SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai memberikan penjelasan terkait dengan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Dikutip dari video yang diunggah di instagram @kementerian_ham, Natalius mengatakan Makan Bergizi Gratis itu adalah merupakan niat ide yang muncul dari pikiran, perasaan Presiden Prabowo.
“Pikiran dan perasaan sebelum menjadi presiden, dari pikiran, perasaan tentang bagaimana rakyat Indonesia harus sehat, kenyang dan pintar sebenarnya sudah dituangkan beliau dalam buku paradoks Indonesia, Strategi transformasi bangsa, semua tertulis, makanya waktu penyusunan visi itu kan menempatkan asta cita,” katanya.
Dalam asta cita,kata Natalius, nomor 1 adalah HAM. Salah satunya adalah makanan bergizi gratis adalah pemenuhan kebutuhan HAM yang wajib dilakukan oleh negara kepda rakyatnya dalam rangka rakyat yang kenyang, rakyat yang sehat, dan rakyat yang pintar.
“Rakyat sehat, kenyang, pintar merupakan salah satu esensi dasar dimana negara menyatakan bahwa tahta untuk rakyat dan harta negara untuk rakyat, berarti tahta yang sekarang ada ini adalah untuk kepentingan rakyat,” ujarnya.
Karena itu, rumusan kebijakan terkait dengan makan bergizi gratis itu kata Natalius merupakan kebijakan yang tulus.
“Dalam rangka itu, karena kita menargetkan 2045 kita harus leading, maka orang-orang dan sumber daya yang dipersiapkan itu harus bisa benar-benar tumbuh dengan manusia-manusia yang berkualitas, dan berkompeten, seluruh Bangsa Indonesia, seluruh suku, seluruh agama, seluruh ras, seluruh golongan, dikasih makan bergizi gratis, termasuk Papua,” ujarnya.
Ia meyakini, Orang Papua menerima Makan Bergizi Gratis, kemudian ada yang menolak.
Ada dua hal yang menyebakan penolakan yang dijelaskan oleh Natalius.
Pertama harus dipahami bahwa memang seringkali banyak anak Papua yang mau ingin maju, berkembang. “Berkembang juga pintarlah bersaing dengan saudara-saudara lain tap kesulitan di biaya,” ujarnya.
Dikatakan, siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan. “Orang tua tidak mungkin, orang desa orang kampung, ya pemerintah mungkin, pemerintah kabupaten, kota harus ikut bertanggung jawab,” katanya.
Kemudian Provinsi juga harus bertanggung jawab. Termasuk perusahaan-perusahaan yang hadir yang mengambil Sumber Daya Alam (SDA) di Papua harus peduli terhadap masyarakat.
“Inikan ungkapan kekecewaan kenapa pendidikan mereka putus ditengah jalan, SD tidak bisa lanjutkan karena biaya, SMP tidak bisa lanjutkan karena biaya, SMA tidak bisa lanjutkan ke Universitas karena biaya,” ungkapnya.
Karena itulah, yang dibutuhkan sekarang itu, kata Natalius adalah biaya dan itu bisa dipahami. “Tapi bisa diperbaiki dengan saya mengusulkan ya nanti kedepan kita akan bisa kerjasama, share budget, Kabupaten berapa, provinsi berapa, ya sektor-sektor swasta berapa yang bisa sumbang dan APBN bisa berapa, dan saya kira itu salah satu yang, ya kita samalah, rakyat menginginkan pendidikan gratis, sama pemerintah sekarang juga mau dan sama dengan suasana hati yang dirasakan oleh rakyat,” ujarnya.
Kemudian yang kedua mengapa MBG di Papua ditolak, karena harus diketahui di Papua agak berbeda atau wilayah-wilayah konflik di seluruh Dunia yang tentu sama tidak hanya di Papua.
Dimana ia menyinggung terkait pengolahannya, siapa yang memasak, siapa yang membagikan, sebab menurutnya aspek ini adalah masalah paling serius sehingga harus dipertimbangkan oleh para pengelola MBG.
“Kalau begitu oleh siapa? Pegawai Negeri yang ada disitu, bapa-bapa yang ada disitu, ibu-ibu yang ada disitu, atau mama-mama yang ada disitu,” katanya.
Mama-mama inik kata dia, adalah tidak hanya Mama Papua tapi mama-mama bidan, mama-mama guru, mama-mama pegawai negeri yang ada disana, entah suku apapun tidak masalah.
“Tapi mama-mama, yang kedua pihak gereja, kalau di wilayah Islam ya di masjid di buatkan dapur, dilakukan oleh ibu-ibu majelis ta’lim yang masak, kalau didekat sekolah ada gerejanya suruh ibu-ibu yang ada di gereja mereka yang masak,” katanya.
Natalius menjelaskan, yang mengontrol kualitas makanannya, itu yang harus dipersiapkan misalnya ada ahli gizi yang mengontrol.
“Yang masak mama-mama, yang bagi mama-mama, yang kelola mama-mama, yang belanja di pasar, mama-mama atau pihak gereja, atau orang-orang sipil,” katanya.
“Jadi memang gini, intinya saya kasih tau, jujur saya ngomong jujur ini untuk kebaikan, tap jujur tidak menyakitkan, jujur itu tidak mengantarkan kita ke rumah sakit, jujur itu tidak mengantarkan ke liang kubur, jujur itu adalah untuk memperbaiki, saya mengucapkan kejujuran, jadi nggak punya intensi nggak punya kebencian,” pungkasnya.