THEOGRACIA RUMANSARA, seorang sutradara berdarah Biak-Serui mampu membawa karya film berjudul Orpa hingga internasional.
Perjalanan perjuangan Theo untuk sampai pada kesuksesan mempunyai cerita yang tidak mudah.
Eksklusif kepada Sasagupapua.com, Theo mengungkapkan banyak cerita yang sangat menginspirasi.
Lahir di Biak 27 September 1989, saat ini, Theo menjadi seorang sutradara yang membanggakan masyarakat Papua, indonesia bahkan internasional.
Masa Sekolah
Lahir dari pasangan bapak Ir. Augustinus Rumansara, MA dan Grace Augustine Papare, SE, sejak kecil Theo sering berpindah-pindah tempat tinggal bahkan menghabiskan waktu di luar negeri Belanda, Filipina, dan Australia karena ayahnya merupakan seorang seorang Diplomat.
Theo pernah bersekolah di SD Gembala Baik, Jayapura, SMP di Jakarta, sementara SMA ia habiskan di Filipina.
Perjalanan Theo untuk mendapatkan gelar di perguruan tinggi juga mempunyai banyak tantangan.
Theo pernah mendapatkan kesempatan beasiswa kuliah Kedokteran di Filipina. Namun tidak diselesaikan.
“Bukan karena tidak mau tapi menurut saya bukan passion saya. Akhirnya saya pindah kuliah di Australia saat itu agak sulit dengan keuangan disana dan saya harap saya bisa dapat beasiswa dari pemerintah disini (Papua) cuman saya lulusan luar negeri, saya punya ijazah bukan Papua jadi meskipun putra asli Papua, saya tidak bisa dapat beasiswa dari pemerintah Papua,” kata Theo.
Theo tak bisa melanjutkan kuliahnya di Australia sehingga ia harus kembali ke Papua dan melanjutkan kuliah di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) mengambil program studi Hubungan Internasional (HI).
Menulis menjadi cara Theo Mengungkapkan Perasaan
Theo memiliki sifat yang Introvert (tertutup) sejak kecil, dan menulis menjadi cara untuk ia mengungkapkan perasaan.
“Macam sering menulis. Tapi sa tidak tau apakah tulisan ini bagus ka jelek kah, yang penting saya tulis saja, sampai waktu sekolah di Jakarta disuruh tulis pengalaman liburan, saya tulis tapi orang bilang tulisan saya bagus. Ternyata memang sebenarnya dari situ saya bisa melihat saya punya potensi yaitu menulis,” ujarnya.
Saat melanjutkan SMA di Filipina, Theo mulai mendalami bagaimana menulis yang lebih baik seperti menulis puisi dan cerita pendek akhirnya bakat tersebut bisa berkembang.
Saat di bangku perkuliahan, Theo dan teman-teman sempat mengikuti lomba film pendek yang diselenggarakan oleh salah satu organisasi. Namun karena terkendala dana, mereka tidak bisa melanjutkan karya filmnya lebih lanjut.
“Jadi banyak tantangan, karena membuat film itu tidak murah, membutuhkan dana, saya cari orang untuk bantu saya untuk harting tapi tidak dapat, Jadi tidak bisa lanjutkan,” ujarnya.
Sempat Terjun ke Dunia Rapper
Siapa sangka, Theo dengan sifat yang pendiam sempat terjun ke dunia Rapper. Sekitar tahun 2012 saat Rapper mulai ramai di Jayapura, dengan ajakan teman akhirnya mereka membuat karya.
Theo merupakan salah satu pionir di scene hip hop Jayapura dan merupakan salah satu pendiri grup rap lokal yakni Waena Finest dengan beberapa karya, salah satunya suara hati dengan 1 juta views. Theo sangat lihai dalam membawakan seni rapper tidak hanya dalam bahasa Indonesia namun tak kalah bagus dengan musisi rapper luar negeri saat membawakan rap berbahasa inggris.
“Karena waktu itu buat film terlalu susah saya coba pindah ke musik dulu, mungkin lewat musik saya bisa bercerita juga. Kemudian buat lagu juga tanpa harus membutuhkan banyak uang,” katanya.
Karena sudah mulai berkeluarga sekitar tahun 2017, Theo memutuskan untuk berhenti dari dunia Rapper dan mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga.
“Saya mulai tidak fokus rap dan mulai masuk ke dunia kerja saja,” ungkapnya.
Jadi Peserta Sayembara ‘Jendela Papua’
Seiring berjalannnya waktu, Theo saat masih didunia kerja, tahun 2022 ada satu sayembara bertajuk ‘Jendela Papua’. Sayembara tersebut dibuat untuk mencari anak asli Papua yang bisa membuat film tentang Papua, mulai dari penulis, sutradara hingga pemainnya diwajibkan orang asli Papua.
Karena mendengar informasi tentang sayembara tersebut, Theo memutuskan untuk ikut.
“Sa baca persyaratannya cuman dibilang menulis ide cerita saja, tidak terlalu susah. Kalau memang dapat yah bagus tapi kalau tidak yah sudah. Jadi sudah saya buat cerita tentang Orpa,” kata Theo.
Theo akhirnya ikut dalam sayembara tersebut, dari 200an peserta akhirnya ia masuk dalam empat besar dan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sejumlah pelatihan.
Singkat cerita, dari empat orang, akhirnya naskah Orpa karya Theo dipilih untuk dibuat Film panjang hingga berhasil di produksi.
