Oleh: Edwin Rumanasen
“Kami mau minta bapak DPRD lihat kami, biarkan pinang, sagu itu kami yang jual,”
Begitu ungkapan Mama Yohana Anggaibak. Yohana rela tidak berjualan Senin (5/8/2024) untuk mengikuti aksi di halaman Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Mama Yohana menggunakan baju merah menggendong noken ditemani anaknya yang sedang menggendong bayi, mereka bersuara lantang untuk hak pedagang pangan lokal Papua.
Yohana adalah pedagang pinang. Sehari-hari ia berjualan di dekat kantor DPRD Kabupaten Mimika.
Setiap hari Yohana berjualan pinang dari pagi hingga malam hari hanya untuk menghidupi anak-anaknya yang masih bersekolah.
Ibu 10 orang anak ini, memiliki kerinduan untuk mengungkapkan harapan didepan pemerintahan.
“Saya tidak jualan hari ini supaya bisa ikut bicara disini. Selama ini saya sudah minta bantuan proposal untuk minta babi tidak bisa, minta untuk pondok pinang juga tidak bisa,”.
Ia datang bertemu para wakil rakyat untuk memperjuangkan hak pangan lokal agar tidak dijual oleh Orang Non Asli Papua.
“Kami mau minta bapak DPRD lihat kami, biarkan pinang, sagu itu kami yang jual, kami juga jual pikul anak baru jalan,” ungkapnya.
Sehari kalau ramai, Yohana bisa membawa pulang Rp50 ribu.
“Tidak laku biasa sampai pinang kuning-kuning,” ujarnya.
Suara Mama-mama Penjaga Pangan Lokal Persaingan Hingga Transportasi yang Sulit
Lahir dari seorang mama yang berprofesi sebagai penjual sayuran, Damaris Onawame ikut bersuara untuk pangan lokal di Mimika.
Damaris mengaku mendengar ada aksi yang dilakukan hari ini, membuat ia tergerak datang dan ikut bergabung.
“Saya tidak berjualan tapi saya punya kepedulian, Saya ini anak yang terlahir dari seorang pedagang. Saya sayang mama-mama saya. Harus saya bantu bersuara, saya akan siap dukung mama-mama saya,” ungkapnya.
Ia berharap agar masyarakat non OAP agar bisa memilih berjualan barang-barang yang bukan merupakan pangan lokal dari masyarakat Papua.
“Saya minta saudara saudari non papua jual yang lain sementara hasil bumi itu dikasih khusus kepada mama-mama, tolong biarkan kami yang jual,” pungkasnya.
Dengan gerakan dari perwakilan mahasiswa, Yulce Bleskadit mengatakan aksi ini menjadi kerinduan para pedagang asli Papua.
“Saya bersyukur mahasiswa bisa datang bawa mama-mama akhirnya hari ini kami bisa ada disini untuk menyuarakan apa yang memang menjadi kerinduan, siapa yang bisa bawa kami keluar untuk bicara hak-hak kami hasil pangan lokal,” ungkapnya.
Selain tuntutan perda, seperti yang dialami Yulice Beanal. Setiap hari Yulce pergi ke kebun, lalu melanjutkan berjualan hasil bumi seperti keladi dan petatas juga sayuran, berjuang setiap hari membawa hasil kebun ke eks Pasar Swadaya untuk dijual.
Sayangnya, harga ojek dari Kwamki Narama ke Eks Pasar Swadaya terbilang mahal.
“Tiap hari jualan naik ojek, dari Kwamki Narama 30 ribu pulang balik. Kalau sayur tidak laku baru buang-buang saja karena tidak bisa makan lagi (sudah busuk-red),” ujarnya.
Mahasiswa Gandeng Mama-mama Bersuara Lewat Aksi di DPRD Mimika
Mama-mama Asli Papua yang merupakan pedagang pangan lokal bersama dengan mahasiswa Universitas Timika yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Timika (AMTI) bersuara untuk menyelamatkan pangan lokal.
Mereka menggelar aksi di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika, Senin (5/8/2024).
Pedagang asli Agimuga, Mama Naomi Tsolme adalah seorang janda yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan berjualan.
“Saya punya hidup ini kasih makan anak-anak dari pinang ini sudah, kasih sekolah anak-anak juga dari hasil jualan pinang ini, jadi kalau saya bicara ini saya menangis,” ungkapnya.
Dengan tegas ia menginginkan agar hak orang Papua harus diperjuangkan.
“Saya bilang ini saya punya hak, jangan datang ambil saya punya hak, Saya sudah sangat lama jualan pinang dari anak-anak sekolah, jadi sekarang ini kita lihat Non OAP semakin hari semakin banyak yang jualan pinang,” ujarnya.
Ia berharap nantinya pemerintah bisa mendengar harapan dari mama-mama Papua.
Koordinator Aksi, Yoki Sondegau yang juga merupakan mahasiswa Universitas Timika (UTI), mengatakan sebagian mahasiswa Timika juga adalah anak-anak dari mama-mama pedagang.
