SASAGUPAPUA.COM, Papua Tengah – Dewan Adat Wilayah (DAW) Meepago menggelar diskusi publik dua hari yang intensif di Aula KSK Nabire, Papua Tengah, pada 8–9 Desember 2025. Dengan mengusung tema, “Tambang Rakyat – Berkat atau Petaka bagi Masyarakat Adat Papua dan Ekosistem Alam Lingkungan?” acara ini menjadi panggung bagi pandangan kritis seputar Raperdasi (Rancangan Peraturan Daerah Khusus) tentang pertambangan rakyat yang tengah digodok oleh Legislatif di Papua Tengah.
Diskusi ini mempertemukan berbagai pandangan dari pembuat kebijakan, aktivis lingkungan, akademisi, tokoh adat, dan tokoh agama, mencerminkan kompleksitas isu pertambangan rakyat di tanah Papua.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber antara lain Kepala Dinas ESDM Papua Tengah, James Boray, Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah, John Gobai, Direktur WALHI Papua Maikel Peuki, Pengacara Hukum, Yustinus Butu, Dosen STK Touye Paapa, Marius Goo, Dosen Antropologi Uncen, Andreas Goo, Dekan Dekenat Kamuu Mapia, Pastor Rufinus Madai, Pr, Tokoh Intelektual Paus, Yan Ukago, Tokoh Adat Papua, Weinan Watori, Ketua Pokja Adat MRP Papua Tengah, Yulius Wandagau, Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago Oktopianus Pekey.
Misteri di Balik Peraturan Daerah Khusus
Isu utama yang menjadi sorotan dan kritik tajam dari para peserta adalah kurangnya transparansi dan akses terhadap dokumen Raperdasi tentang pertambangan rakyat tersebut.
Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki, dengan tegas menyatakan kekecewaannya terhadap informasi yang minim di forum tersebut. Ia menyoroti bahwa tanpa dokumen yang jelas, diskusi tidak dapat berjalan efektif.
“Kami hadir di sini, ini sebenarnya kami mau melihat bahwa perdasus itu sebenarnya dia berdampak kerusakan lingkungannya itu sejauh mana. Tapi sayangnya sampai saat ini kami belum lihat perdasi itu. Dia punya apa isinya seperti apa, dia punya dampak penanggulangannya seperti apa, pembagian saham antara masyarakat atau pemilik hak itu seperti apa,” ujar Peuki.
Peuki mempertanyakan apakah inisiatif ini benar-benar dapat disebut sebagai “tambang rakyat” atau justru akan menjadi “petaka” baru.
Ia menekankan bahwa aktivitas penambangan, baik legal maupun ilegal, pasti akan membawa dampak kerusakan ekologis signifikan, termasuk deforestasi, pencemaran daerah aliran sungai (DAS), dan perubahan ekosistem.
Ia mendesak agar Raperdasi harus memuat dengan jelas analisis mengenai lingkungan (AMDAL) serta strategi adaptasi dan mitigasi kerusakan lingkungan.
“Kita perlu lihat bagaimana mitigasinya soal kerusakannya, itu kita belum temukan, dan kita belum dapat soal itu,” tambahnya, menyerukan agar masyarakat adat mendalami betul dampak kerusakan tambang rakyat.
Komitmen Politik dan Kewajiban Lingkungan
Menanggapi kekhawatiran publik, Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah, John Gobai, memberikan gambaran dari sisi legislatif.
Ia memastikan bahwa DPR Papua Tengah telah menyelesaikan pembahasan Raperdasi dan tengah memasuki tahap fasilitasi di Kementerian Dalam Negeri, dengan harapan dapat segera ditetapkan.
Gobai menekankan komitmen dewan untuk memastikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan kepada pemilik tanah.
“Kita berkomitmen untuk izin pertambangan rakyat itu diberikan kepada pemilik tanah. Jadi biar mereka yang punya tanah, sekaligus sebagai pemilik izin,” kata Gobai.
Ia mengakui realitas bahwa aktivitas tambang, berizin maupun tidak, sama-sama berpotensi merusak lingkungan. Oleh karena itu, Gobai menegaskan adanya kewajiban lingkungan bagi pemegang izin, termasuk Kewajiban menjaga lingkungan, Kewajiban melakukan reklamasi terhadap kawasan yang ditambang.
