PARA penari dan drama perang-perangan asli Amungme berhasil menampilkan cerita tentang kehidupan masyarakat Amungme di zaman dulu sebelum mengenal injil, di Lapangan Eks Pasar Swadaya Timika, Rabu (26/6/2024).
Para penari yang berjumlah sekitar 60 orang tersebut dengan lihai menggunakan alat peraga, memakai pakaian adat lengkap dengan koteka dan memegang panahan. Memainkan peran yang menarik banyak mata untuk menyaksikan atraksi mereka.
Dalam atraksi yang dipandu oleh Arinus Piligame selaku Narator, para penari mulai memerankan bagaimana zaman dahulu, seorang kepala suku yang tertarik dengan kulibia yang merupakan alat tukar masyarakat suku Amungme.
Karena tertarik dengan kulibia dua tingkat senilai 2 Miliar itu, ia lalu membuat kesepakatan dengan Kepala suku dari kampung tetangga yang memiliki kuli bia tersebut.
Mereka bersepakat menukarkan kulibia dengan babi 10 ekor dan beberapa kesepakatan lainnya.
Sayangnya setelah beberapa bulan berlalu, kepala suku yang sudah memberikan kulibia tak kunjung mendapatkan balasan hasil kesepakatan yakni babi dan lainnya.
Ia lalu pergi ke kampung tetangga dan bertanya terkait pernyataan yang belum dipenuhi. Namun tidak mendapatkan hasil, mereka tidak mau memenuhi persyaratan yang diberikan.
Karena itu, membuat marah Kepala Suku pemilik Kulibia tersebut. Ia lantas menyuruh anak-anaknya pergi dan menarik dan membawa anak kepala suku tetangga secara paksa.
Kepala Suku tetangga akhirnya marah karena anaknya telah disandera. Munculah niat agar anak-anaknya pergi ke kampung sebelah untuk menjemput kembali anak perempuan yang dibawa tersebut. Setibanya di pertengahan jalan, mereka lalu bermalam dan membuat api karena kondisi dataran tinggi yang dingin, biasanya mereka menyalakan api secara tradisional menggunakan rotan yang digesek ke kayu, yang disebut Agan.
Ketika sedang beristirahat, mereka melihat ada anak kepala suku (pemberi kulibia) yang sedang berkebun, mereka lalu membunuh anak tersebut. Usai membunuh anak kepala suku pemberi kulibia, mereka lalu kembali ke kampung mereka, tanpa bermalam.
Karena aksi tersebut akhirnya menimbulkan bara api, yangmana ketika satu nyawa melayang harus ada aksi balasan. Maksud untuk membalas dendam mulai muncul. Ketika mau berperang, suku Amungme jaman itu mereka akan memberikan informasi kepada lawan.
Mereka akhirnya berperang, orang Amungme berperang secara terbuka di lapangan. Ketika berperang, akhirnya satu orang dari penerima Kulibia menjadi korban.
Hingga akhirnya datanglah misionaris atau guru injil yang berusaha untuk menyelesaikan konflik antara suku tersebut. Mereka datang memberikan nasihat firman Tuhan agar peperangan dihentikan.
Masyarakat akhirnya mulai sadar, lalu mengumpulkan panah dan busur, mulai bernyanyi, memuji Tuhan, mendengarkan firman Tuhan dan akhirnya tidak ada lagi peperangan suku.
Perdana Tarian Perang-perangan Diangkat dalam Festival Budaya
Pemerintah Kabupaten Mimika melalui Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga menggelar Festival Budaya Amungme dan Kamoro.
Tari perang-perangan merupakan budaya asli Amungme, suku yang mendiami area pegunungan di Mimika. Kegiatan ini baru baru pertama kali dilaksanakan di Mimika.
Bupati Mimika, Johannes Rettob mengatakan keberagaman kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan nasional indonesia.
“Untuk itu diperlukan langkah strategis berupa upaya pemajuan kebudayaan melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan , dan pembinaan guna mewujudkan masyarakat yang berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,” katanya dalam sambutan acara pembukaan Festival di Eks Pasar Swadaya, Mimika, Rabu (26/6/2024).
