“SAYA lebih banyak konsumsi Nasi dibanding sagu,” kata Agus Erik Yoku yang berasal dari suku Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Agus merupakan seorang Karyawan yang bekerja di lingkungan PT.Freeport Indonesia. Agus jarang mengkonsumsi sagu karena lebih banyak berada di tempat kerja dibanding di rumah sendiri.
Ia mengakui saat ini, sagu yang diolah jadi Papeda merupakan makan pokok Orang Asli Papua, namun mulai tergerus zaman.
“Di saya punya keluarga juga tidak terlalu sering makan papeda paling hanya pas kumpul keluarga saja, ada syukuran baru makan sagu, karena lebih seru makan papeda pas rame-rame,” ujarnya.
Hal tersebut juga terjadi karena menurutnya saat ini, di setiap rumah, orang lebih banyak mencari yang simpel yaitu memasak nasi di Rice cooker.
Sebab menurutnya, pengolahan sagu menjadi papeda membutuhkan waktu yang cukup rumit, air yang haru dimasak hingga mendidih, sagu yang harus di cuci dan disaring lalu diolah menjadi papeda, sehingga orang lebih memilih yang mudah.
Selain itu, Agus juga merasa saat ini agak kesulitan mencari sagu, bahkan harga sagu pun mahal jika dibandingkan dengan satu liter beras.
Dulu, kata agus setiap rumah di kampungnya yakni Sentani pasti memiliki stok sagu yang banyak, namun seiring berjalannya waktu, dengan adanya perluasan area, banyak pohon sagu yang dipotong.
“Sekarang banyak pohon sagu saya lihat di lahan banyak yang dibakar untuk mempermudah dalam proses penebangan, saya lihat itu kasihan, peminat sagu sudah kurang, sagunya juga dibakar lalu ditebang,” ungkapnya.
Agus berharap adanya perhatian dari pemerintah untuk membantu melestarikan sagu, juga memberikan pembinaan kepada petani sagu agar mampu mengelola sagu dengan baik.
Momen Hari Sagu
TANGGAL 21 Juni menjadi momen untuk memberikan semangat bagi masyarakat yang ada di Papua agar lebih mencintai sagu.
Digagas sejak 21 Juni 2017, hari sagu dijadikan momen untuk mengevaluasi perkembangan sagu yang ada di Papua.
Pemerhati lingkungan hidup di Kabupaten Jayapura, Marshall Suebu mengatakan saat ini, pola makan dari masyarakat terlihat bergeser cukup signifikan.
Dimana dulunya orang-orang hanya bergantung pada sagu, namun kini telah bergeser.
Untuk itu, selain menanam sagu, konsumsi sagu juga perlu ditingkatkan.
Ia mencontohkan misalnya upaya yang sudah pernah dilakukan berupa festival colo sagu, seperti gerakan sagu bakar atau jenis olahan sagu yang nyaman dengan selera generasi milenial.
“Memang tidak harus papeda atau mungkin anak-anak sekarang merasa masih tradisional tetapi mungkin bisa dikemas dengan bentuk dan rasa yang modern yang bisa sesuai dengan cita rasa generasi milenial itu yang mungkin didorong,Sehingga bentuknya, modelnya, meskipun berbeda tapi bahan dasarnya tetap sagu,” kata Marshall kepada Sasagupapua.com.
Meskipun demikian, jika nantinya pola makan telah kembali ke sagu yang menjadi makanan pokok, maka ketersediaan bahan baku (pohon sagu) perlu untuk dikembangkan.
Marshall menyebut di Papua dikenal dengan berjuta hektar hutan sagu, tapi itu adalah data dari beberapa tahun silam.
Namun, jika dilihat secara kasat mata seperti satu contoh di Jayapura hingga Kota Jayapura, kawasan hutan sagu terjadi pengurangan.
“Kalau saya lihat secara kasat mata, untuk kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura luar biasa. Memang betul-betul hutan sagu terjadi alih fungsi hutan yang luar biasa,” ungkapnya.
Sehingga, ia mengatakan melalui momen hari sagu yang telah diprakarsai menjadi pengingat untuk berbicara kepada semua pihak termasuk para pemangku kepentingan, bagaimana proses evaluasi tentang pengelolaan sagu mulai dari hulu hingga hilir.
