SASAGUPAPUA COM, JAYAPURA – Perwakilan masyarakat adat Grime Nawa dari sembilan distrik melaksanakan aksi damai di Kantor Bupati Jayapura, Provinsi Papua, pada Kamis (11/9/2025).
Kedatangan masyarakat ini meminta perhatian pemerintah khususnya Bupati Jayapura terhadap situasi yang dihadapi masyarakat terkait pembongkaran hutan adat oleh salah satu perusahaan sawit yaitu PT Permata Nusa Mandiri (PT PNM).
Menurut mereka, aktivitas yang dilakukan oleh PT PNM adalah pelanggaran hukum.
“Kami (WALHI) mendampingi masyarakat perwakilan dari sembilan distrik mendatangi Kantor Bupati Jayapura untuk melakukan audiensi agar pemerintah segera mencabut ijin usaha PT PNM,” jelas Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki dalam rilis yang diterima media ini, Kamis (11/9/2025).
Ia menjelaskan, Operasi PT PNM berdampak pada kerusakan lingkungan, dan konflik Horizontal.
“Masyarakat adat Grime Nawa pernah melakukan penolakan terhadap perusahaan tersebut sebelumnya namun sampai hari ini belum ada respon yang jelas dari pemerintah Kabupaten Jayapura,” jelasnya.
Karena itu, kata dia masyarakat perwakilan dari sembilan distrik mendatangi Kantor Bupati kabupaten Jayapura untuk melakukan audiens dengan Bupati yang baru terpilih yaitu Yunus Wonda,” kata Maikel.
Ia mengatakan masyarakat adat Namblong perwakilan 9 distrik mendatangi Bupati Jayapura ingin mendesak agar bupati segera melakukan pencabutan izin operasi perusahaan tersebut karena masyarakat menilai mereka melakukan pembabatan hutan secara sewenang-wenang.
Dijelaskan sejak bulan Januari – Februari 2022 PT PT PNM melakukan pembukaan hutan alam di sekitar gunung keramat Sumtre dan Wange seluas 70 hektar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
“Pembukaan ini merupakan awal dari rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 30.920 hektar hingga saat ini,” terangnya.

Pembongkaran Hutan Baru-baru ini, duduga Hampir 800 Hektar Hutan Adat yang telah Hilang. Gambar ini diambil pada tanggal 16 Agustus 2025. Foto: Dok WALHI
Maikel menjelaskan, pembukaan ini lantas ditolak masyarakat adat yang berada di Lembah Grime Nawa.
Bahkan masyarakat juga telah menandatangani pertanyaan sikap pada 07 Maret 2022.
“Hari ini juga pada tanggal 11 September 2025 diserahkan kepada pemerintah kabupaten Jayapura,” jelasnya.
Tuntutan Masyarakat
Pernyataan sikap yang sudah ditandatangi telah diserahkan ke pihak Pemkab Jayapura. Dalam pernyataan itu juga berisi tuntutan. Adapun tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat yakni:
1. PT PNM Diminta Hentikan Aktifitas
Dalam tuntutan, masyarakat menegaskan agar menghentikan aktifitas di atas wilayah tanah adat kami, karena kami tidak setuju untuk tanah kami berpindah tangan dan kami tidak mau hutan kami rusak karena perkebunan kelapa sawit, karena di hutan itulah kami selalu melakukan aktifitas untuk meramu.
“Hutan itu adalah pemberian Tuhan kepada leluhur kami dan diwariskan secara turun temurun sampai kepada kami dan kami pun juga harus berjuang untuk anak cucu dan generasi yang akan datang,” begitu tulis mereka.
2. Minta Perhatian Presiden
Masyarakat mengucapkan terimakasih kepada Presiden Republik Indonesia, selaku Kepala Negara dan kepala pemerintahan atas pencabutan izin konsesi pada 6 Januari 2022 dan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan memasukkan PT PNM sebagai salah satu perusahaan yang pelepasan kawasan hutannya dicabut.
Namun PT PNM terus berdiri dan melawan pemerintah dengan cara tidak mengindahkan surat keputusan yang ada dan pernyataan Presiden Joko Widodo.
Di lapangan, PT PNM yang izin usahanya telah dicabut namun terus melakukan aktifitas penggusuran hutan di tanah adat kami.
