Budaya · 19 Sep 2024 22:34 WIT

PUSAKA Minta Hentikan Proyek Cipta Karya Sejuta Hektar Sawah Baru di Merauke: Proyek Ini Melanggar Hak Hidup


Foto: PUSAKA Perbesar

Foto: PUSAKA

SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) menyoroti proyek cipta karya sejuta hektar sawah baru di Merauke, Papua Selatan.

Dalam rilis resmi yang dikeluarkan Pusaka menyebut pada tanggal 12 Juli 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya, menerbitkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 835 Tahun 2024 tentang Persetujuan Pemanfaatan Kawasan Hutan Bagi Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Ketahanan Pangan Dalam Rangka Pertahanan dan Keamanan Atas Nama Kementerian Pertahanan Republik Indonesia Seluas 13.540 hektare pada Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang selanjutnya disebut SK KLHK 835.

Proyek Pembangunan Sarana dan Prasarana Ketahanan Pangan merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yaitu Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke untuk mewujudkan 1 (satu) juta hektare sawah.

Proses pembangunan lahan seluas satu juta hektar ini diawali dengan pembangunan dermaga dan jalan usaha tani untuk mendatangkan dan mendistribusikan alat dan logistik pertanian, sebagaimana disampaikan Panglima Satgas Ketahanan Pangan Mabes TNI, Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani S.Sos., M.Han., dalam Program Podcast RRI Merauke Edisi ke-9 , pada 26 Agustus 2024.

“Di kiri kanan jalan terdapat parit-parit besar, yaitu parit primer untuk membantu pengairan persawahan di kanan kiri jalan,” kata Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani S.Sos saat itu.

Foto: PUSAKA

PUSAKA telah melakukan analisis tumpang tindih terhadap peta-peta yang dilampirkan dalam SK KLHK 835, peta kawasan hutan, peta administrasi, dan peta tempat-tempat penting masyarakat adat di Merauke (WWF, 2006), serta laporan warga.

Hasilnya menunjukkan bahwa lokasi pembangunan yang dimaksud berada dalam kawasan hutan adat dan terdapat tempat-tempat penting yang mempunyai nilai konservasi tinggi, seperti tempat-tempat suci dan jalan leluhur, dusun pangan, daerah perburuan, dan daerah konservasi adat, yang berada di Distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel, dan Muting, Kabupaten Merauke.

Perwakilan marga pemilik tanah di Distrik Ilwayab, marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik, menginformasikan bahwa tanah, dusun, dan hutan adat yang menjadi sumber penghidupan mereka telah dibabat oleh perusahaan dan dijaga oleh anggota TNI bersenjata, yang dilakukan tanpa musyawarah dan mufakat dengan masyarakat adat setempat.

“Proyek ini melanggar hak hidup, hak masyarakat adat, dan merusak lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, serta asas FPIC (Free Prior Informed Consent). Padahal sebelum proyek dimulai, masyarakat terlebih dahulu diberikan dan diterima informasi tentang proyek pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah adatnya, dan diberikan kebebasan untuk menyelenggarakan konsultasi untuk mengambil keputusan menerima atau menolak proyek. Hal ini tidak dilaksanakan oleh pemerintah, pengembang proyek, dan perusahaan,” kata Franky Samperante, Direktur PUSAKA.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan, pada Pasal 379 disebutkan bahwa persyaratan Permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan berupa (a) persyaratan administratif, berupa Surat Pernyataan Komitmen, Pakta Integritas, Profil Badan Usaha atau Badan Hukum; dan (b) persyaratan teknis.

Persyaratan Komitmen dimaksud antara lain: melengkapi tata batas areal dalam Persetujuan Pemanfaatan Kawasan Hutan, dan menyampaikan dokumen lingkungan hidup dan Persetujuan Lingkungan Hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKLUPL (lihat Pasal 380 huruf f, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2021).

“Kami menduga proyek PSN Merauke untuk menciptakan satu juta hektare sawah baru dan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan belum memiliki dokumen lingkungan dan izin lingkungan. Masyarakat yang terdampak langsung dan lembaga lingkungan hidup tidak dilibatkan sejak awal dalam pembahasan kerangka acuan dan kajian AMDAL, serta belum mendapatkan informasi mengenai dokumen lingkungan,” jelas Franky Samperante.

Partisipasi yang bermakna dari masyarakat sangat diperlukan dan sejalan dengan prinsip negara demokrasi, oleh karena itu gagasan pembentukan dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan serta keputusan negara mengenai program pembangunan, tidak harus selalu ditentukan dan timbul dari pemegang kekuasaan semata, melainkan juga melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Para pihak yang bertanggung jawab atas proyek sawah baru sejuta hektare, yaitu Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, serta perusahaan Jhonlin Group, harus menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta kelestarian lingkungan. Pengabaian hak-hak masyarakat adat dan lingkungan akan menimbulkan dan memperparah masalah sosial, ekonomi, dan ekologi.

SK KLHK 835 menunjukkan lokasi pembangunan dimaksud terindikasi berada dalam kawasan PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha) di Hutan Alam dan Lahan Gambut seluas 858 hektare.

