Umum · 18 Des 2023 01:13 WIT

PBHI: Tiga Capres “Buta Papua” Maka “Penjajahan” oleh Negara Sendiri adalah Repetisi


Masyarakat adat Moi sub suku Moi Salkma, Papua Barat Daya.Foto: Reiner Brabar Perbesar

Masyarakat adat Moi sub suku Moi Salkma, Papua Barat Daya.Foto: Reiner Brabar

SELASA 12 Desember 2023, Debat Pertama Calon Presiden (Capres) yang diselenggarakan oleh KPU telah berlangsung. 

Terkait Pemerintahan, Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik dan Kerukunan Warga. Pertanyaan yang mencuat dari panelis adalah terkait HAM dan Konflik di Papua.

Dalam rilis resmi Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesian (PBHI) yang diketuai oleh Julius Ibrani menjelaskan Capres 01 menyatakan persoalan di Papua adalah persoalan keadilan. Masalah utamanya adalah tiadanya keadilan di tanah Papua bukan soal kekerasan.

Capres 01 menilai cara utama untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM di Papua dengan melakukan dialog secara partisipatif.

Sementara, Capres 02 mengatakan masalah Papua terjadi karena ada gerakan separatisme dan terorisme yang dikaitkan dengan campur tangan pihak asing sehingga solusinya adalah menegakkan hukum, memperkuat aparat-aparat keamanan dan juga mempercepat pembangunan ekonomi.

Capres 03 bicara soal pendekatan dialog dan duduk bersama sebagai solusi yang penting untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan konflik di Papua.

PBHI menegaskan persoalan Papua jauh lebih fundamental daripada persoalan di permukaan berupa keadilan atau solusi pendekatan dialog yang sifatnya di hilir.

Sedangkan pendekatan sekuritisasi berbasis pertahanan militer dan keamanan dalam negeri oleh kepolisian terkait pemberontakan dan intervensi asing adalah stigma buruk yang didalihkan atau justifikasi untuk tindakan represif di Papua, mulai dari kekerasan fisik hingga pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings), atau proses hukum yang sewenang-wenang, seperti pembubaran paksa, penangkapan, penahanan dan pemenjaraan yang lenuh rekayasa. Akar persoalan di Papua adalah “penjajahan” terhadap Hak Asasi Manusia.

Fakta dan realita yang terjadi di Papua adalah bahwa Papua kaya sumber daya alam yaitu emas oleh sebab itu Papua diperlakukan dengan sama seperti kawasan kaya SDA misalnya Afrika Selatan, Sudan, Rwanda, kongo, dan dilabeli kawasan rawan konflik dan titik pemberontakan separatisme dan terorisme, sehingga ada alasan untuk melakukan pendekatan sekuritisasi melalui militer (TNI) dan pertahanan keamanan dalam negeri oleh Kepolisian.

“Sehingga segala bentuk kehidupan di Papua sengaja dipelihara dalam kondisi kritis dan miris, segala bentuk akses di Papua sengaja di putus,” tulis PBHI.

Menurut PBHI, segala bentuk Hak Asasi Manusia, sengaja dibuat dalam kondisi tidak layak sehingga perkembangan dan peradaban kemanusiaan di Papua tidak terjadi dan karenanya tidak akan mempertanyakan kemana larinya hasil bumi di Papua yang bernilai ribuan triliun yang di eksploitasi sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ditangan rezim pemerintahan Soeharto ketika itu. Dan masih berlangsung hingga saat ini.

PBHI juga melakukan monitoring pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Papua setiap tahunnya.

Dimana, tahun 2023, mencatat banyak peristiwa pelanggaran HAM yang memperkuat hipotesis bahwa yang terjadi di Papua ada penjajahan.

“PBHI mengumpulkan informasi dan data, dari korban secara langsung, penggiat kemanusiaan di Papua, pendamping korban dan proses hukum yang diakui oleh aparat penegak hukum baik dari kepolisian maupun aparat pertahanan dari TNI termasuk juga pemerintahan daerah. Fact finding atau penggalian fakta yang dilakukan oleh PBHI juga dikonfirmasi melalui pemberitaan dan media massa atau jurnalis yang diakui dan memiliki lisensi di bawah naungan Dewan Pers,” ungkap mereka.

PBHI mencatat sepanjang Desember 2022 hingga Oktober 2023 tercatat sedikitnya, 32 peristiwa yang terkonfirmasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintahan daerah, kelompok masyarakat, korban, aparat keamanan maupun aparat pertahanan.

Masyarakat adat Moi sub suku Moi Salkma, Papua Barat Daya. Foto: Reiner Brabar

 

Dari 32 peristiwa tersebut, tercatat sejumlah 501 korban dimana peristiwa tersebut antara lain, terkait dengan penangkapan paksa sewenang-wenang tanpa disertai administrasi dan pembubaran terhadap unjuk rasa secara damai, tindakan represif dalam aktifitas sehari-hari, tuduhan-tuduhan tak berdasar atau tuduhan separatis dan yang paling banyak adalah pembubaran unjuk rasa secara sewenang-wenang terhadap unjuk rasa secara damai.

Dalam peristiwa tersebut, tindakan-tindakan yang terjadi selain penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang juga terjadi pemukulan hingga pembunuhan.

