Lingkungan · 5 Okt 2024 20:09 WIT

OPINI | Perampasan Lahan, Penghancuran Budaya : Proyek Tebu Merauke


Joonathan F. Mebri Perbesar

Joonathan F. Mebri

Oleh: Joonathan F. Mebri (Mahasiswa hubungan internasional (HI), Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP), Universitas Cenderawasih (Uncen)

Perampasan Lahan (Land Grabbing), Penghancuran Budaya (Ekosida): Proyek Tebu Merauke

SASAGUPAPUA.COM, OPINI – Dalam konteks proyek strategis nasional tebu di Merauke, kita telah menyaksikan ironi yang sangat nyata.

Alih-alih membawa manfaat ekonomi yang berkelanjutan, proyek ini justru menimbulkan pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia dan ekosistem yang rapuh.

Tiga marga adat Moiwend, Gepze, dan Kwipalo telah menjadi korban perampasan ruang hidup mereka, di mana lahan adat yang mereka miliki secara turun-temurun diambil tanpa persetujuan yang sah.

Tidak ada konsultasi yang berarti, tidak ada pemberian izin oleh masyarakat adat yang terdampak, sebuah praktik yang dapat dikategorikan sebagai perampasan lahan (land grabbing).

Hal ini jelas melanggar UU otsus pasal 42, ayat 3 “perundingan yang dilakukan antara pemerintah provinsi, kabupaten/ kota dan penanam modal harus melibatkan masyarkat adat setempat”.

Lebih jauh lagi, proyek ini tidak hanya melanggar hak-hak mereka untuk hidup sesuai budaya yang diwariskan, tetapi juga memaksa mereka mengadopsi pola hidup yang asing bagi mereka.

Masyarakat adat yang selama ini secara turun temurun hidup dengan cara berburu dan meramu akan dipaksa menjadi petani tebu akibat wilayah adat seluas 2 juta hektar telah disulap menjadi lahan tebu, sebuah transformasi paksa yang merusak identitas budaya mereka.

Hal ini tidak hanya menyingkirkan mereka dari wilayah adatnya tetapi juga menghilangkan keterikatan mereka dengan tanah, hutan, dan alam yang telah diwariskan.

Deforestasi yang terjadi untuk membuka lahan tebu juga memperburuk krisis iklim global, karena hutan-hutan di Papua berperan penting dalam penyerapan karbon.

Inilah bentuk pelanggaran HAM yang nyata: penghilangan ruang hidup, perusakan ekosistem, dan pengabaian hak budaya masyarakat adat yang menjaga keseimbangan alam.

Di saat dunia berupaya melawan perubahan iklim, proyek ini malah mempercepat deforestasi dan memperburuk krisis iklim global.

Dengan melanggar prinsip-prinsip FPIC dan mengabaikan hak-hak fundamental masyarakat adat, proyek ini menciptakan luka sosial dan ekosida yang akan sulit dipulihkan. Proyek tebu di Merauke bukan hanya permasalahan lokal, tetapi cermin dari model pembangunan yang menghancurkan manusia dan alam.

proyek ini bukan hanya sebuah pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat marga Moiwend, Gepze, dan Kwipalo, tetapi juga merupakan simbol dari ketidakadilan struktural yang berakar pada kebijakan pembangunan yang eksploitatif.

Perampasan lahan tanpa izin, penghilangan budaya berburu dan meramu, serta dampak deforestasi dari proyek ini menghancurkan tatanan sosial-ekologis yang telah dijaga selama berabad-abad.

Keberadaan Undang-Undang terutama Otonomi Khusus yang seharusnya menjadi perisai perlindungan bagi masyarakat adat, sayangnya dalam permasalahan ini hanya menjadi dokumen formal yang hampa makna di lapangan.

Di satu sisi, undang-undang terutama Otsus dirancang untuk menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk pengelolaan tanah dan budaya mereka.

Namun, di sisi lain, penerapannya kerap diabaikan ketika ada kepentingan besar yang bermain. Proyek tebu di Merauke adalah contoh nyata di mana undang-undang ini seolah dikesampingkan demi investasi skala besar.

Masyarakat Moiwend, Gepze, dan Kwipalo, yang telah lama menjaga tanah adat mereka, justru melihat ruang hidupnya dirampas tanpa perlindungan hukum yang dijanjikan.

Ironisnya, Otonomi Khusus yang digembar-gemborkan sebagai bentuk penghargaan atas kekhususan Papua malah menjadi bisu dan tak berdaya.

Ketika tanah-tanah adat diambil untuk proyek besar tanpa konsultasi yang sah, di mana peran Otonomi Khusus yang seharusnya melindungi mereka?.

Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah undang-undang dan Otonomi Khusus benar-benar dirancang untuk melindungi masyarakat, atau hanya sebatas topeng untuk melancarkan kepentingan ekonomi elit di atas penderitaan masyarakat adat di seluruh tanah Papua?

 

 

Berikan Komentar
Artikel ini telah dibaca 44 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Mahkamah Agung Tolak Kasasi Suku Awyu, Perjuangan Selamatkan Hutan Papua Kian Berat

6 November 2024 - 15:15 WIT

13 Komunitas di Jayapura Ikut Bersuara Dalam Momen Aksi Muda Jaga Iklim 2024

28 Oktober 2024 - 16:53 WIT

Solidaritas Merauke Unjuk Rasa di Depan Kantor Kementerian Pertanahan: Jangan Rampas Hak Hidup OAP

16 Oktober 2024 - 21:01 WIT

Pemerhati Lingkungan Asli Kamoro: Pohon Tidak Boleh Dijadikan Media Kampanye

28 September 2024 - 19:41 WIT

Trending di Lingkungan