SASAGUPAPUA.COM, NABIRE – Papua Tengah, sebuah Daerah Otonom Baru (DOB) yang dimekarkan tiga tahun lalu. Daerah dengan jumlah penduduk sesuai data Badan Pusat Statistik sebanyak 1.369.112 kini menghadapi tantangan untuk memerangi penyakit Malaria.
Dalam bayang-bayang beban malaria yang menurut data, Papua Tengah menjadi salah satu Provinsi penyumbang malaria terbesar di Indonesia. Hal ini membuat pemangku kebijakan tidak bisa berdiam diri.
Pada Jumat (1/8/2025) akhirnya lahir sebuah deklarasi untuk berkomitmen agar Papua Tengah Terbebas dari Malaria.
Plt Kepala Dinas Kesehatan Papua Tengah, Tengah Dokter Agus, M.Kes,CH,Med.CHt mengatakan saat ini Provinsi Papua Tengah menghadapi beban malaria tertinggi di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Dalam situasi tersebut ada satu daerah di Papua Tengah yakni Mimika sebagai penyumbang tertinggi di Papua Tengah dengan angka 95 persen.
Menurut informasi yang ditulis oleh Kompas.com, jumlah kasus Malaria di Mimika sebanyak 40.537 kasus terhitung sejak Januari hingga Mei 2025.
Hal ini menjadikan pusat penularan yang kata Agus memerlukan intervensi khusus dan juga intensif.
Namun kata dia sisi lain, 6 kabupaten di dataran tinggi dengan kasus rendah, menjadi peluang besar untuk eliminasi dini.
“Ada beberapa fakta kunci yang perlu kita ketahui bersama bahwa ada 168 ribu kasus positif malaria di Papua tengah di tahun 2024, dimana 58,6 persen kasus tersebut adalah Plasmodium falciparum atau malaria tropika,” jelasnya.
Bahkan Ia menjelaskan ada 2.159 kasus yang terjadi pada ibu hamil, dimana ini mengancam keselamatan ibu dan bayi, termasuk juga meningkatkan potensi anak menjadi stunting.
“Ada 11,7 persen kasus menimpah bayi dan balita, serta 16,2 persen terjadi pada pelajar, dimana ini bisa menyebabkan generasi masa depan bisa terancam,” ungkapnya.
Selain itu, malaria juga menyebabkan adanya perubahan ekonomi. Agus menjelaskan perubahan ekonomi akibat malaria diperkirakan mencapai Rp170 miliar pada tahun 2024, dimana kepatuhan minum obat masih rendah, dan hanya 68 persen penggunaan kelambu, dan masih banyak genangan air di masyarakat yang terbukti jentik nyamuk anopheles.
“Dan juga persepsi masyarakat bahwa malaria ini masih merupakan penyakit biasa yang memperlambat perubahan perilaku kita,” ungkapnya.
Sehingga dengan adanya komitmen memerangi malaria di Papua Tengah serta mendukung target eliminasi malaria nasional di tahun 2030 sesuai dengan Permenkes no 2 tahun 2022, serta mendorong kolaborasi lintas sektor, tokoh masyarakat dan mitra pembangunan.
Tak Harus Tunggu 2030
Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa dalam momen sambutan mengatakan, malaria adalah penyakit yang tidak hanya mengancam kesehatan tapi juga menghambat masa depan pembangunan khususnya di tanah Papua.
Sesuai dengan data kasus malaria menunjukan lebih dari 93 persen kasus malaria di Indonesia terjadi di Tanah Papua dan papua tengah mencatat hampir 70 ribu kasus pada tahun 2024.
“Ini adalah angka yang sangat serius yang lebih memprihatinkan kasus ini juga terjadi pada ibu hamil dan anak-anak balita yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa,” ujarnya.
Gubernur mengatakan, malaria yang menyerang mereka dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, anemia berat bahkan kematian janin. Ia menyebut hal ini adalah ancaman nyata terhadap kualitas, SDM Papua kedepan.
“Oleh karena itu hari ini kita berkumpul bukan sekedar untuk mengikuti sebuah ceremony, tetapi untuk menyatukan komitmen, hati dan langkah, mewujudkan Papua Tengah Bebas dari malaria,” katanya.
Ia menyebut pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan target nasional eliminasi malaria pada tahun 2030 sebagaimana tercantum dalam kemenkes nomor 22 tahun 2022 tetapi saya menegaskan bahwa papua tengah tidak tunggu sampai 2030.
Ia mengajak semua pihak untuk bergerak cepat. Meki mengatakan deklarasi hari ini adalah tonggak sejarah bersama para bupati bersama para mitra pembangunan, bersama seluruh elemen rakyat untuk menegaskan komitmen eliminasi malaria dari seluruh pelosok Papua Tengah, dari gunung hingga pesisir dari kampong ke kampung.