Proyek PSN Merauke untuk menciptakan satu juta hektare sawah baru akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan alam dan lahan gambut secara besar-besaran, sehingga berpotensi memperparah krisis lingkungan. Hal ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

“Kami mendesak Presiden dan Kementerian terkait Proyek PSN Merauke untuk pembuatan sawah baru, untuk segera mengevaluasi dan menghentikan proyek pembuatan sawah baru sejuta hektare di Merauke dan kegiatan pembangunan pendukungnya. Perlu dilakukan langkah-langkah efektif, konsultasi dan musyawarah dengan masyarakat adat setempat untuk pembangunan pangan dan energi yang inklusif, adil dan damai, dengan mengutamakan kepentingan dan keberlanjutan masyarakat adat setempat serta keberlanjutan lingkungan hidup, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, no one is left behind,” desak Franky Samperante

Proyek Pengembangan Pangan dan Energi Strategis Nasional di Merauke Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia dan Memperparah Krisis Ekologi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan penanaman tebu perdana di lokasi PT Global Papua Abadi, perusahaan perkebunan gula di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, pada 23 Juli 2024. Presiden Jokowi menyampaikan, kegiatan ini merupakan langkah strategis dalam merespons krisis pangan global yang dipicu perubahan iklim ekstrem.

Sebelumnya pada November 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan penambahan daftar Proyek Strategis Nasional di Papua, yaitu Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ( Permenko ) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden ( Keppres ) Nomor 15 Tahun 2024 tanggal 19 April 2024 tentang Satuan Tugas ( Satgas ) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, di mana Bahlil dilantik sebagai Ketua Satgas.

Kebijakan dan dukungan negara terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Pangan dan Energi dibingkai sebagai solusi di tengah krisis. Ini bukanlah wacana, solusi, dan kebijakan negara pertama di Papua, sebelumnya telah ada Kawasan Pangan dan Energi Terpadu Merauke (MIFEE), Kawasan Sentral Produksi Pangan (KSPPP), Papua Food Estate, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke.

Akan tetapi, alih-alih kesejahteraan bersama, justru banyak masalah baru yang muncul. Mulai dari alih fungsi lahan secara besar-besaran hingga jutaan hektare melalui praktik-praktik curang. Akibatnya, masyarakat adat terpinggirkan dan kehilangan kendali atas tanah dan hutan yang menjadi sumber kehidupan, mereka menghadapi kesulitan dalam mengakses sumber pangan dan sumber penghidupan, rusaknya sistem sosial budaya, eksploitasi buruh dan upah yang tidak layak, kekerasan, ketidakpatuhan negara dan korporasi dalam memenuhi janji kesejahteraan dan pembagian keuntungan yang layak, penggundulan hutan, kekurangan gizi, rusaknya ekosistem tempat tinggal flora dan fauna, bahkan pencemaran air.

“Kami telah mendokumentasikan praktik perampasan tanah dalam program MIFEE dengan cara memberikan izin usaha kepada korporasi tanpa sepengetahuan dan persetujuan bebas dari masyarakat adat pada umumnya. Terjadi penumpukan kekayaan, pemusatan penguasaan dan kepemilikan tanah dan hutan pada segelintir badan usaha dan grup perusahaan. Terdapat 38 perusahaan dengan berbagai jenis usaha dan komoditas seperti kelapa sawit, tebu, jagung, hutan tanaman industri, yang menguasai lahan dalam skala besar hingga mencapai 1.588.651 hektare,” kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Sejak tahun 2010, pengalaman yang tidak mengenakkan, rasa sakit dan penderitaan akibat program MIFEE tidak kunjung berakhir dan terus menumpuk. Seperti yang dituturkan Teddy Wakum, Ketua LBH Papua – Merauke Post.

“Sampai saat ini masyarakat adat yang terdampak masih mengeluhkan penyimpangan dan dampak program MIFEE. Suku Marind dan pekerja adat Papua di Mam, Muting dan Zanegi, masih menuntut keadilan dan pemulihan hak-hak korban kekerasan, janji perusahaan tentang kesejahteraan dan upah yang layak,” kata Teddy Wakum.

Sejak proyek ini diluncurkan dan kedatangan Presiden Jokowi, kami belum menemukan informasi dan dokumen tentang kajian sosial dan kajian lingkungan strategis, yang seharusnya sudah dilakukan sejak awal sebelum dimulainya proyek. Pemerintah juga belum memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan yang luas dari masyarakat adat dalam proses dan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional untuk pengembangan gula, bioetanol dan perluasan kawasan food estate, yang akan berdampak pada sistem kehidupan masyarakat adat dan ekosistem di wilayah adat.

Ketidakpedulian negara terhadap hak masyarakat adat dalam pengambilan keputusan merupakan pelanggaran terhadap asas Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dan peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Provinsi Papua, Pasal 43 tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.

Kita juga melihat adanya peningkatan peran aparat keamanan TNI dan Polri. Mulai dari proses sosialisasi, negosiasi pembebasan lahan, hingga pengamanan dan pengamanan peralatan operasional proyek. Keadaan ini membuat masyarakat yang bersangkutan merasa terkekang dan tidak bebas menyampaikan pendapat dan pikirannya.