Orpa Jadi Karya Film Pertama Theo
Film Orpa karya Theo Rumansara mengungkapkan isu diskriminasi terhadap perempuan seperti larangan mendapatkan pendidikan dan pernikahan usia muda yang masih terjadi di Papua.
“Orpa ini menceritakan sebuah cerita yang simpel tapi penuh makna, saya buat cerita yang simpel dan mudah diserap oleh banyak orang. Jadi orpa itu adalah nama perempuan yang identik dengan Orang Papua,” katanya.
Film yang sudah mulai tayang sejak tanggal 7 November 2023 di seluruh bioskop yang ada di Indonesia ini mendapatkan antusias yang luar biasa. Pasalnya sebanyak 4.798 penonton telah menyaksikan film Orpa di hari pertama pemutaran, hari kedua tanggal 8 November 2023, film orpa tembus 7.918 penonton.
Theo menyelesaikan proses penulisan film Orpa sekitar tiga bulan kemudian ia mengubahnya menjadi film panjang sesuai permintaan dengan totak waktu kurang lebih tujuh bulan.
Untuk proses syuting dilaksanakan 11 hari, pra produksi selama dua bulan dan pasca produksi menghabiskan waktu enam bulan.
Jayapura menjadi lokasi syuting film Orpa namun dikemas dengan suasana kota Wamena.
“Harusnya di Wamena, namun karena banyak alat yang harus dibawa dari Jakarta, membutuhkan budget yang besar sehingga kita shoting di Jayapura dengan lokasi yang representasikan Wamena. Jadi ada di angkasa, di Buper, di doyo baru, dan beberapa tempat lainnya,” jelas Theo.
Film ini dibintangi oleh anak-anak Papua, yaitu Orsila Murib, Arnold Kobogau, Otiana Murib juga dilengkapi dengan pemeran seorang aktor yakni Michael Kho dari Jakarta.
Saat menentukan pemeran film, pihaknya tidak membuka casting secara terbuka. Ia berusaha mengambil pemeran yang berbakat dari Papua meskipun para pemeran asli Papua bukan dari kalangan aktor.
Suami dari Jesenia Kurniawati Maniagasi ini, bertemu dengan Orsila Murib sebagai Orpa juga hanya kebetulan.
“Jadi saat itu istri saya menjadi pembicara di salah satu acara khusus untuk perempuan Papua, bertepatan dengan hari noken, lalu karena tidak memiliki noken, istri saya pinjam ke temannya, tapi karena temannya sedang sibuk, ia meminta tolong adiknya untuk mengantarkan noken teraebut ke istri saya, ternyata yang antar noken itu Orsila, pas kami lihat ternyata ini (Orsila) kelihatan cocok jadi pemeran Orpa,” ujarnya.
Sejak awal 2022, Film Orpa sudah jadi dan siap untuk ditayangkan, semua tim sepakat untuk memasukan film tersebut ke Festival dulu.
“Tapi memang waktu itu perjuangan dan pergumulan cukup lama, mungkin karena saya sutradara pendatang baru, jadi tidak ada yang lirik begitu pas awal-awal, ada juga penolakan,” kata Theo.
Namun dengan perjuangan yang panjang akhirnya mereka mendapatkan kabar gembira dimana pada Jogja-Netpac Asian Film Festival 2022, pemeran Orpa yakni Orsila Murib memenangkan penghargaan Best Performance dalam ajang Indonesian Screen Awards.
“Dari situ mulai berubah langsung kita akhirnya menang di beberapa festival hingga bisa tayang di bioskop, puji Tuhan,” kata theo.
Film Orpa telah mengikuti berbagai festival baik didalam negeri hingga internasional yakni Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022, CinemAsia Amsterdam 2023, Balinale International Film Festival 2023, Zabaikalsky International Film Festival 2023, Teens International Film festival World of Wonders Kaliningrad 2023, Middlebury New Filmmakers Festival 2023, FICDEH International Festival For Human Rights Colombia 2023.
Film Orpa mendapat penghargaan dalam Festival Bali International Film Festival (Balinale), kini tembus 30 besar Festival Film Indonesia untuk Piala Citra.
Ia bersyukur karena film Orpa banyak diterima oleh para penonton terlihat dari ramainya penonton di bioskop yang ada di Indonesia.
Ia berharap melalui film Orpa, semua pihak bisa menyadari pentingnya pendidikan bukan bukan hanya sekedar baca, tulis tapi bisa lebih dari itu.
Sebagai seniman, Theo tentu akan terus mengembangkan karyanya. Saat ini, ia sementara membuat film kedua.
“Ini saya mau ikutkan ke luar negeri. Saya sudah kasih masuk cerita sudah diterima juga salah satu kemarin di Meksiko. Lumayan semoga satu dua tahun sudah bisa diproduksi,” ujarnya.
Ayah dari Hannah Gabriella Salomine Rumansara dan Kendrick Samaritan Rumansara ini memberikan beberapa pesan-pesan untuk generasi Papua untuk bisa mengembangkan karya melalui bakat.
“Misalnya kamu punya passion atau sesuatu yang kamu suka kamu bisa buat sesuatu, maka kejar saja jangan takut. Mungkin berat perjalanannya, naik turun tapi semakin kita gagal, keberhasilan semakin besar. Semakin besar saya gagal berarti saya semakin dekat dengan kesuksesan,” pungkasnya.
Penulis: Kristin Rejang