Site icon sasagupapua.com

WALHI Papua Kritik Pernyataan Presiden yang Mau Lahan Papua Ditanami Sawit-Tebu

Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com)

SASAGUPAPUA.COM, Nabire- WALHI Papua memberikan kritikan terhadap pernyataan Presiden dalam momen pertemuan dengan kepala daerah se-Tanah Papua, Selasa (16/12/2025) di Istana Negara, Jakarta.

Dalam sambutannya Prabowo berharap sumber daya alam Papua untuk memproduksi bahan bakar Minyak (BBM) guna menekan impor BBM yang mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.

Prabowo secara eksplisit meminta agar di daerah Papua juga ditanam kelapa sawit untuk menghasilkan Biodiesel, tebu untuk Bioetanol, dan singkong juga untuk Bioetanol.

“Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan bioetanol, singkong juga untuk bioetanol,” ujar Prabowo, seraya menambahkan bahwa teknologi energi surya dan mini hydro juga wajib dikembangkan untuk daerah terpencil.

Termasuk, Prabowo juga menekankan swasembada pangan untuk kemandirian.

Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki menilai kebijakan swasembada pangan dan energi yang dirancang pemerintah cenderung menguatkan dominasi korporasi atas lahan luas, bukan berbasis pada kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat adat.

Monokultur besar seperti sawit dan tebu justru mengancam keanekaragaman hayati, ekosistem hutan, dan ketahanan pangan tradisional masyarakat adat Papua.

“Kami WALHI Papua mengeluarkan pernyataan resmi yang menyuarakan kekhawatiran serius terhadap rencana pemerintah pusat dan daerah (termasuk kebijakan Presiden Prabowo) yang membuka tanah adat dan hutan Papua untuk proyek pertanian besar seperti perkebunan sawit, tebu, dan terkait program pangan/energi,” ujarnya.

Menurutnya, hal ini sebagai ancaman terhadap hak adat masyarakat Papua, kelestarian hutan adat, ketahanan pangan lokal, dan keberlanjutan lingkungan.

WALHI mengatakan Presiden Prabowo mengabaikan Otonomi Khusus dan Pemerintahan Khusus dengan Kewenangan tersendiri menghormati Tanah Papua bukan tanah kosong—ada pemilik adat yang berhak atas tanah dan hutan adat.

“Pemerintah pusat dan daerah belum melibatkan masyarakat adat secara bebas dan informatif (Free, Prior, and Informed Consent / FPIC) sebelum mengambil keputusan. Kebijakan ini dapat memicu konflik agraria, mempercepat kerusakan hutan, dan menghancurkan sistem pangan lokal yang selama ini bertumpu pada sagu, dan hasil hutan lainnya,” pungkasnya.

Berikan Komentar
Exit mobile version