SELURUH manusia di dunia baru saja merayakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) dengan tujuan menegakkan dan mempertahankan serta memperjuangkan hak-hak yang selama ini dinilai tidak dijunjung tinggi oleh negara.
Sekjen Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP), Elias Hindom mengatakan masih banyak persoalan yang berasal dari berbagai aspek dan cenderung mengabaikan hak individu maupun kelompok. Negara mestinya wajib memenuhi HAM setiap warga negara, bukan kembali melakukan tindakan represif untuk meniadakan HAM terhadap warga negara.
Tepat pada 10 Desember 1948 yang ditetapkan sebagai hari HAM se-dunia dan di 10 Desember 2023 sudah mencapai usia yang ke-75 tahun dengan tema “Kebebasan, Kesetaraan dan Keadilan Bagi Semua.”
Menyimpulkan tema HAM tahun ini berdasarkan fakta negara dalam tindakannya terhadap rakyat khususnya di Papua justru tidak ada jaminan Kebebasan, Kesetaraan dan Keadilan Bagi Semua.
“Hal inilah yang kemudian dalam perayaan peringati hari HAM kami selalu menyuarakan bagaimana negara ini harus berlaku adil dan bukan hanya memihak pada kelompok tertentu, bahkan hampir seluruh persoalan di Papua ini banyak yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia,” ungkapnya.
Ia menyayangkan, peringatan hari HAM kerap dilakukan di beberapa daerah di Papua namun yang diterima oleh massa rakyat oleh aparat militer dengan tindakan represif bahkan tembakan gas air mata, pendropan pasukan pengamanan serta alat-alat pengamanan itu disiapkan seakan ada terjadi Peperangan skala besar ditengah kota.
“Asumsi saya bahwa pemerintah Indonesia memang tidak ingin memberikan HAM terhadap kami rakyat Papua, sebab semenjak 1961 hingga saat ini berbagai persoalan yang juga sudah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat tapi setiap pelakunya yang adalah militer Indonesia masih saja diberikan kebebasan,” ujarnya.
Sebaliknya kata dia, yang melakukan hak berpolitik justru dikenakan dengan pasal berlapis. Hal ini tentu belum ada penegakkan HAM di negara ini.
“Jadi jangan dengan alasan keamanan dan ketertiban lalu mengabaikan apa yang menjadi makna dari HAM itu sendiri. Pemerintah mestinya memberikan pemenuhan dan menghormati setiap hak individu ataupun kelompok dalam berbagai aspek,” ungkapnya.
Menurut catatannya, di Fakfak 112 personel gabungan dikerahkan untuk melakukan razia 13-14 Desember 2023 dengan alasan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, lalu mencegah setiap atribut Papua yang berbau politik.
Hal ini sebenarnya dinilai pihak kepolisian telah melanggar HAM karena apa yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu pun sesuai dengan prosedur atau undang-undang yang berlaku di negara ini.
“Jadi jangan semena-mena melakukan tindakan seperti itu bahkan ini dinilai represif terhadap warga masyarakat di Fakfak,” ujarnya.
HAM di Fakfak juga tentu kata dia ada yang belum terselesaikan, dapat dilihat kembali mengenai kasus penembakan terhadap 5 warga masyarakat sipil yang terjadi di distrik Kramongmongga pada Agustus beberapa bulan kemarin, dan juga korban penembakan yang juga terjadi pada Desember 2019 lalu.
“Pemerintah mesti menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut, bukan lagi dengan melakukan tindakan yang merepresif warga masyarakat Fakfak dengan alasan yang tidak masuk akal,” pungkasnya.
Penulis: Red