Gobai juga menyoroti pentingnya pengawasan masyarakat dan peran pemerintah daerah dalam memberikan edukasi tentang Good Mining Practice, seperti menghindari penggunaan merkuri dan teknik reklamasi yang baik.
Tujuan utama Perda ini, menurutnya, adalah memberikan landasan hukum agar orang Papua menjadi “tuan di negerinya sendiri” dan tidak hanya menjadi penonton di tengah eksploitasi sumber daya alam.
Senada dengan itu, Kepala Dinas ESDM Papua Tengah, James Boray, menjelaskan bahwa konsep “Pertambangan Rakyat” hanya berlaku jika sudah ada perizinan resmi, yakni Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan IPR.
“Kalau tidak ada Wilayah Pertambangan Rakyat, kalau kegiatan itu dilakukan tanpa izin pasti ilegal. Pertambangan tanpa izin,” jelas Boray.

Kepala Dinas ESDM Papua Tengah, James Boray saat diwawancarai awak media di Aula KSK, Senin (8/12/2025). Foto: Kristin Rejang/sasagupapua.com
Ia menegaskan prinsip bahwa pertambangan rakyat adalah untuk masyarakat setempat dan bahwa investasi besar tidak boleh masuk ke dalam WPR, sejalan dengan visi Gubernur agar masyarakat Papua menjadi tuan di negerinya.
Tanah Sebagai Ibu, Bukan Komoditas
Kritik paling mendasar datang dari perspektif adat dan budaya. Pemuda Adat dan Koordinator Grup Aksi Amnesty Papua, Pigai Wegobi, mempertanyakan waktu pelaksanaan diskusi yang dinilainya terlambat, seharusnya dilakukan sebelum draf Perda dibahas.
Wegobi mengkritik istilah “tambang rakyat” sebagai terminologi baru yang berpotensi mengubah paradigma masyarakat akar rumput, dari memandang tanah sebagai “ibu” atau “mama” menjadi sekadar “basis komoditi bagi kepentingan bisnis.”
Ia meminta agar potensi lain yang ada di atas lapisan emas, seperti kayu yang memiliki nilai ekonomi, spiritual, dan budaya (seperti bahan untuk noken yang merupakan Warisan Dunia), didahulukan.

Pemuda Adat dan Koordinator Grup Aksi Amnesty Papua, Pigai Wegobi. Foto: Kristin Rejang/sasagupapua.com
“Tambang itu bagi saya, itu nomor paling urutan bawah dari setelah habisnya potensi di atas. Jadi paling pertama harus lihat, dan diskusi itu saya berharap mereka harus bangun terminologi baru. Terminologi tentang tambang rakyat yang isinya bukan komoditi emas, tapi komoditi misalnya terbentuknya rajutan noken, ataupun bangunan-bangunan bahan rumah,” tegas Wegobi.
Wegobi juga mengingatkan bahwa tambang seringkali datang dengan “iming-iming banyak” berupa kesejahteraan, namun realitanya hanya memperkaya jaringan dan pihak yang punya kekuasaan. Ia menduga bahwa di balik istilah tambang rakyat, praktik di lapangan justru memfasilitasi masuknya perusahaan dan alat berat, seperti kasus yang terjadi di Kafi Raya.
Belajar dan Menetapkan Rekomendasi
Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Oktoavianus Pekey, selaku penyelenggara, menyampaikan bahwa diskusi ini bertujuan utama untuk membagi pengetahuan dan memberikan pemahaman kepada publik tentang apa itu pertambangan rakyat. Ia mengakui munculnya Perdasus telah menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat adat sebagai pemilik wilayah.
Pekey berharap diskusi ini dapat memastikan posisi masyarakat adat selaku pemilik wilayah tanah, sehingga ke depan dapat menekan dampak negatif dari pertambangan rakyat.
“Diskusi ini menjadi pembelajaran kepada publik, terutama dalam rangka memberikan pemahaman kepada publik. Karena apa yang kami bahas ini secara rasional, kami mendiskusikan soal itu tanpa mempersalahkan kepada pihak manapun,” tutup Pekey.
Sebagai tindak lanjut, DAW Meepago berencana menggelar diskusi fokus yang lebih mendalam, yang hasilnya akan dirangkum menjadi rekomendasi kepada Dinas terkait Provinsi Papua Tengah, DPR Provinsi Papua Tengah, MRP, dan yang terpenting, kepada masyarakat adat sendiri.


