KASUS kriminalisasi terhadap Koordinator KontraS 2020-2023, Fatia Maulidiyanti dan Pendiri Lokataru, Haris Azhar telah sampai pada tahap pembacaan putusan akhir.
Fatia dan Haris divonis bebas. KontraS dalam rilisnya menyebutkan Kita Menang! Fatia Dan Haris Menang! Orang Asli Papua Menang! Putusan Bebas untuk Fatia dan Haris Merupakan Angin Segar serta Harapan Bagi Demokrasi
Sebelumnya, Jaksa telah membacakan tuntutannya yang pada intinya menyatakan tindakan Haris Azhar pada intinya dinyatakan telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo. UU ITE Pasal 55 ke (1) KUHP.
Adapun tuntutan yang diajukan Jaksa yakni menghukum 4 tahun dan denda 1 Juta Rupiah subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Jaksa juga meminta agar link youtube Haris Azhar dihapus dari jaringan internet.
Sementara itu, Fatia dinyatakan telah bersalah melanggar pasal yang sama dengan Haris. Tuntutan yang dimohonkan oleh JPU kepada Fatia yakni selama 3 tahun 6 bulan.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim menyatakan akan membacakan putusan kedua terdakwa secara bersamaan, putusan pun tidak dibacakan secara utuh, melainkan hanya beberapa bagian inti saja.
Dalam putusan yang dibacakan, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bisa dilepaskan dari putusan Mahkamah Konstitusi dan Surat Keputusan Bersama tiga lembaga yakni Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa kata ‘lord’ bukan masuk ke dalam unsur pencemaran baik.
Begitupun yang diucapkan oleh Fatia dalam video podcast, yakni kata ‘jadi penjahat juga kita’, menurut majelis perkataan tidak menuju kepada LBP sehingga juga tidak dapat diklasifikasikan kepada penghinaan.
Sementara untuk kalimat ‘bisa dibilang bermain tambang yang terjadi di Papua hari ini ‘yang diucapkan Fatia, hakim menilai bahwa hal tersebut terbukti dan tidak dapat diingkari, sebab PT TDM sebagai anak perusahaan PT Toba Sejahtera yang sahamnya dimiliki 99 persen oleg LBP, memiliki keterkaitan pada penjajakan bisnis di Papua.
Hakim menambahkan bahwa unsur-unsur pasal tidak terbukti menurut hukum, terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana diatur pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik atau dalam dakwaan pertama.
Lebih lanjut, hakim turut membacakan pasal dakwaan lainnya yakni Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 tentang pemberitahuan bohong.
Dalam pasal ini pun, pertimbangan hakim menyatakan bahwa PT Toba sebagai Beneficiary Owner (BO) terlihat dari korespondensi antara paulus prananto dengan PT MQ dan West Wits Mining untuk darewo project.
Sehingga, yang diucapkan oleh Fatia dan Haris yang mana didasari pada hasil riset koalisi masyarakat sipil bukan merupakan berita bohong.
Lebih lanjut, hakim pun menilai bahwa judul podcast ‘Ada Lord Luhut di Balik Operasi Militer di Papua” juga bukan merupakan pemberitaan bohong sehingga dakwaan primair kedua tidak terpenuhi.
Selain itu, perihal Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya berkaitan dengan keonaran, dalam dakwaan kedua subsidair, merujuk pada publikasi yang dilakukan australia stock exchange, terbukti bahwa telah ada penjajakan bisnis antara PT TDM dan West Wits Mining.
Adapun PT TDM sebagai anak dari PT toba sejahtera sehingga Luhut memperoleh manfaat karena mendapatkan laporan keuangan secara berkala. Dalam penjabaran ini, Pasal ini juga tidak terpenuhi.
Selain itu, perihal Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya berkaitan dengan keonaran, dalam dakwaan kedua subsidair, merujuk pada publikasi yang dilakukan australia stock exchange, terbukti bahwa telah ada penjajakan bisnis antara PT TDM dan West Wits Mining.
Adapun PT TDM sebagai anak dari PT toba sejahtera sehingga Luhut memperoleh manfaat karena mendapatkan laporan keuangan secara berkala. Dalam penjabaran ini, Pasal ini juga tidak terpenuhi.
Begitupun Pasal 311 KUHP sebagai dakwaan ketiga dalam perkara ini, majelis hakim dalam putusannya pun menjabarkan unsur-unsur yang ada.
Sama seperti pasal-pasal lainnya, hakim menyatakan bahwa yang dilakukan Fatia dan Haris bukanlah melanggar kehormatan dan nama baik, melainkan sebuah kenyataan sehingga delik pada unsur pasal ini tidak terpenuhi.
Dalam kesimpulannya, hakim membacakan bahwa seluruh unsur tidak terpenuhi baik dari dakwaan primair, dakwaan kedua primair, dakwaan kedua subsidair, hingga dakwaan ketiga.
Berdasarkan putusan ini, Muhammad Isnur dari Tim Advokasi untuk Demokrasi menuturkan, putusan ini memberikan pesan untuk harus dan terus mengkritik, berbicara dan menyampaikan pendapat.
