Oleh: Joonathan Frizzy Mebri (Mahasiswa Hubungan internasional (HI), Fakuktas ilmu sosial dan ilmu politik , Universitas Cenderawasih Jayapura)
SASAGUPAPUA.COM, OPINI – Papua adalah salah satu paru-paru dunia yang tersisa, tempat hutan-hutan primer berdiri tegak sebagai saksi peradaban masyarakat adat yang hidup harmonis dengan alam.
Namun, hari ini, ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem Papua semakin nyata.
Ironisnya, di tengah kekayaan alam yang luar biasa ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa para bakal calon pemimpin tidak menunjukkan komitmen yang serius terhadap pelestarian lingkungan, apalagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Salah pilih kali ini, susah pulih nanti.
Ketika berbicara soal kepemimpinan, pertanyaan utama yang harus kita ajukan adalah: apakah mereka memahami bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan dan hak asasi manusia?
Sayangnya, dari para bakal calon yang kini muncul di panggung politik di Provinsi Papua, tak satu pun yang tampak benar-benar berkomitmen untuk melindungi alam Papua.
Di saat dunia semakin mengakui pentingnya keberlanjutan lingkungan, Indonesia, terutama tanah Papua, tampaknya berjalan mundur.
Menurut laporan Global Witness (2023), sekitar 40% dari hutan primer di Papua sudah dialokasikan untuk konsesi industri, baik untuk pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit.
Laporan ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat adat Papua terus menjadi korban pelanggaran hak asasi, termasuk penggusuran paksa dari tanah leluhur mereka. Padahal, masyarakat adat Papua telah menjaga hutan mereka selama berabad-abad, mereka adalah penjaga sejati hutan, bukan segelintir perusahaan yang datang dengan alat berat dan keserakahan.
Krisis lingkungan di Papua bukan hanya soal kerusakan ekosistem, tetapi juga masalah moralitas dan keadilan. Selama bertahun-tahun, masyarakat adat Papua menghadapi tekanan dari berbagai pihak: pemerintah, aparat keamanan, hingga perusahaan besar.
Menurut Human Rights Watch, banyak dari proyek-proyek strategis nasional yang digadang-gadang pemerintah sebagai “penggerak ekonomi” justru menjadi ancaman nyata bagi masyarakat adat dan hutan Papua.
Tanpa persetujuan yang sah, tanah-tanah mereka diambil untuk kepentingan industri, yang hasilnya sebagian besar hanya menguntungkan segelintir elit dan perusahaan asing.
Laporan Amnesty International bahkan mencatat bagaimana upaya masyarakat adat untuk mempertahankan tanah mereka sering kali dibalas dengan “kekerasan” oleh aparat.
Dalam situasi seperti ini, bagaimana kita bisa berharap ada pemimpin yang benar-benar memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan jika komitmen politik mereka terhadap hal-hal ini nyaris tidak ada.
Papua tidak butuh pemimpin yang hanya bisa berbicara soal pembangunan ekonomi tanpa peduli bagaimana pembangunan itu dilakukan.
Kita butuh pemimpin yang berani mengutamakan, keberlanjutan dan keadilan. Jika kita melihat ke depan, harapan terbesar Papua adalah adanya kebijakan yang menghormati dan menjalankan prinsip Free, Prior, and Informed Consent| (FPIC) – yakni bahwa setiap pembangunan harus mendapatkan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) dan sebelum proyek dijalankan.
Prinsip ini juga diakui oleh Konvensi ILO No. 169 serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Pada UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua di pada Bab XI, Perlindungan Hak-Hak Masyarakat adat pada Pasal 43 ayat (1) mengatakan ” Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku”.
Seharusnya juga pemerintah Indonesia menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat Papua dalam berbagai aspek kebijakan pembangunan dan ekonomi di Tanah Papua.
Saat ini para bakal calon pemimpin ditingkat kabupaten/kota dan provinsi sekarang bertarung untuk menduduki kursi “kekuasaan” justru mereka ditengarai menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.
Tidak ada yang secara eksplisit menyoroti pentingnya menghormati, melindungi, dan mengakui hak-hak masyarakat adat Papua serta kelestarian lingkungan hidup.
Sebaliknya, mereka lebih tertarik untuk menyenangkan korporasi dan membangun infrastruktur megah yang justru memperparah kerusakan alam.
Jika kita terus memilih pemimpin yang abai terhadap isu hak-hak masyarakat adat Papua dan kelestarian lingkungan hidup, maka kita bukan hanya mengkhianati masyarakat adat Papua, tetapi juga masa depan generasi mendatang.
Disisi lain hutan di Tanah Papua dan khususnya di Provinsi Papua sedang mengalami ancaman serius, dari analisa Greenpeace dalam laporan berjudul Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua.
Diaman pada laporan ini mengungkap dugaan pelanggaran sistematis perizinan perkebunan dan pelepasan kawasan hutan di provinsi Papua dalam rentang 2011-2019.
Hampir satu juta hektare hutan di Provinsi Papua telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000 atau hampir dua kali luas pulau Bali. Sebagian besar pelepasan tersebut untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Papua tidak boleh hanya dilihat sebagai lahan kosong untuk dieksploitasi. Kita harus berhenti memandang alam sebagai aset yang bisa dimanfaatkan tanpa batas. Alih-alih, kita harus melihatnya sebagai warisan berharga yang harus dilestarikan – bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk keberlanjutan kehidupan itu sendiri.
Para calon kepala daerah yang tidak memiliki komitmen kuat terhadap pentingnya menghormati, melindungi, dan mengakui hak-hak masyarakat adat Papua dalam bentuk regulasi dan konsekwen dijalankan serta perta perlindungan lingkungan hidup terutama hutan Papua adalah sebuah kesalahan fatal bagi masa depan Tanah Papua.
“Salah pilih susah pulih” harus dicermati dengan baik, karena bukan sekadar slogan, tetapi realitas pahit, yang kami generasi muda harus hadapi. Saatnya publik dan generasi muda harus memilih pemimpin yang berani berpihak pada masyarakat adat, yang paham bahwa keseimbangan ekosistem adalah fondasi dari pembangunan yang berkelanjutan untuk keadilan antar generasi.