Sebanyak 32 persen berupa tindakan pembunuhan di luar hukum. Pembunuhan ini tidak ada kejelasan apakah kaitannya dengan peristiwa tembak menembak sehingga dianggap perlawanan terpaksa atas tindakan mengancam nyawa dari aparat penegak hukum atau aparat militer atau seperti perang sebagaimana dalil pemberontakan yang terjadi.

“Namun setelah kami periksa, peristiwa itu tidak demikian yang artinya penembakan yang berujung pembunuhan itu sama sekali tidak berdasar secara hukum. Dari situ, sebanyak 19,2 persen dampak dari peristiwa tersebut berupa korban meninggal dunia, 88,8 persen luka-luka dari luka sedang hingga luka berat yang menyebabkan cacat,” kata PBHI.

Monitoring PBHI di Papua mencatat peristiwa pelanggaran hak asasi yang utama dilakukan terhadap kebebasan berpendapat di muka umum. Ekspresi terhadap apa yang terjadi Papua ini paling besar dilanggar sebanyak 50 persen.

Nomor dua, pelanggaran hak asasi yang terjadi adalah hak atas rasa aman akibat tindakan represif mulai dari cluster tindakan hukum penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindakan fisik pemukulan hingga pembunuhan yang menyebabkan 47,1 persen berupa pelanggaran hak atas rasa aman. Dan dari keseluruhan peristiwa tersebut, aparat keamanan yang terlibat sebagai pelaku terdiri dari Polri sebanyak 87,9 persen. TNI sebanyak 12,1 persen.

“Dari catatan PBHI, jelas didapatkan kesimpulan bahwa dalih keamanan, pertahanan negara atas alasan pemberontakan, separatis ini merupakan dalih fiktif atau bahkan siasat manipulatif dari pemerintah untuk menjustifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi dan berlangsung di Papua. Alasan demikian pula yang mendasari pendekatan securitysasi melalui pertahanan TNI dan keamanan dalam negeri Polri dan menyingkirkan pendekatan dialog, identifikasi persoalan. Dengan demikian pula ruang kebebasan sipil nyaris nyaris tidak ada di Papua,” ungkap PBHI.

Gangguan keamanan di Papua, itu juga kata PBHI justru sering diciptakan oleh negara.

Karena berbagai macam tindakan yang dilakukan oleh negara melalui pembubaran paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindakan represif yang berujung kekerasan fisik, pemukulan hingga pembunuhan.

Ini justru situasi yang mengganggu masyarakat, makanya pelanggaran hak asasi yang pertama kebebasan berpendapat di ruang publik dan hak atas rasa aman.

“Kesimpulan selanjutnya yang terjadi di Papua adalah pembungkaman sipil agar kita tidak bicara soal Papua dan Papua tidak berbicara apa yang terjadi sebenarnya. Sengaja di tutupi dengan dalih securitysasi,” ujar PBHI.

Jika menyoroti yang terjadi di Papua hentikan penjajahan di Papua dengan dalih-dalih gangguan keamanan, dalih pemberontakan, dalih-dalih sekuritisasi, menurut PBHI yang harus menjadi solusi di Papua adalah menghentikan penjajahan di tanah Papua, dengan membangun peradaban di Papua, sarana kehidupan yang layak di Papua yang mengedepankan dan mengutamakan kebutuhan masyarakat Papua asli bukan infrastruktur pembangunan jalan raya dan jalan tol yang tidak sesuai dengan kebutuhan di Papua tetapi kebutuhan industri milik pemodal, pengusaha dan oligarki yang diakomodasi oleh negara.

Melalui proyek yang namanya Proyek Strategis Nasional, dimana proyek ini juga pada saat pelaksanaannya memiliki konflik kepentingan di mana pemenang tendernya adalah orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan, mereka yang menduduki sebagai menteri dan wakil menteri dan sebagainya.

“Dengan membawa Papua ke titik nol kehidupan yang normal dan aman, maka setelah itu kita bisa bicara soal masa depan yang dipermukaan yaitu pendekatan dialog, komunikasi secara setara,” ungkap PBHI.

Saat ini, kondisi Papua tidak berada di titik nol namun berada di titik minus sehingga harus dikembalikan ke titik nol dahulu.

“Sehingga apa yang disampaikan oleh ketiga Calon Presiden tidak relevan bahkan Capres 02 menjustifikasi dan melanggengkan “penjajahan” di atas bumi Papua,” tutup PBHI dalam rilis tersebut.

 

Penulis: Red

Berikan Komentar
Artikel ini telah dibaca 221 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Peduli Korban Erupsi Gunung Lewo Tobi di NTT, Flobamora Mimika Galang Dana

6 November 2024 - 07:18 WIT

Jurnalis Perempuan Mimika Gelar Pelatihan Jurnalistik, 12 Sekolah Dilibatkan

29 Oktober 2024 - 11:35 WIT

Rapatkan Barisan: Maluku Tengah Ada Untuk JOEL

27 Oktober 2024 - 14:28 WIT

Pelaksanaan Pilkada di Timika, Polisi Sebut Toko Miras Akan Tutup Sementara Waktu

27 Oktober 2024 - 13:38 WIT

Keluarga Ohoi Ngat Dan Ngurdu Dukung JOEL: Sosok Religius

26 Oktober 2024 - 13:30 WIT

Keluarga Besar Soindrat Elsadat Nyatakan SIkap: Tidak Ragu Dukung JOEL

25 Oktober 2024 - 15:13 WIT

Trending di Umum