalakan dan umat satu persatu membakar daun Palma kering yang dibawa dari rumah tersebut.
Misa lalu dilanjutkan dengan doa umat, dan rangkaian misa lainnya.
Makna Rohani dari Pembakaran Daun Palem Kering
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Keuskupan Timika, Pastor Andreas Madya, SCJ menjelaskan tanggal 4 Maret 2025 umat Katolik mulai memasuki masa Pra Paskah, dan pada hari Rabu masa Pra Paskah dibuka dengan perayaan Rabu Abu.
Rabu Abu menandakan dimulainya masa Pra Paskah yang berlangsung hingga hari Raya Paskah yaitu hari Kebangkitan Tuhan (Yesus).
Dalam tradisi gereja katolik Pada hari Rabu Abu mulainya masa Pra Paskah, umat Katolik akan mengadakan Perayaan Ekaristi pada Rabu Abu dengan ditandai di dahi masing-masing Tanda Salib menggunakan abu.
“Dari mana abu itu? Abu ini biasanya atau menurut tradisi dari pembakaran daun-daun
Palma yang suci artinya yang sudah di berkati pada tahun yang lalu tepatnya pada hari Minggu Palma tahun 2024,” kata Pastor Madya ketika ditemui di Kantor Keuskupan, Selasa (4/3/2025).
Ia menjelaskan daun Palma yang diberkati pada Minggu Palma tahun 2024 tidak dibuang begitu saja, umat biasanya menyimpan di rumah, lalu nantinya pada momen sebelum Rabu Abu, umat akan membawa ke gereja lalu akan dikumpulkan dan dibakar pada momen sebelum Rabu Abu.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Keuskupan Timika, Pastor Andreas Madya, SCJ. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)
“Biasanya pembakaran daun-daun Palma yang kering itu di lakukan pada hari Selasa sebelum hari Rabu Abu,” katanya.
Namun, kata Pastor Andreas tidak harus sehari sebelum Rabu Abu. Semua tergantung pada Pastor Paroki bersama umat menentukan misalnya pada hari Minggu sebelum hari Senin, pada intinya momen pembakaran daun Palma dilakukan sebelum Rabu Abu.
“Ini merupakan tradisi yang sudah lama, Gereja Katolik itu menghidupi tradisi, menghidupi menjadi kebiasaan lama dan merupakan sesuatu Kekayaan gereja Katolik,” ucapnya.
Tradisi pembakaran daun palma itu di lakukan dalam sebuah perayaan Ekaristi yang merupakan simbol ke siapan umat Katolik untuk meninggalkan kebiasaan lama memasuki masa pertobatan.
“Dan daun-daun palma yang lama yang tahun lalu itu kita bakar kemudian abu kita usapkan ke dahi kita sebagai tanda pertobatan. Kita meninggalkan kebiasaan lama untuk memasuki masa pertobatan yaitu masa pra paska ini,” jelasnya.
Itu yang menjadi tanda atau simbol adanya kebiasaan atau tradisi pembakaran daun-daun palma.
“Jadi bukan ambil daun-daun palma dari kebun sekarang lalu dibakar, tetapi daun-daun palma yang dari tahun kemarin kita pakai pada minggu palma ketika kita memperingati Tuhan Yesus memasuki Kota Yerusalem, menderita,wafat,dan akhirnya bangkit,” kata Pastor Andreas.
Pesan Pertobatan Ekologis
Rabu (5/3/2025) umat Katolik memasuki masa Pra Paskah. Tahun ini Gereja Katolik Indonesia membuat suatu tema yakni Pertobatan Ekologis.
Pastor Andreas menjelaskan, pertobatan Ekologis artinya kita sungguh-sungguh mempunyai pemikiran, pemahaman yang baru tentang alam ciptaan.
“Kita sudah disapa oleh pastor administrator melalui surat gembala masa Pra Paskah bapa ibu saudara sekalian bisa membacanya dan itu bisa menjadi gambaran atau harapan apa yang kita akan jalani selama masa Pra Paskah, apa yang harus kita perbuat yang kongkrit selama masa Pra Paskah,” ungkapnya.