“Karenanya kami minta kepada Bapak Presiden dan Mentri LHK untuk segera melihat dan menindak perusahaan dengan tegas dan harus di berikan sanksi hukum sesuai dengan UU yang berlaku di Negara Republik Indonesia,” tulis mereka.
3. Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua untuk segera turun ke wilayah Unurum Guai dan Nimbokrang,
Menurut masyarakat, dinas harus melihat apa yang sedang terjadi di hutan yang sudah terjadi penebangan hutan dan pengambilan kayu.
Mereka menuliskan bahwa perusahaan melakukannya setelah adanya keputusan Menteri LHK SK 01/2022, dengan atau tanpa izin pemanfaatan kayu (IPK), sudah semestinya izin-izin batal dan tidak berlaku lagi dengan sendirinya dinyatakan mati demi hukum, dan perusahaan berhenti beroperasi. Perlu kami sampaikan kepada Bapak, bahwa di lokasi yang dihancurkan oleh perusahaan tersebut sudah 30 tahun lebih telah menjadi tempat pemantauan burung cendrawasih.
“Bahkan saat ini hutan tersebut adalah hutan adat dan hutan wisata yang di kelola oleh bapak Alex Waisimon, sehingga kami minta untuk bapak sesegera mungkin melakukan evaluasi dan melakukan tindakan yang betul-betul menguntungkan masyarakat adat,” ungkap mereka.
4. Bupati Jayapura Harus Melihat Masyarakat Adat
Masyarakat juga meminta agar Bupati Jayapura dapat melihat mereka selaku masyarakat adat yang berada pada wilayah Kabupaten Jayapura.
Yangmana hutan tempat masyarakat meramu, tempat yang tersisa bagi anak cucu, tempat hidupnya burung cendrawasih, kasuari, mambruk dan hewan lainnya kini sedang di gusur oleh PT PNM untuk perkebunan kelapa sawit.
“Masih adakah hati nurani bapak, masih adakah rasa sebagai anak adat ataukah tidak, kami yakin apa yang kami rasa itu juga yang akan dirasakan oleh Bapak Bupati sebagai anak adat,” tulis mereka.
Mereka meminta agar Bupati segera mencabut SK Bupati Jayapura No.2/3/2011 tentang Izin Lokasi dengan luas lokasinya 32.000 ha dan SK Bupati Jayapura No. 62/2014 tentang Izin Lingkungan kepada perusahaan PT PNM yang beroperasi di wilayah Grime dan Nawa, meliputi distrik Unurum guai, Nimbokrang, Nimboran, Kemtuk Gresi dan Kemtuk.
“Tentu bapak mengetahui bahwa tanah di distrik ini bukan tanah kosong, tetapi di atas tanah ini ada kami masyarakat adat yang berdiam di atasnya. Kalau Bapak mengangkat Program Kampung Adat di wilayah Kabupaten Jayapura maka Bapak harus melihat hak kami selaku masyarakat adat, bukan sebaliknya, memberikan izin kepada perusahaan. Sehingga pada kesempatan ini kami minta Bapak segera mencabut izin yang telah Bapak keluarkan pada tahun 2011 dan 2014 lalu,” kata mereka.
5. Kepala BPN Yang berada di Kabupaten Jayapura untuk dapat melihat dan meninjau kembali HGU
Mereka meminta agar kepala BPN melihat kembali Hak Guna Usaha yang di berikan kepada PT PNM.
“HGU itu kami anggap tidak sah, karena masyarakat adat belum pernah melepaskan tanah adat kepada perusahaan PT PNM,” ungkapnya.
Mereka menjelaskan, pelepasan yang pernah di berikan oleh marga Tecuari berlangsung secara sepihak, tanpa musyawarah mufakat, karena tanah itu bukan milik Ondoafi sendiri, Ondoafi atau Iram itu hanya mempunyai hak sebagai hak pelindung bukan pemilik, yang mana mereka melindungi hak-hak masyarakat yang dipimpinnya bukan hak menjual tanah tanpa sepengetahuan masyarakatnya.
Kasus ini kata mereka berawal penerbitan keputusan Izin lokasi Nomor 213 pada tanggal 07 November 2011 oleh Bupati Jayapura. Melalui izin lokasi PT PNM memiliki kesempatan untuk mengurus izin-izin lainnya.