Ia berharap kegiatan pameran budaya asli Mimika bisa menjadi agenda tahunan, sehingga masyarakat dapat mencintai dan membanggakan produk lokal.
“Dan salah satu cara untuk mengajak generasi muda melestarikan dan mengembangkan budaya lokal sejak dini adalah dengan melibatkan para anak sekolah sebagai generasi muda, tetapi juga semua lapisan masyarakat, yang terus menerus dilatih dan dibina sebagai generasi pelanjut yang wajib menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal,” ucapnya.
Sekertaris Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Mimika, Santy Sondang mengatakan tujuan pelaksanaan festival budaya yang berlangsung dari tanggal 26 Juni-1 Juli 2024 ini untuk mengangkat nilai-nilai kekayaan budaya lokal daerah.
“Sebagai upaya kemajuan melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan dalam melestarikan budaya lokal daerah, meningkatkan rasa cinta daerah dan bangga terhadap budaya dan produk lokal daerah,” ucapnya.
Sementara itu Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada kegiatan tari perang-perangan Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Mimika, Priskila Jikwa menjelaskan di dinas mereka sudah ada sanggar yang di bina dan telah terdata.
Ia juga menjelaskan untuk budaya suku Amungme masih harus terus diangkat.
“Makanya kami lihat ada potensi yang harus kita gali khususnya perang-perangan bukan perang perangan tapi tari tarian sebenarnya kehidupan orang gunung pada umumnya, yang ini yang belum kita angkat selama ini dan ini adalah pertama kali di dinas pemuda dan olahraga. Dan kami harapkan kita akan lakukan ini bisa menjadi event nasional dan kita bisa menjadi go internasional, supaya lebih ditingkatkan lagi,” pungkasnya.
Berharap Budaya Amungme Terus Diangkat
Penanggung Jawab Tarian Perang-perangan, Elinus Balinol Mom mengatakan kegiatan ini bagian dari pembinaan budaya penduduk lokal oleh pihak Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga.
“Kami diberikan kepercayaan untuk membawakan tarian pentas budaya tentang perang-perangan,” katanya.
Ia menjelaskan budaya perang-perangan bercerita tentang budaya suku Amungme sebelum mengenal Injil.
“Dulunya orang amungme hidup seperti yang tadi diperagakan. Sosialnya hidup barter, banyak masalah. Sedikit-sedikit perang,” katanya.
Dijelaskan ketika terjadi masalah, masyarakat Amungme tidak sembarang melakukan pembunuhan.
“Pasti mereka sampaikan informasi kepada pihak lawan bahwa kami akan serang dan melakukan perang. Jadi tidak seperti mereka bunuh orang sembarang-sembarang, perempuan dilindungi, tokoh-tokoh dilindungi jadi ketika mereka berperang itu adu kekuatan di lapangan. Tidak sembarang tempat. Tapi sering itu kehidupan yang terjadi sebelum mengenal injil,” jelasnya.
Elinus mengatakan ketika misionaris masuk membawa firman bahwa orang Amungme tidak boleh hidup dengan cara lama harus dengan Injil.
“Ini yang kami peragakan bahwa dulu kami hidup seperti itu tapi sekarang kami sudah hidup dalam terang, kita anak-anak terang. Sekarang sudah kenal injil, nilai-nilai ini yang kita mau sampaikan. Orang tidak datang lihat orang Amungme suka perang suku. Itu cara lama,” katanya.
Ia berharap kedepannya ia bisa bangun daerah Mimika.
“Supaya dulu sebelum-sebelumnya bisa ditinggalkan bebas dari masalah perang suku dan lainnya. Kedepan pemerintah mau support ini kami masyarakat Amungme juga siap untuk angkat nilai budaya lain. Supaya orang tau bahwa ada budaya yang harus diangkat,” ungkapnya.
Dijelaskan persiapan para penari sekitar 3 minggu lamanya. Menurutnya tidak terlalu sulit ketika mereka berlatih sebab budaya tersebut sudah melekat.
“Menurut pengamatan saya, saya sangat puas bisa tampilkan dengan baik ada nilainya.
Harapannya semoga lebih mengangkat ini lagi, kedepannya setiap tahun bisa dilakukandua kali, butuh kerjasama dengan OPD terkait,” pungkasnya.