Yoki mengatakan, mahasiswa UTI melihat adanya monopoli yang terjadi.
“Atau perampasan hak jual orang Papua makin hari makin terlihat, sehingga kami punya mama-mama ini mau jual atau berdagang begitu kasihan,” katanya.
Karena hal ini, menurutnya sebagai mahasiswa, mereka juga memiliki tanggung jawab besar.
“Jadi kalau kita kasih biar juga kasihan kami punya mama-mama ini mau makan apa. Bukan cuma mama-mama saja tapi kami anak sekolah juga kasihan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan sebelum melakukan aksi, selama tiga bulan mereka melakukan sosialisasi dan memutuskan untuk melakukan aksi di Kantor DPRD.
“Kami tahu dan sadar bahwa peraturan daerah ini sudah ada dan bertepatan dengan Pergub itu di tahun 2020, cuma di setiap Kabupaten atau kota itu belum diterapkan, jadi saya dan teman-teman berusaha ke kantor DPRD untuk mengingatkan ke DPRD supaya mereka buat perda untuk melindungi pangan-pangan lokal yang ada di Kabupaten Mimika,” ungkapnya.
Mereka berkomitmen jika tidak ada respon dari pemerintah maka aksi yang lebih besar akan dilakukan.
“Yang berikut kami punya target bukan hanya sampai disini tapi kedepan kami akan siap kawal supaya kami punya mama-mama Papua ini bisa mandiri,” pungkasnya.
Isi Tuntutan Mama-mama Papua
Berikut isi tuntutan Mama-mama Papua dan mahasiswa:
Sejarah perampasan hak jual makin tinggi dari tahun ke tahun hingga tahun 2018 mama-mama pasar papua sempat melakukan aksi untuk mengadakan perda agar melindungi ekonomi local Papua, namun hal itu tidak direspon positif oleh pemerintah daerah sehingga perampasan hak jual itu pun makin lama makin tinggi.
Dengan tidak adanya perda (peraturan daerah) yang mengatur surat izin usaha SIU sehingga para investor makin berkuasa atas hak OAP. Dengan menjual hak OAP yang sebenarnya bukan milik mereka (investor).
dengan adanya landasan berupa pengalaman pada tahun 2018, maka dengan itu perlu adanya perda (peraturan daerah) yang mengtur dan melindungi hak jual terutama ekonomi local yang mana sudah dirampas oleh pedagang non-Papua. Diantaranya
ada beberapa ekonomi lokal yang sudah diperjualbelikan oleh para pedagang non-Papua yakni:
1. Pinang
2. Sagu
3. Daun gatal
4. Sayur mayor asal Papua
5. Umbi-umbian asal Papua, serta dagangan yang ditanam diatas tanah Papua.
Maka dengan itu kami rakyat papua yang tergabung dalam aliansi Masyarakat Timika (AMT) menyatakan sikap bahwa:
- Pemerintah daerah segera merancang dan menetapkan peraturan daerah dalam hal melindungi Ekonomi lokal.
- Pemerintah daerah segera membangun pasar tradisional.
- Pemerintah daerah segera berikan transportasi umum di setiap pasar.
- Kami Aliansi Masyarakat Timika menolak dengan tegas adanya pengusaha yang menjualbelikan dagangan local di kabupaten Mimika.
- Pemerintah daerah segera bangun koperasi mama-mama pasar papua di kabupaten Mimika.
- Pemerintah daerah segera memberikan pelatihan-pelatihan khusus bagi mama-mama pasar Papua di kabupaten Mimika.
- Pemerintah daerah segera pertemukan kami dengan dinas-dinas terkait.
- Jika ke-7 poin diatas tidak direspon, maka kami siap memobilisasi massa lebih besar
Demikian pernyataan sikap ini dibuat dengan maksud untuk meningatkan kualitas ekonomi lokal Papua di Kabupaten Mimika.
Jawaban Ketua DPRD Kabupaten Mimika
Tuntutan Mama-mama dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Timika (AMTI) diterima oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika, Anton Bugaleng saat melakukan aksi.
Anton memberikan apresiasi kepada perwakilan mama-mama dan para mahasiswa yang memiliki kepedulian untuk bersuara bagi kesejahteraan para pedagang asli Papua.
“Aspirasi yang disampaikan tidak bisa jawab langsung mama-mama punya permintaan,” katanya.
Anton mengungkapkan, pihaknya menerima poin aspirasi yang disampaikan oleh mama-mama dan segera mengusulkan ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda).
“Sekarang aspirasinya saya terima. Saya sebentar terima aspirasi selesai saya serahkan ke Ketua Bapemperda di DPRD,” ungkapnya.
Ia juga berjanji akan terus mengkawal aspirasi tersebut.
“Saya besok tidak lagi jadi DPRD, jadi kita akan kawal sama-sama,” pungkasnya.
Ia juga menyinggung mama-mama yang sudah mendapatkan tempat jualan seperti lapak-lapak di pasar agar terus pertahankan lapaknya.
