SASAGUPAPUA.COM, Papua Tengah – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua menyoroti Persoalan tapal batas yang hingga saat ini memicu permasalahan serius bagi masyarakat adat pemilik dan masyarakat yang berdomisili di sekitar wilayah Kapiraya.
Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki menilai konflik yang berkepanjangan sejak 2023 ini dipicu oleh masuknya operasi tambang emas ilegal bernama Zomllion Industri Hef Indonesia awalnya dengan motof membeli kayu di wilayah kapiraya dan mulai melakukan penambangan dengan mengunakan eksavator di wilayah tersebut.
“Wilayah kapiraya ini berada di perbatasan pemerintah daerah Timika, Deiyai, dan Dogiyai,” katanya.
Dijelaskan, sengketa tapal batas di wilayah Kapiraya yang terjadi pada Senin, 24 November 2025 mengakibatkan seorang warga tewas dan beberapa lainnya mengalami luka-luka serius.
Maikel menerangkan, Korban meninggal dunia diketahui bernama Neles Peuki, yang ditemukan tewas di lokasi kejadian dengan kondisi jasad yang dibakar.
Sementara itu, Nelius Peuki dilaporkan kritis akibat terkena panah dan saat ini sedang menjalani perawatan intensif di RS Madi, Rumah warga dibakar dan diserang oleh oknum sekolompok orang.
“Warga setempat bernama Nelius Peuki, beberapa warga lainnya juga mengalami luka-luka dan sedang mendapatkan perawatan medis,” jelasnya.
WALHI juga menjelaskan daftar nama korban yang berhasil diidentifikasi:
1. Nelius Peuki (luka panah, kritis, dirawat di RS Madi)
2. Isak Anouw (luka parang, dirawat di RS Madi)
3. Neles Peuki (meninggal dunia, jasad dibakar)
4. Menase Dimi (luka panah, belum mendapat penanganan medis, berada di Mogodagi)
5. Aten Anouw (luka kartapel di kepala, belum mendapat penanganan medis, berada di Mogodagi)
6. Yulianus Goo (luka kartapel di kepala, belum mendapat penanganan medis, berada di Mogodagi)
7. Yulian Goo (luka kartapel di kepala, belum mendapat penanganan medis, berada di Mogodagi)
Maikel mengatakan WALHI Papua menekankan urgensi penanganan serius dari ke-3 pemerintah daerah sebelum konflik memakan korban jiwa dari kedua suku yang merupakan penduduk asli Papua yang berasal dari wilayah kapiraya.
“Ini kebiadapan yg di lakukan oleh oknum kelompok tertentu untuk Merampas Tanah Adat Papua,” serunya.
Dikatakan, Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Kabupaten perbatasan harus turun ke wakia mogodagi kapiraya selesaikan batas wilayah adat dan tapal batas administrasi antar Kabupaten.
“Batas-batas wilayah tersebut, Suku Kamoro dan Suku Mee mereka tahu batas alamnya dan saling mengakui,” jelasnya.
Menurut informasi yang diperoleh WALHI jelas Maikel ada pula beberapa korban yang berada di Mogodagi belum mendapatkan penanganan medis yang memadai akibat keterbatasan akses dan tenaga kesehatan.
“Sedangkan untuk korban di Pihak Suku Amungme dan Kei akibat konflik tapal batas antara suku Mee dan Suku Amungme belum diketahui,” terangnya.
Saat ini, kata dia belum ada penanganan serius dari ke-2 bupati) dan Legislatif ( DPRD) Provinsi dan Kabupaten terkait sengketa tapal batas tersebut.
Namun, situasi di Kapiraya masih tegang dan berpotensi memicu konflik susulan.
Maikel berharap, Pemerintah Provinsi Papua, Pemda Deiyai serta Pemda Mimika, DPRD dan aparat keamanan serta tokoh – tokoh yang ada diharapkan segera mengambil langkah-langkah cepat dan efektif untuk meredam situasi, memberikan bantuan medis kepada para korban, serta menyelesaikan sengketa tapal batas secara adil dan berkelanjutan.
Sebab kat Maikel, pihaknya menilai konflik ini bukan hanya masalah sengketa Tapal batas namun ada pihak Ketiga sedang bermain agar Konflik Horizontal ini terus terjadi sehingga perlu ada penanganan serius dari semua pihak agar melakukan rakyat kecil tidak menjadi korban lagi.
“Dan juga diduga ada aktivitas tambang emas ilegal yang mengakibatkan permasalahan wilayah adat, jika tidak ini seperti pemerintah daerah provinsi dan kabupaten memelihara konflik terus,” ungkapnya.
Lebih lanjut Maikel mengatakan pemerintah perlu memfasilitasi pertemuan dan duduk bersama masyarakat di wilayah perbatasan untuk memastikan kejelasan hak ulayat, legalitas transaksi, dan batas-batas adat, agar ke depan tidak ada lagi korban, luka, dan konflik yang mengatasnamakan Tanah Adat.
“Kami WALHI Papua mendesak para petinggi di Propinsi Papua Tengah, dan Pemda Deiyai, Dogiyai serta Mimika Tokoh Adat, Tokoh Agama, Intelektual dan LSM segera menangani Konflik berdarah di Kapiraya,” harapnya.
Maikel mengungkapkan Papua Bukan Tanah Kosong, bukan sekedar semboyan dari suara masyarakat, tetapi juga peringatan bagi pemerintah.
Dimana kata dia, setiap kebijakan, terutama ketika ada kekuasaan yang ingin menguasai sebuah wilayah di papua, harus menghormati fakta bahwa tanah itu bertuan.
“Kami WALHI Papua menekankan kepada pemerintah papua tengah segera; mendamaikan konflik berdarah di Kapiraya.
Para pelaku harus ditangkap dan diproses hukum; Segera mengakui wilayah adat antara suku Komoro dan suku Mee; dan Segera tentukan Tapal Batas Pemerintah Daerah antara Pemda Deiyai, Dogiyai dan Mimika,” pungkasnya.