“Kami telah mendengar keluhan dari masyarakat adat. Mereka merasa tertekan dan terdampak oleh proyek tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh masyarakat adat Marind, Yeinan, Kimahima dan Maklew , mereka merupakan masyarakat adat Papua yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke. Kami menilai bahwa proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, terkait hak masyarakat adat untuk hidup, hak atas tanah dan hutan adat, hak atas kebebasan berekspresi, hak untuk bebas menentukan pembangunan yang berlangsung di wilayah adat, hak atas pangan, hak atas kekayaan intelektual dan pengetahuan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” jelas Teddy Wakum.

Pemerintah selama ini memberikan rekomendasi dan izin usaha secara besar-besaran kepada segelintir pemilik modal, seolah-olah Papua adalah tanah tak berpenghuni. Pada tahun 2023 dan 2024, pemerintah telah menerbitkan Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Surat Rekomendasi kepada 9 (sembilan) perusahaan perkebunan tebu, untuk lahan seluas 469.147 hektare yang tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin dan Muting, Kabupaten Merauke. Selanjutnya, baru saja media memberitakan kehadiran pengusaha kaya raya, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, didampingi Wakil Menteri Pertahanan ( Wamenhan ) Letjen TNI (Purn.) Muhammad Herindra di pelabuhan Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, tengah membongkar alat berat ekskavator yang rencananya akan digunakan dalam program penciptaan sawah.

Sembilan perusahaan tersebut merupakan bagian dari Grup Global Papua Abadi (GPA) dan pemilik manfaatnya adalah keluarga Fangiono, pemilik First Resources dan Grup Ciliandry Anky Abadi, serta Martua Sitorus, pemilik Grup Wilmar. Grup GPA berencana melakukan investasi untuk pengembangan perkebunan tebu dan infrastruktur di lahan seluas 500.000 hektare serta pembangunan 5 (lima) pabrik pengolahan gula dan bioetanol, dengan total nilai sekitar Rp83 triliun.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah melakukan kajian cepat terhadap aspek pemanfaatan kawasan hutan dan lingkungan hidup dari perizinan dan pengembangan industri perkebunan tebu, pabrik gula, dan bioetanol, dan ditemukan bahwa izin yang diberikan paling banyak berada pada Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi sebesar 45 persen, Hutan Produksi Terbatas sebesar 30 persen, dan sisanya sebesar 25 persen merupakan Areal Penggunaan Lain.

“Wilayah perizinan perkebunan tebu milik GPA Group berada di kawasan hutan dan berada di wilayah moratorium perizinan atau Peta Indikatif Penundaan Perizinan Baru (PIPIB) lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektare, sehingga proyek ini menimbulkan risiko lingkungan, khususnya peningkatan emisi gas rumah kaca yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. “Selain itu, sebagian besar izin perusahaan berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektare, dan menimbulkan risiko sosial ekonomi dan budaya,” kata Franky Samperante.

Pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo untuk secara konsisten menjalankan amanat konstitusi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan secara serius melaksanakan komitmen perbaikan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan dan transparan, tidak merusak lingkungan hidup dan menyebabkan perubahan iklim. Oleh karena itu, Presiden harus menghentikan Proyek Strategis Nasional Pembangunan Pangan dan Energi di Merauke, dengan mempertimbangkan dan memperhitungkan dampak sosial budaya, sosial ekonomi, dan lingkungan hidup.

Mereka mendesak para korporasi, investor, dan lembaga keuangan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan secara bebas, dan tanpa memaksa masyarakat untuk menerima usulan dan usaha perusahaan untuk memanfaatkan dan mengembangkan tanah dan hutan adat di wilayah adat.

PUSAKA juga mendesak Pemerintah Daerah untuk mengambil langkah-langkah yang efektif dan sah untuk menghormati dan melindungi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat, hak untuk hidup, hak untuk kebebasan berbicara, hak atas tanah, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak untuk memperoleh informasi publik, termasuk mengenai perizinan, serta melibatkan masyarakat hukum adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan.

 

Sumber: pusaka.or.id

 

Berikan Komentar
Artikel ini telah dibaca 72 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Catatan Komnas HAM: 68 Warga Sipil di Tanah Papua Jadi Korban Kekerasan Sepanjang 2024

11 Desember 2024 - 07:09 WIT

Solidaritas Pelajar Papua Bersuara Dalam Peringatan Hari HAM Sedunia

10 Desember 2024 - 20:42 WIT

Ketidaksesuaian Data, Pleno Tingkat Kabupaten Rekapitulasi Hasil Distrik Kwamki Narama Ditunda

5 Desember 2024 - 23:19 WIT

Jennifer Tabuni: Pleno Tingkat Kabupaten Sementara Berjalan

3 Desember 2024 - 16:13 WIT

Jelang Pencoblosan, KPU Papua Tengah Gelar Pesta Rakyat

24 November 2024 - 12:26 WIT

Ribuan Massa Ikut Kampanye Akbar Paslon MP3, Maximus Janji BLK Terbesar di Asia Pasifik

23 November 2024 - 18:57 WIT

Trending di Politik