“Jangan sampai kita cuman ngomong-ngomong saja tapi kita tidak melihat bahwa semakin hari hutan sagu semakin hilang,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, di Kabupaten Jayapura mendapatkan bantuan dari APBN sekitar 100-200 hektar lahan yang digunakan untuk perkebunan sagu.
“Ini dari pusat. Bagaimana dengan Kabupaten dan Provinsi, apakah kita sudah menganggarkan anggaran yang cukup, kemudian melakukan upaya dari hulu sampai hilirisasi untuk sagu, sudah dilakukan dengan benar, ? itu yang menjadi pertanyaan yang harus kita jawab di hari evaluasi hari sagu ini,” ucapnya.
“Kalau saya dari pemerhati lingkungan saya bilang mungkin kita harus komitmennya lebih sungguh sungguh. Ini kita bicara tapi belum komitmen,” lanjutnya.
Komitmen dari segenap pemangku kepentingan di daerah menjadi salah satu harapan untuk pelestarian hutan sagu.
Karena, kata Marshall, berbicara mengenai sagu namun saat ini belum ada contoh perkebunan sagu yang betul-betul bisa dilihat untuk memberikan jawaban dari pertanyaan mengenai pelestarian sagu.
Marshall juga memberikan himbauan kepada masyarakat. Dimana kata dia, sagu di Papua merupakan pemberian dari Tuhan sehingga perlu untuk dijaga.
“Kita ini kan umat beragama sehingga kita harus ingat bahwa Tuhan kasih sagu itu untuk kehidupan, kita jadi kita bisa membuat komitmen untuk menjaga hutan sagu kita,” ungkapnya.
Menurutnya, terkadang pemerintah disahkan namun jika kelompok masyarakat tidak menjaga hutannya kemudian cenderung menjual, mengalihfungsikan maka tidak akan ada perubahan.
“Jadi untuk masyarakat, kalau di sentani bilang ‘obee’ atau para-para adat itu bicara tentang bagaimana mempertahankan sagu, stop bicara jual-jual tanah, tapi bicara mengenai bagaimana melestarikan hutan sagu, bagaimana menjadikan sagu itu makanan pokok, jadi sagu itu biasanya tanam di tanah sekarang itu sagu tanam di otak, di pikiran kita, hati kita supaya kita bisa lestarikan sagu kemudian menjadi makanan dan kemudian membawa kesejahteraan untuk kitong begitu,” pungkasnya.
Alih Fungsi Lahan Hingga Turunnya Minat Konsumsi Sagu
Dikutip dari Studi Kasus Pengolahan Pangan Lokal Sagu dan Buah Merah oleh Pusat Riset Kependudukan (PRKependudukan) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut Pada tahun
2020, luas perkebunan di Provinsi Papua tercatat sebesar 152.155 hektar. Sagu menjadi tanaman perkebunan luas lahan tertinggi, yaitu seluas 54.657 hektar sehingga tanaman ini juga menunjukkan hasil produksi tertinggi yaitu sebesar 67.913 ton. Baik di seluruh Indonesia maupun di Provinsi Papua, perkebunan sagu hanya dikelola oleh perkebunan rakyat.
Cahyo Pamungkas, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Lipi) menjelaskan tahun 2022 lalu, bersama dengan Pusat Riset Kependudukan (PRKependudukan) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan penelitian mengenai sagu dan buah merah di tiga daerah yakni Jayapura, Keerom dan Nabire yang paling banyak memproduksi sagu.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2019, tercatat luas areal perkebunan sagu di Kabupaten Jayapura berkisar 4.394 hektar dengan nilai produktivitas sebesar 1.701 kg/ha dan jumlah petani yang mengusahakan sebanyak 3.515 orang.
Sementara areal perkebunan sagu di Kabupaten Keerom adalah 1.894 hektar dengan nilai produktivitas sebesar 1.056 kg/ha dengan jumlah petani yang mengusahakan sebanyak 1.236 orang.
Dan perkebunan sagu di Kabupaten Nabire adalah 704 hektar dengan nilai produktivitas sebesar 1.572 kg/ ha dan jumlah petani yang mengusahakan sebanyak 673 orang.
Dalam proses penelitian tersebut, terdapat perubahan sosial, dimana adanya alih fungsi lahan yang semula merupakan tempat tumbuhnya tanaman sagu, kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, menjadi jalan, tempat pemukiman dan lainnya mengingat kebutuhan akan tanah yang meningkat di Papua.