Pertobatan Ekologis digabungkan dengan apa yang menjadi pesan Pastoral untuk Keuskupan Timika yaitu dengan GERTAK atau Gerakan Tungku Api Kehidupan sehingga sejalan dengan apa yang di tawarkan oleh Gereja Indonesia mengenai pertobatan Ekologis Gerakan Tungku Api Kehidupan.
“Kami berharap bahwa Pra Paskah kita isi dengan suatu pertobatan-pertobatan bukan hanya pertobatan hati,pertobatan hati memang itu juga penting tetapi bagai mana dengan sikap kita,kelakuan hidup kita, lebih-lebih sikap kita terhadap sesama kita tidak hanya dalam gereja Katolik tetapi sungguh-sungguh kepada sesama ciptaan Tuhan,” kata Pastor Andreas.

Pastor Paroki Katedral Tiga Raja Timika, RD Amandus Rahadat, Pr dalam momen pembakaran daun palem kering. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua)
Jadi, pertobatan ekologis bukan hanya dengan manusia tetapi dengan tumbuh-tumbuhan,dengan hewan dan semua itu adalah ciptaan Tuhan sebab Tuhan telah ciptakan alam semesta ini termasuk yang lebih khusus adalah manusia dimana manusia diciptakan se citra dengan Allah sendiri.
“Kita diharapkan mempunyai sikap seperti Allah bersikap terhadap alam ciptaan termasuk kepada manusia. Itu yang jadi pesan utama dari kami. Dari Gereja, dari Keuskupan Timika agar sungguh-sungguh kita mempersiapkan diri kita, perenungan bersama,doa bersama dalam kombas dalam kelompok-kelompok kategorial supaya sungguh-sungguh masa Pra Paskah kita isi dengan kegiatan yang membantu Pertobatan kita. Selamat memasuki masa Pra Paskah Tuhan Yesus memberkati kita semua,” pungkasnya.
Surat Gembala
Surat Gembala tahun 2025 dari Keuskupan Mimika mengambil tema PERTOBATAN EKOLOGIS DALAM SEMANGAT GERAKAN TUNGKU API KEHIDUPAN (GERTAK). Berikut isinya:
Saudara-saudari terkasih, Kita memasuki masa Prapaskah tahun 2025, pada hari Rabu, tanggal 5 Maret. Setiap tahun kita buka Masa Prapaskah, ditandai dengan abu di dahi. Abu sebagai tanda atau simbol bahwa kita memasuki masa pantang dan puasa. Pantang adalah mengurangi kebiasaan dalam hidup (sepertinya merokok, minuman alkohol, perjudian, dll). Puasa berarti makan satu kali dalam sehari khusus hari Rabu Abu dan Jumat Agung.
Bunda Gereja mengajak kita ambil bagian dalam puasa Tuhan Yesus di padang Gurun selama 40 hari dalam masa prapaskah.
Selain itu kita berpantang dan Puasa sebagai tanda solider dengan sesama ciptaan Tuhan sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan pemberi kehidupan.
Sikap dan tindakan lahiriah, puasa dan pantang mengarahkan kita kepada dimensi Rohani yakni pertobatan Batiniah. Pertobatan dari egoisme, keserakahan, konsumerisme, kesombongan, hedonisme.
Kita diajak untuk memperhatikan dimensi sosial, ekologi dan budaya. Kebersamaan dalam keutuhan alam ciptaaan Tuhan.
Prapaskah tahun lalu (2024) kita merenungkan pengembangan ekonomi dengan memperhatikan pelestarian ekologis. Maka masa Pra Paskah tahun ini, selama lima minggu, kita akan merenungkan Tema: “Pertobatan Ekologis dalam semangat Gerakan Tunggu Api Kehidupan (Gertak).”
Saudara-saudari terkasih,
Tema Pertobatan Ekologis, mau mengingatkan kepada kita bahwa Manusia salah satu bagian dan tidak terlepas dari keberadaan ciptaan lain di atas bumi.
Dalam kisah penciptaan (Kej.1-2) Allah menciptakan manusia pada hari yang terakhir setelah Dia menciptakan ciaptaan lainnya. Allah menciptakan manusia pada hari terakhir dalam proses ciptaan. Karena itu manusia diciptakan secitra, segambar dengan DiriNya supaya ikut serta membantu Allah bertanggung jawab dan menguasainya.
