SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) selaku kuasa hukum Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) telah mendapatkan informasi berkaitan dengan perkara kriminalisasi Pembela HAM melalui kanal penelusuran perkara melalui website https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/ yang menyatakan bahwa kasasi yang diajukan oleh Tim Jaksa Penuntut Umum telah diputuskan ditolak oleh Majelis Hakim Kasasi pada Mahkamah Agung.
Dalam keterangan di website tersebut, Fatia Maulidiyanti teregister dengan nomor perkara 5714 K/Pid.Sus/2024 dan Haris Azhar dengan nomor perkara 5712 K/Pid.Sus/2024 yang keduanya telah diputus pada 11 September 2024 oleh tiga majelis hakim yakni Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum., (Ketua), Ainal Mardhiah, S.H., M.H., (Anggota Majelis 1) dan Sutarjo, S.H., M.H., (Anggota Majelis 2). Ditolaknya kasasi JPU oleh Mahkamah Agung telah menguatkan vonis bebas terhadap Fatia dan Haris pada putusan tingkat pertama di PN Jakarta Timur.
Sebelumnya, Fatia dan Haris dihadapkan ke persidangan setelah sebelumnya dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan setelah memaparkan penelitian tentang bisnis militer di Blok Wabu yang dilakukan oleh 9 lembaga yakni YLBHI, WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia, dan #BersihkanIndonesia melalui podcast NgeHAMtam di kanal youtube Haris Azhar yang memuat judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua.”
Persidangan yang dilaksanakan di PN Jakarta Timur berlangsung selama hampir 9 bulan terhitung sejak sidang pertama dengan agenda pembacaan surat dakwaan pada 3 April 2023.
Kemudian pada 8 Januari 2024, keduanya diputus dibebaskan dari segala tuntutan maupun dakwaan karena tidak terbukti melanggar tindak pidana sebagaimana dituduhkan oleh JPU melalui Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsidair Pasal 15 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.
“Melalui putusan ini, kami menilai Mahkamah Agung telah turut menjaga marwah kebebasan sipil yang menjamin sekaligus menekankan bahwa warga negara memiliki hak untuk memberikan kritik terhadap pejabat publik tanpa harus khawatir dipidana. Selanjutnya, putusan ini juga menandakan pentingnya perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan sebagaimana dikenal dengan konsep Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP),” jelas Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) selaku Kuasa Hukum Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dalam keterangan pers yang diterima media ini, Rabu (25/9/2024)
Menurut mereka, putusan ini juga sekaligus telah menyalakan harapan bagi orang-orang yang terus memperjuangkan isu kemanusiaan dan lingkungan khususnya di Papua.
Lebih jauh, kata tim hukum Fatia-Haris, dalam putusan tingkat pertama Majelis Hakim mengakui beberapa hal yang diungkap dan telah telah menjadi fakta persidangan seperti adanya conflict of interest oleh LBP terkait praktik pertambangan di Papua.
“Fakta tersebut dilihat dari adanya penjajakan bisnis anak perusahaan LBP yakni PT Tobacom Del Mandiri bersama dengan PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining,” ujar mereka.
Dalam persidangan pun kata mereka, terbukti bahwa LBP sebagai beneficiary owners (BO), sebab setiap tahunnya mendapatkan laporan keuangan perusahaan, sehingga menurut mereka, mustahil jika LBP tidak mengetahui atau menyetujui adanya penjajakan bisnis di Papua.
“Oleh karena hal tersebut di atas, kami memandang telah terdapat dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas tambang di Papua yang dilakukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan serta jejaringnya,” kata mereka.
Mereka juga menginginkan agar Negara melalui aparat penegak hukum segera melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait dugaan pelanggaran hukum tersebut.
“Putusan ini sudah sepatutnya menjadi acuan bagi APH untuk memulai investigasi conflict of interest LBP. Selain itu, pemerintah juga harus secara serius menindaklanjuti temuan dan rekomendasi berdasarkan kajian cepat yang berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua,” ungkap tim hukum Fatia-Haris.
Mereka juga menilai pejabat publik seperti LBP tidak boleh melakukan kriminalisasi terhadap penelitian, pendapat, dan ekspresi yang sah, selain pada dasarnya seharusnya penuntutan tidak dapat dilakukan.
“Maka merujuk pasal 314 KUHP, LBP tidak lagi bisa melaporkan orang yang menyebut dia memiliki konflik kepentingan atau lebih khusus bermain tambang di Papua,” tulis mereka.
Kuasa hukum Fatia-Haris mengatakan, tidak hanya LBP, seluruh pihak yang ada dan disebut dalam riset kajian cepat yang kemudian dikuatkan dalam putusan juga tidak dapat melakukan pelaporan pidana pasal penghinaan.
Putusan ini kata mereka, sudah semestinya menjadi yurisprudensi bagi Majelis Hakim di setiap tingkat pengadilan ketika mengadili kasus-kasus kriminalisasi terhadap para aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup.
“Berdasarkan catatan kami, masih terdapat berbagai kasus kriminalisasi serupa seperti Daniel Fritz Tangkilisan pejuang yang berupaya melestarikan Karimunjawa, Muhriyono seorang petani Pakel yang merebut lahannya karena dirampas pihak swasta hingga Sorbatua Siallagan seorang ketua masyarakat adat yang melawan perampasan tanah adat di Simalungun hingga kini masih terus memperjuangkan keadilan. Atas kasus-kasus tersebut sudah sepatutnya para Majelis Hakim yang mengadili kasus kriminalisasi aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup berani memutus bebas sebagaimana dalam perkara Fatia dan Haris,” tutup mereka.
Editor: Red