Menu

Mode Gelap

Budaya · 20 Sep 2025 11:44 WIT

WALHI Papua Mengecam dan Tolak Lahan 481.000 Hektar di Merauke Mau Diolah Pemerintah


Maikel Peuki Direktur Walhi Papua - Dok Walhi Papua Perbesar

Maikel Peuki Direktur Walhi Papua - Dok Walhi Papua

SASAGUPAPUA.COM, PAPUA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua dengan tegas mengecam dan menolak rencana pemerintah pusat yang akan memanfaatkan area hutan seluas 481.000 hektare di Wanam, Merauke, Papua Selatan untuk program swasembada pangan.

Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki mengatakan, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, terkait penyiapan lahan ini dinilai sebagai bentuk nyata dari deforestasi yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak mereka atas tanah serta hutan.

“WALHI Papua menilai bahwa klaim pemerintah yang menyatakan telah menyiapkan lahan ini adalah tindakan yang sepihak dan tidak menghormati pemilik sah tanah dan hutan adat, yaitu masyarakat adat Papua,” katanya dalam rilis yang diterima media ini, Jumat (19/9/2025).

Pernyataan Menteri Zulkifli Hasan yang menyebut bahwa lahan seluas 481.000 hektare telah “ditata ruang” oleh Menteri Kehutanan dan akan diselesaikan surat-menyuratnya seperti Hak Guna Usaha (HGU), menunjukkan bahwa pemerintah berupaya melegitimasi perampasan lahan tanpa persetujuan dari masyarakat adat.

- Advertising -
- Advertising -

“Tanah Papua bukanlah tanah kosong yang bisa seenaknya dibagikan atas nama pembangunan. Tanah Papua adalah tanah adat yang ada pemiliknya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai spiritual, budaya, dan ekologi yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat,” tegasnya.

Maikel menjelaskan membuka hutan adat untuk perkebunan monokultur skala besar, seperti yang sering terjadi dalam program sejenis, akan berdampak pada beberapa hal seperti:

a. Hilangnya Sumber Kehidupan: Hutan adalah lumbung pangan, obat-obatan, dan sumber air bagi masyarakat adat. Deforestasi akan menghancurkan sistem ini.

b. Kerusakan Ekosistem: Pembukaan lahan besar-besaran akan memicu hilangnya keanekaragaman hayati dan mempercepat krisis iklim.

c. Konflik Sosial: Perampasan tanah tanpa persetujuan akan memicu konflik antara masyarakat adat dan perusahaan, yang sering kali berujung pada kekerasan dan pelanggaran HAM.

Maikel mengatakan, Keputusan Presiden (Keppres) No. 19 Tahun 2025 yang menjadi dasar percepatan ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah pusat mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

WALHI Papua mendesak pemerintah untuk:

1. Menghentikan semua rencana deforestasi di tanah Papua atas nama program swasembada pangan.

2. Mencabut kebijakan yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan hutan mereka.

3. Melibatkan masyarakat adat secara penuh dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan wilayah adat mereka.

4. Mengutamakan pendekatan berbasis hak dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam.

“WALHI Papua akan terus berjuang bersama masyarakat adat untuk melindungi tanah dan hutan mereka dari eksploitasi yang merusak. Kami menuntut pemerintah pusat untuk menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat adat, serta mengedepankan pembangunan yang menghargai manusia dan alam,” pungkasnya.

Berikan Komentar
penulis : Kristin Rejang
Artikel ini telah dibaca 73 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Peringati Hari Otsus Ke-24, Pemprov Papua Tengah Gelar Lomba Sayembara Noken

17 November 2025 - 17:35 WIT

Janji Iklim di Panggung Dunia, Perusakan di Tanah Papua: Food Estate Merauke, Deforestasi, dan Krisis Hak Masyarakat Adat

15 November 2025 - 09:03 WIT

Komunitas Pemuda Adat di Sorsel Tolak Keras PSN di Wilayah Adat Tanah Papua

12 November 2025 - 17:08 WIT

COP 30: Misi Paviliun Indonesia Belum Mewakili Masyarakat Adat dan Orang Muda Papua

12 November 2025 - 13:14 WIT

Dari Bom Ikan hingga Pemetaan Partisipatif: Dilema Hukum Adat dan Konservasi di Papua

2 November 2025 - 21:51 WIT

Youth Forest Camp 2025: Deklarasi Solol Tuntut Pengakuan Adat, Kopi Jadi Simbol Ekonomi Hijau Papua

2 November 2025 - 21:18 WIT

Trending di Budaya