Manusia adalah makluk ciptaan yang mulia dan makluk yang paling dicintaiNya, maka Allah menuntut dari manusia pertanggungjawaban dalam perlindungan dan pengelolaan alam ciptaan. Manusia diberikan tanggungjawab moral untuk alam ini berkembang sesuai dengan kodratinya.
Akhir-akhir ini kita mendengar, orang mengeluh kepanasan, bahkan kita mengalaminya sendiri kepanasan pada siang hari. Beberapa daerah mengalami perubahan iklim, pergeseran musim panas dan musim hujan. Mereka yang mendiami di pesisir pantai mengalami abrasi dan pergeseran kampung-kampung lama.
Penduduk membuka kampung baru akibat ketinggian air laut. Perubahan iklim/alam yang kita alami saat ini, menurut para ahli, akibat Pemanasan Global. Pemanasan Global terjadi karena perubahan ekosistim alam semesta. Perubahan ekosistim alam semesta disebabkan oleh ulah dan keserakahan manusia.
Manusia diciptakan secitra/segambar dengan Allah, telah menyalahgunakan tugas yang diberikan kepadanya. Tugas kuasai bumi (kej.1:28) berdampak pada perusakan alam ciptaan Tuhan.
Salah satu faktor penyebab kerusakan alam yang berakibat pada pemanasan global karena Faktor Ekonomi. Dalam pengembangan ekonomi, Manusia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi bukan pemerataan ekonomi. Orientasi Pertumbuhan ekonomi mengarahkan orang pada keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan akibat kerusakan alam maupun sesama.
Negara maupun orang secara pribadi apa bila dalam usaha pengembangan ekonomi berorientasi pada pertumbuhan bukan pemerataan ekonomi maka ciptaan Tuhan (baik alam maupun manusia) akan menjadi korban.
Lembaga negara maupun Orang pribadi akan mencari keuntungan sebesar-besarnya tidak perduli dampaknya. Semuanya ini muncul dari hati yang dipenuhi dengan keserakahan/rakus. Ketika negara terlilit utang maka eksploitasi alam lewat pembabatan hutan (HPH) maupun pembukaan tambang-tambang baru terjadi dimana-mana.
Lembaga agama pun dilibatkan dalam hak guna usaha tambang menutupi utang negara atau motif lain tidak jelas, tapi yang jelas suara moral lembaga agama ingin dimatikan.
Saudara-saudari terkasih.
Ekonomi untuk melayani manusia dan harus dijaga pelestarian Alam. Pembangunan ekonomi pertama-tama dan terutama berpusat pada Manusia dan menjaga keseimbangan alam. Manusia menjadi tolak ukur pengembangan ekonomi.
Dengan pengertian bahwa segala bentuk pengembangan ekonomi jangan mengeksploitasi manusia dan alam. Selama Pembangunan Ekonomi semata-mata berorientasi pada pertumbuhan maka martabat manusia dan keutuhan ciptaan tidak mendapat tempat dalam dunia ini.
Manusia tidak akan dilihat sebagai pribadi. Manusia menjadi barang yang bisa diperjual belikan oleh siapapun, yang ingin memperoleh keuntungan berlebihan. Ketika manusia tidak dihargai martabatnya maka citra Allah, gambar dan serupa Allah (Kej. 1:26), tidak mendapat tempat dalam kehidupan di dunia ini. Alam ciptaan Tuhan akan dipandang sebagai tempat pelampiasan keserakahan manusia. Alam dirusakan semena-mena dengan kekuatan kekuasaan dan persenjataan tanpa memperhatikan keberlanjutan kehidupan.
Saudari-saudara terkasih..
Pertobatan ekologis adalah perubahan sikap, perilaku, dan tindakan manusia untuk menjaga kelestarian alam. Pertobatan berarti beralih dari pola pikir perusakan alam menjadi pelestarian alam ini. Perubahan pola pikir, menjaga keseimbangan alam untuk keberlanjutan kehidupan.
Pertobatan ekologis tidak bermaksud untuk manusia berhenti mengelola alam demi meningkatkan kesejahteraan. Bukan juga membatasi manusia untuk kemajuan peradaban baru yang semakin moderen. Tetapi manusia diajak mengelola alam ciptaan Tuhan dengan berlandaskan pada kasih dan keseimbangan. Orang yang mengelolah alam dengan kasih akan memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi pada keberlanjutan kehidupan alam dan manusia.