Masyarakat adat mengatakan izin-izin diperoleh tanpa diketahui dan persetujuan oleh masyarakat adat, UU Otonomi khusus Pasal 43 jo. Perdasus Provinsi Papua No. 23/2008 mengatur bahwa sebelum izin-izin diterbitkan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pemilik hak ulayat.
Tanggal 10 Februari 2013 Bupati Jayapura kembali menerbitkan SK Kelayakan Lingkungan Nomor 34 Tahun 2013;
Tanggal 18 November 2013 terbit Rekomendasi Komisi Penilai AMDAL Kabupaten Jayapura Nomor 660.1/05-KOMDALDA.VII/2013 Tanggal tentang ANDAL, RKL dan RPL Pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit;
Februari 2014 Bupati Jayapura menerbitkan Izin lingkungan dari bupati Jayapura Nomor 62 Tahun 2014;
28 Maret 2014 Kepala badan perijinan terpadu dan penanaman modal pemerintah provinsi Papua Jhoni Way, S.Hut, M.Si mengeluarkan keputusan
Nomor 01/SK.IUP/KS/2014 tentang Izin Usaha Perkebunan PT Permata Nusa Mandiri seluas 30.920 Hektar yang terletak di distrik Unurumguay, Namblong, Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk Gresi.
Dalam diktum ketujuh IUP dalam hal perusahaan tidak melaksanakan kewajiban maka IUP ini dicabut;
Tanggal 13 Agustus 2014 Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan, mengeluarkan Keputusan Nomor SK.680/MENHUT-II/2014 Tentang pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT Permata Nusa Mandiri, d Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua seluas 16.182,48 Hektar;
Pada tahun 2018 terbit sertifikat Hak Guna Usaha di wilayah IUP PT Permata Nusa Mandiri:
SK HGU atas nama Koperasi Produsen Naba Nen Abdekan Mari Kita Bersama Membangun Plasma, dari Kepmen ATR/Kepala BPN N0. 73/HGU/KEM-ATR/BPN/2018, tanggal 21 Agustus 2018, seluas 1578,77 ha;
Sertifikat HGU dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura, Nomor 00021, tanggal 15 November 2018, seluas 1578,77 ha; berlokasi di Desa Beneik, Kec. Unurum Guay, Kabupaten Jayapura.
SK HGU atas nama Koperasi Produsen Plasma Musari Mandiri, dari Kepmen ATR/Kepala BPN N0. 78/HGU/KEM-ATR/BPN/2018, tanggal 29 Agustus 2018, seluas 475,35 ha; Sertifikat HGU dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura, Nomor 00022, tanggal 15 November 2018, seluas 475,35 ha; berlokasi di Desa Bunyom, Kec. Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.
“Harapan Masyarakat Adat Grime Nawa, Pemerintahan segera membuat kebijakan tegas, berhentikan aktivitas perusahaan PT PNM dan Cabut Izin Lokasi dan HGU dari Tanah Adat Kami,” kata mereka.
Atas dasar itu, menurut masyarakat
Terjadi pelanggaran perizinan dalam bentuk:
a. Perolehan izin tanpa persetujuan utuh pemilik hak ulayat; Jangka waktu izin lokasi yang telah habis
- PT PNM tidak melakukan kewajiban di dalam IUP dan Permentan Pedomanan perizinan berusaha perkebunan.
- Tindakan penelataran tanah oleh PT PNM.
- Perizinan bertentangan dengan perlindungan kawasan hutan adat.
- PT PNM tidak melakukan kewajiban dalam SK Pelepasan Kawasan Hutan.
b.Menteri KLHK telah mencabut keputusan Pelepasan Kawasan hutan Nomor 680/MENHUT- II/2014 atas nama PT Permata Nusa Mandiri seluas 16.182,48 Hektar melalui SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsensi Kawasan Hutan;
c.Dugaan tindak pidana pembukaan hutan tanpa izin dan dilakukan secara tidak sah sesuai UU Nomor 18 tahun 2013
d.Dengan beberapa Pelanggaran Hukum di atas, namum perusahaan masih melakukan pembongkaran di Hutan Adat Grime Nawa, Milik Masyarakat Adat Suku Namblong.