“Apa yang disampaikan hakim adalah kebenaran, karena menyebut demokrasi dan kebebasan berekspresi. Putusan ini menyampaikan pesan bahwa jangan takut dan jangan berhenti,” ujarnya.
Ia mengatakan tujuan awal podcast adalah membantu masyarakat di Papua yang masih hidup dalam situasi kekerasan dan pelanggaran ham.
Tim Advokasi untuk Demokrasi, Arif Maulana mengatakan apa yang dibacakan oleh majelis hakim dalam putusannya mengakui bahwa riset dari koalisi masyarakat sipil adalah benar dan harus diakui sebagai sebuah fakta.
“Riset tersebut menyatakan bahwa terdapat conflict of interest dari LBP. Maka, ketika ingin hukum setara, polisi harus mengusut jejak bisnis pertambangn yang dilakukan oleh perusahaan Luhut,” ujarnya.
“Ada harapan bagi demokrasi, kami berharap Mahkamah Agung bisa konsisten jika ada upaya hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,” pungkasnya.
Amnesti internasional: Pembebasan Pembela Hak Asasi Manusia Berikan Harapan Baru Bagi HAM
Menanggapi pembebasan dua pembela hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dari tuduhan pencemaran nama baik yang diprakarsai oleh seorang menteri kabinet Indonesia, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan putusan tersebut membawa harapan baru.
Dikatakan, menyusul insiden intimidasi yang terjadi baru-baru ini terhadap orang-orang yang menggunakan hak kebebasan berekspresi mereka, pembebasan yang dilakukan hari ini memberikan pesan yang jelas kepada aparat penegak hukum di Indonesia.
“Kritikus tidak boleh dibungkam. Tidak seorang pun boleh dipenjara karena mengadakan diskusi di YouTube mengenai kepentingan pertambangan atau isu-isu lain yang kritis terhadap pihak berwenang,”katanya.
Pembebasan ini kata Usman, seharusnya memicu pembebasan lebih banyak aktivis, jurnalis, dan siapa pun yang ditahan semata-mata karena menentang atau mengkritik kebijakan pemerintah atau menyuarakan kekhawatiran mengenai konflik kepentingan di antara pejabat negara.
“Dalam konteks pemilihan presiden bulan depan, semua kandidat harus sepenuhnya menunjukkan komitmen mereka terhadap kebebasan berekspresi, dan secara terbuka mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam platform pemilu mereka,” ungkapnya.
Untuk lebih menjunjung tinggi hak asasi manusia, pihaknya menyerukan kepada pihak berwenang Indonesia untuk menghapuskan pencemaran nama baik dalam KUHP dan undang-undang terkait lainnya.
“Untuk memastikan bahwa pencemaran nama baik hanya diperlakukan sebagai masalah perdata sesuai dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional,” ungkapnya.
Latar belakang
Pada 8 Januari 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Timur membebaskan Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti dari tuntutan pidana pencemaran nama baik yang diprakarsai oleh anggota kabinet Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Tuduhan tersebut berasal dari video YouTube yang memuat keduanya berspekulasi tentang hubungan antara operasi militer pemerintah di Papua dan dugaan kepentingan pertambangan Pandjaitan di wilayah tersebut.
Menkeu mengajukan gugatan pencemaran nama baik terhadap Maulidyanti dan Azhar pada September 2021 setelah video tersebut muncul dalam diskusi pada 20 Agustus 2021 dengan judul “Lord Luhut di Balik Hubungan Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya”.
Dalam video tersebut, Azhar yang memimpin LSM hak asasi manusia Lokataru yang berbasis di Jakarta dan Maulidiyanti, yang saat itu menjabat sebagai koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), sebuah LSM yang fokus pada isu hak asasi manusia, menuduh menteri tersebut melakukan tindakan yang tidak pantas. keterlibatan dalam kegiatan pertambangan emas kontroversial di Provinsi Papua.
Pembahasan juga berkisar pada operasi militer di Papua yang terkesan melindungi kepentingan pertambangan di provinsi tersebut.
Pandjaitan membantah klaim tersebut. Pensiunan jenderal angkatan darat tersebut kemudian secara resmi menegur para aktivis tersebut, menuntut permintaan maaf publik dan menyatakan ketidakpuasannya karena disebut sebagai “Lord” dalam video tersebut.
Karena Maulidiyanti dan Azhar menolak meminta maaf, Pandjaitan mengajukan laporan polisi pada 22 September 2021 atas tindak pidana pencemaran nama baik terhadap kedua aktivis tersebut di Mapolres Metro Jaya.
Pandjaitan juga meminta kompensasi sebesar 100 miliar rupiah (sekitar USD 6,5 juta).
Sidang dimulai pada 3 April 2023, di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, para terdakwa didakwa melanggar ketentuan pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 55 ayat (1). ) KUHP.
Berdasarkan data Amnesty Indonesia, setidaknya terdapat 504 kasus penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak kebebasan berekspresi terhadap 535 orang selama 2019-2023.
Mereka yang dituduh berdasarkan undang-undang ini mencakup aktivis, pembela hak asasi manusia, jurnalis, akademisi, dan individu lainnya.
Penulis: (Red)