“Semua kunci juga ada di mama-mama. Tidak boleh jual sembarang. Tempat kamu punya itu pegang betul-betul dan jualan disitu,” terangnya.
Ia juga berharap agar mama-mama Papua khususnya orang asli Amungme dan Kamoro harus terus berada didepan dan bersuara.
Pandangan
Tahun 2020, Gubernur Papua saat itu dijabat mendiang Lukas Enembe membuat sebuah Peraturan Daerah (Lihat Perda disini) nomor 6 tahun 2020 soal Perlindungan dan Pengembangan Pangan Lokal.
Didalam perda tersebut poin-poinnya lengkap mengatur tentang bagaimana mengembangkan hak ekonomi OAP.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas mengatakan masyarakat Asli Papua di beberapa tempat masih memelihara dan menjaga warisan pengetahuan lokal seperti tanaman obat-obatan.
Dulu pihaknya pernah melakukan riset sekitar tahun 2021 di Biak Supiori dan Biak Numfor.
Disana meskipun mereka sudah berinteraksi dan mempraktekkan sistim kesehatan moderen dengan adanya Puskesmas, rumah sakit, akan tetapi masyarakat adat masih menggunakan daun tradisonal.
Perempuan Papua yang berusia dewasa keatas yang identik dengan menjaga warisan pengetahuan lokal.
“Mereka sangat menjaga sekali yang berhubungan dengan tradisional,” katanya
Cahyo, yang merupakan salah seorang penulis buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future ini mengatakan sistem pengetahuan lokal makin lama makin ditinggalkan ketika semakin meluas pelayanan kesehatan dan meningkatnya pendidikan.
Selain itu, akibat banyak pohon yang ditebang untuk perluasan pembangunan dan akibat aktivitas kelapa sawit.
Contoh penegasan diatas kata Cahyo berkaitan dengan hak dagang pangan lokal OAP, yangmana pemerintah masih menganggap sesuatu yang berhubungan dengan adat itu tidak modern, tidak bermanfaat dan tidak ada anggarannya.
“Sehingga lebih memilih menjalankan kebijakan dari pusat,” ujarnya.
Dikatakan membuat Perda adalah solusi yang baik dibanding hanya membuat sebuah himbauan. Bahkan untuk keberpihakan orang Papua sebagai implementasi Undang-undang Otsus, kata Cahyo adalah hal yang dianjurkan.
Cahyo menerangkan, dasarnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua dan PP Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Pemerintah bisa membuat rancangan Perdasi/Perdasus yang merupakan turunan dari Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
“Itu Pemda bisa membuat perda untuk melaksanakan ketentuan ketentuan dalam Otsus. Semua ada dasarnya,” katanya.
Meskipun sudah ada Otsus, bahkan peraturan Gubernur Papua (2020), dan masyarakat Papua adalah masyarakat adat namun menurut Cahyo tidak semua pejabat pemerintahan peduli terhadap perlindungan masyarakat adat.
“Yang mereka (oknum) peduli adalah menjalankan rutinitas berbagai projects untuk mendapatkan keuntungan dari dirinya. Jadi mereka lebih sibuk urusi politik dan anggaran,” terangnya.
Bahkan, kata Cahyo didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang dibuat oleh Bappenas juga terdapat poin-poin pembangunan berbasis kebudayaan namun yang lebih diutamakan pembangunan berbasis wilayah adat.
“Itu lebih ke membagi bagi ini daerah perikanan, daerah kopi, dan lainnya. Tapi dalam RPJMN tidak ada kata kata menghidupkan sistim pendidikan adat maupun perdagangan tradisional,” katanya.
Hal ini karena pemerintah pusat selalu mengukur kemajuan Indonesia dilihat dari orang Jakarta
“Pejabat memiliki cara pandang dari atas sampai dibawah itu sama jadi sistem yang dibangun orang Jakarta. Sehingga bupati maupun walikota tidak memiliki visi atau mereka lebih banyak bergantung kepada Jakarta,” ungkapnya.
Padahal menurutnya hal sederhana untuk menjaga ekonomi adalah melindungi mama-mama Papua berjualan.
Selain itu, pendidikan soal perdagangan, pola perdagangan untuk mama-mama Papua juga perlu dibantu dengan pemahaman cara berjualan.
“Saya ke Wamena, saya beli pinang di orang pendatang, mungkin hampir seluruh Papua banyak non OAP yang berjualan pinang,” katanya.
Sehingga ia berharap pemerintah bisa membuat pola pendampingan cara berdagang. Juga wadah yang menjawab kebutuhan pedagang OAP.
Ia juga berharap agar Non OAP juga bisa disadarkan agar ikut membantu masyarakat asli Papua dalam menjaga pangan lokal dengan memberikan ruang untuk OAP menonjol.
Sehingga ia berharap adanya Perda namun juga implementasi dalam pelaksanaan perda juga perlu dilakukan dengan maksimal.
“Perda membantu masyarakat punya pangan lokal bisa terus terjaga,” pungkasnya.