Alih fungsi terbesar yang terjadi yakni perkebunan kelapa sawit di Keerom, Kabupaten Jayapura, Nabire termasuk Sorong.
“Ini ironi, karena kelapa sawit ini, Orang Asli Papua tidak memiliki tradisi untuk bercocok tanam kelapa sawit. Rata-rata sawit itu dijalankan oleh perusahaan besar yang menggunakan tenaga kerja dari luar Papua,” ujarnya kepada Sasagupapua.com, Rabu (21/6/2023).
Selain itu, saat ini yang mengkonsumsi sagu lebih banyak adalah generasi tua. Di daerah perkotaan, masyarakat cenderung mengkonsumsi beras.
Sementara sagu lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat di daerah pedesaan yang yang masih memiliki hutan sagu.
“Ini wajar karena di kawasan perkotaan yang kita cek lebih banyak komunitas masyarakat non Papua, kemudian disisi lain banyak alih fungsi lahan, lalu tanaman sagu semakin berkurang, ketersediaan sagu semakin berkurang. Kemudian, jumlah orang yang mengkonsumsi sagu juga menurun sehingga di perkotaan lebih banyak orang Papua ikut masak beras. Kalau kita lihat juga yang konsumsi sagu adalah generasi tua, 40an tahun ke atas yang lebih banyak,” ujarnya.
Selain itu, sagu juga mengalami perubahan. Di kawasan perkotaan, masyarakat Papua juga mengembangkan sagu menjadi makanan lain seperti kue, roti, mie juga dikembangkan menjadi beras dari sagu.
Jika dibandingkan dengan jaman dulu, sagu hanya diolah menjadi papeda atau sagu bakar.
“Namun, sekarang pengolahan sagu menjadi aneka makanan. Terutama di daerah sentani lebih banyak pengolahan sagu, ini juga meningkatkan nilai tambah,” ungkapnya.
Budaya tokok sagu pun telah mulai tergerus zaman, dimana saat ini para petani sagu sudah banyak memilih menggunakan mesin pengolah sagu karena prosesnya yang hanya memakan waktu 4 jam.
Dulu, tradisi menokok sagu masih menggunakan alat tradisional dimana laki-laki bertugas menebang pohon sagu, sementara perempuan bertugas menokok sagu yang membutuhkan waktu selama dua minggu setelah diendapkan.
“Jadi dengan menggunakan mesin pengolahan sagu juga ada kemajuan,” ungkapnya.
Sehingga menurut Cahyo pengolahan sagu ada yang mengalami kemajuan ada pula mengalami kemunduran.
Peran Pemerintah dan Masyarakat Adat
Menurut Cahyo, Pemerintah Daerah (Pemda) harus memberikan kewenangan serta didorong untuk memproteksi tempat-tempat yang selama ini menjadi tempat tumbuhnya sagu. Mencegah alih fungsi lahan sagu menjadi perkebunan.
“Sagu harus tetap dipertahankan, karena semua lahan sagu berada di lingkungan masyarakat adat,” ujarnya.
Pemerintah juga harus mendukung pengembangan budidaya sagu, juga berkolaborasi dengan masyarakat adat Papua untuk budidaya sagu.
“Jadi lahannya harus dilindungi tidak dialih fungsikan tempat yang ada sagunya. Pemda juga harus bersama-sama berkolaborasi membudidayakan sagu mengingat sagu semakin berkurang sehingga perlu ditanam kembali,” katanya.
Lainnya, adalah pemerintah harus memiliki program bersama masyarakat adat untuk mengembangkan kelompok UMKM yang bergerak dalam bidang pengelolaan sagu menjadi aneka produk turunan.
Meskipun pemerintah mungkin sudah memberikan subsidi, namun, ia berharap pemerintah bisa memberikan mesin pengolahan sagu.
“Tapi mesinnya diperhitungkan, jadi satu kampung misalnya cukup satu mesin saja, tidak boleh terlalu banyak,” ucapnya.
Ia juga berharap agar tidak mendirikan pabrik sagu. Menurutnya pabrik sagu membawa malapetaka.
“Ini menjadi malapetaka, karena mudah pengolanannya kalau ada pabrik sagu maka sagu-sagu bisa cepat habis jadi tidak mendirikan pabrik sagu tapi mendorong dengan memberikan mesin pengolah sagu,” pungkasnya.
Penulis: Kristin Rejang