“Saya minta seluruh kepala desa untuk memasukan penanggulangan malaria sebagai prioritas untuk pembangunan daerah masing-masing. Kita butuh tindakan nyata, mulai dari pemberdayaan kader malaria, penguatan surveilans hingga mitigasi program malaria dengan upaya pencegahan stunting dan peningkatan gizi anak,” ungkapnya.
Ia juga berikan apresiasi kepada seluruh pihak baik pemerintah kabupaten, tenaga kesehatan, mitra pembangunan yang telah bekerja keras dan tetap semangat dalam menghadapi tantangan, penanggulangan malaria di lapangan.
“Mari kita wujudkan papua tengah yang sehat, mari kita tuntaskan malaria agar anak-anak kita tumbuh cerdas, ibu-ibu kita tetap sehat dan masyarakat kita dapat hidup lebih produktif, dengan semangat dan gotong royong, saya percaya bahwa papua tengah mampu menjadi provinsi menuntaskan malaria lebih cepat dari target nasional,” pungkasnya.
Gerakan Natal Tanpa Malaria
Kepala UNICEF Perwakilan Papua, Aminuddin Mohammad Ramdan mengatakan pihaknya akan mendorong sebuah gerakan natal tanpa malaria.
“Menjelang akhiri tahun ini kami ingin mendorong agar bisa juga dicanangkan sebuah aksi gerakan social yang nyata yaitu natal tanpa malaria,” begitu katanya.
Aminudin juga mengajak semua pihak untuk membayangkan bagaiman indahnya nanti kalau semua merayakan natal tanpa ada yang terkena sakit malaria.
“Indahnya natal kita nanti kalau anak-anak kita bisa merayakan natal tanpa terganggu oleh penyakit malaria, keluarga kita bisa berkumpul dirumah tanpa diselingi oleh isak tangis anaknya yang mengalami malaria atau harus menunggu keluarganya di rumah sakit, bayangkan betapa indahnya suasana natal dalam keadaan seperti itu,” ungkapnya.
Penuh harap, ia menyampaikan agar seluruh masyarakat ikut berkomitmen untuk mewujudkan gerakan tersebut.
“Kami dari unicef berkomitmen untuk berjalan bersama pemerintah dan seluruh mitra menuju Papua Tengah yang lebih sehat bebas malaria dan berpihak kepada anak-anak, karena masa depan Papua tengah dimulai dari anak-anak yang tumbuh sehat sejak usia dini mereka,” ujarnya.
Menurutnya, deklarasi eliminasi malaria di Provinsi Papua Tengah merupakan sebuah semangat untuk bersatu mewujudkan Papua Tengah bebas malaria.
“Malaria adalah penyakit yang tidak hanya mengancam kesehatan tapi juga menghambat masa depan pembangunan khususnya di Tanah Papua,”ungkapnya.
Dijelaskan malaria bukan hanya permasalahan kesehatan saja tapi Maslaah perlindungan anak dan juga keadilan sosial.
“Anak-anak seringkali bahkan sebelum mereka bias bicara kadang-kadang mereka sudah kena malaria, ibu hamil ketika mereka sedang mengandung dan menjaga dua nyawa kadang mereka harus berjuang melawan malaria,” ungkapnya.
Kasus-kasus seperti ini kata dia adalah momen untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak dan ibu yang didalamnya termasuk kelompok rentan.
Dijelaskan dari data, kurang lebih 12 persen kasus malaria terjadi pada anak dibawah usia lima tahun dan itu setara kurang lebih 19.600 balita dan 19 persen atau 32.000 kasus itu terjadi pada pelajar yang seharusnya mereka bisa fokus kepada pendidikan dan pengembangan diri.
Bayangkan betapa besar potensi generasi Papua Tengah yang terganggu karena mereka harus menghadapi penyakit-penyakit yang sebetulnya bisa di cegah anak-anak yang terkena malaria.
“Seringkali anak-anak harus absen di sekolah dan mereka juga mengalami resiko untuk tumbu kembang mereka,” ujarnya.
“Kami dari unicef sangat mengapresiasi inovasi pemerintah papua tengah melalui strategi TOKEN yaitu temukan, obati daan kendalikan vektornya karena ini kami harapkan bukan hanya menjadi aproning saja tapi menjadikan pendekatan berbasis komunitas yang menjangkau hingga kampung-kampung terkecil,” lanjutnya.
Strategi ini kata dia, memberikan harapan bahwa eliminasi malaria bisa dimulai dari rumah tangga, ke kampung, ke distrik, kabupaten dan akhirnya Provinsi Papua Tengah bebas malaria
Oleh karena itu unicef mendorong TOKEN menjadi gerakan bersih lingkungan untuk mencegah genangan air dimana setiap rumah, kampung dan sekolah menjadi benteng pertama untuk mencegah malaria.
“Kami dari Unicef siap untuk mendukung upaya ini secara teknis terutama dalam penguatan sistim kesehatan, komunikasi perubahan perilaku yang efektif dan penggunaan data
untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam edukasi malaria ini,” pungkasnya.