Orang tidak akan terjerumus pada sikap egoisme dan konsumerisme. Peranan masyarakat adat dalam menjaga, melindungi dan mengelolah alam di papua ini sangat penting. Masyarakat adat dituntut untuk menjaga keseimbangan ini, namun kenyataannya peran masyarakat adat tidak dihargai.
Masyarakat adat dianggap penghambat pembangunan dan kemajuan. Mereka dihadapkan kepada kekuataan senjata. Lembaga adat yang sudah ada dipolitisir oleh pihak tertentu yang mengarah pada pembungkaman suara masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat dikebiri dan dibumi hanguskan ditanah ini karna dianggap kontra program pemerintah.
Apa bila situasi pembungkaman suara lembaga adat ini berlanjut maka seruan “Pertobatan Ekologis” yang digemakan, disuarahkan oleh Gereja Katolik Indonesia (KWI) tahun ini tidak akan terlaksana dalam bangsa yang kita cintai.
Suara masyarakat adat atas hutan dan tanah adalah suara oposisi yang berguna untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Mereka bukan musuh negara tetapi pro pelestarian alam semesta. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang arif untuk menyelamatkan oligarki dan masyarakat adat demi kemajuan negara.
Salah satu tindakan kongkrit dari “Pertobatan ekologis” pada tahun ini dan perwujudan dari “Gertak” Gerakan Tungku Api Kehidupan: saya mengajak umat sekalian, siapa saja yang merasa pernah menebang pohon/kayu, atau mengajak dan mensponsori penebangan pohon/ kayu maupun tanaman hias, bunga, dll, sebagai aksi nyata pertobatan untuk menanam kembali pohon/kayu/bunga/tanaman hias di pekarangan, di lahan, di hutan atau dimana saja yang anda merasa bisa tanam kembali.
Saudara-saudari sekalian.
Kita baru saja mengikuti dan mendengar pelantikan pemenang pemilukada tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam wilayah Keuskupan Timika. Saya sebagai pimpinan keuskupan Timika menyampaikan Selamat dan provisiat atas kemenangan Para Pemenang kepala daerah dan bagi yang kalah kita terima dengan lapang dada membangun daerah masing-masing. Kita tahu bersama bahwa semua kandidat, tanpa kecuali (baik tingkat provinsi, kabupaten maupun kota) mengunakan banyak cara untuk mencapai kemenangan. Cara yang halal maupun haram, cara kasar sampai yang halus, cara yang baik sampai jelek. Semua kandidat juga moneypolitik/politik uang, memang jumlahnya berbeda antar kandidat. Maka jangan kita anggap suci karna kalah dalam kontestasi pilkada tetapi dalam masa prapaskah ini kita memohon Tuhan mengampuni segala salah dan dosa kita. Bukan hanya para kandidat tapi lebih-lebih umat atau masyarakat dipenuhi dengan sikap kebencian, kecurigaan, manipulasi, penipuan bahkan sampai korban nyawa.
Dalam masa pra paskah ini mari kita mengoreksi diri dan bercermin diri bertobat, kemudian ikut terlibat dalam pembangunan bersama dengan para pemenang Pilkada.
Waktu tidak akan pernah menunggu manusia, mari kita melangka maju bersama dalan keutuhan ciptaan Tuhan. Tahun ini ditetapkan sebagai Tahun Yobel oleh Bapak Suci Paus Fransiskus. Kita sudah buka tahun yobel dengan membuka porta santa (pintu Suci) di gereja Katedral Keuskupan Timika pada awal bulan Februari. Bunda gereja mengajak “Peziarah pengharapan” sebagai pokok permenungan. Bumi ini tempat manusia berziarah menuju Tuhan diakhir zaman dalam pengharapan. Dalam pengharapan mari kita berziarah dengan mencintai alam ciptaan Tuhan. Kita mengusahakan kesejahteraan bersama tanpa merusak dan menjaga keseimbangan alam semesta. Gerakkan Tungku Api Kehidupan sebagai simbol dari persekutuan dan kebersamaan dalam peziaraan.
Timika, 28 Februari 2025.
Administrator Keuskupan Timika, P.Marthen Ekowaibi Kuayo