SALJU abadi di Puncak Jaya, Pegunungan Cartensz selalu menjadi kebanggaan. Puncak ini merupakan gunung tertinggi di Indonesia kawasan Oceania. Puncak Jaya adalah salah satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia.
Puncak Jaya atau Piramida Carstensz yang mempunyai ketinggian 4.883 mdpl ini pertama kali dilihat oleh penjelajah Belanda Jan Carstenszoon, ia pertama kali melihat gletser di puncak gunung pada hari yang cerah pada tahun 1623.
Padang salju (gletser) Puncak Jaya berhasil didaki pada awal tahun 1909 oleh seorang penjelajah Belanda, Hendrikus Albertus Lorentz.
Pada tahun 1936, ekspedisi Carstensz yang diprakarsai Belanda, tidak mampu menetapkan dengan pasti yang mana dari ke tiga puncak adalah yang tertinggi, memutuskan untuk berusaha mendaki masing-masing puncak. Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Julius Wissel mencapai padang gletser Carstensz Timur dan Puncak Ngga Pulu pada 5 Desember. Karena gletser yang mencair, ketinggian Puncak Ngga Pulu menjadi 4.862 meter, tetapi telah diperkirakan bahwa pada tahun 1936 (ketika gletser masih tertutup puncak seluas 13 kilometer persegi), Ngga Pulu memang puncak yang tertinggi dengan ketinggian lebih dari 5.000 meter.
Setelahnya Puncak Jaya tidak pernah didaki sampai tahun 1962, oleh sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh pendaki gunung Austria, Heinrich Harrer, dengan tiga anggota ekspedisi lainnya, Robert Philip Temple, Russell Kippax, dan Albertus Huizenga. Philip Temple dari Selandia Baru, sebelumnya memimpin ekspedisi ke daerah dan merintis rute akses ke pegunungan.
Pada tahun 1963, puncak ini berganti nama menjadi Puncak Soekarno, setelah itu kemudian diganti menjadi Puncak Jaya. Nama Piramida Carstensz sendiri masih digunakan di kalangan para pendaki.
Gunung Cartensz ini juga pernah ditaklukan oleh artis Nadine Chandrawinata pada tahun 2016 lalu.
Dalam postingannya tahun 2016 lalu, ia sempat menyinggung kekhawatirannya tentang pemanasan global yang berdampak buruk pada keadaan puncak Cartensz.
“Hujan salju tapi tidak menemukan timbunan salju di puncak Carstensz.
Hanya tersisa di pegunungan Sudirman, saya merasakan sedikit dinginnya salju abadi di Indonesia. Menyedihkan.. penyusutan yang serius diakibatkan oleh pemanasan global. Sampai kapan bertahan salju abadi kita?Kurang dari 10 tahun?,” Begitu bunyi postingannya.
Tahun 2023 ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan rilis resmi melalui Kepala Dwikorita Karnawati yang menjelaskan salju abadi di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua terus mengalami pencairan dan menuju kepunahan.
Dikutip dari Bmkg.go.id, Fenomena ini terjadi diduga kuat berkaitan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia.
“Dalam beberapa dekade terakhir dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi di Puncak Jaya,” kata Dwikorita pada seminar ilmiah bertajuk ‘Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim?’ di Auditorium Kantor Pusat BMKG, Kemayoran, Jakarta, Selasa (22/8/2023) lalu.
Hasil riset analisis paleoklimat berdasarkan inti es yang dilakukan oleh BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat, mencatat bahwa pencairan gletser di Puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif terjadi. Pada tahun 2010 ketika riset ini dimulai, dilaporkan ketebalan es mencapai 32 meter.
Namun, seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, laju penurunan ketebalan es ialah satu meter per tahun. Kondisi kian buruk tatkala pada tahun 2015-2016, Indonesia dilanda fenomena El Nino kuat dimana suhu permukaan menjadi lebih hangat. Akibatnya, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun.
Sedangkan, pada tahun 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti. Catatan BMKG memperlihatkan bahwa pada periode tersebut, ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. Diperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.
Sementara itu, tutupan es pada tahun 2022 berada di angka 0,23 km2 atau turun sekitar 15 persen dari luasan pada bulan Juli tahun 2021 yaitu 0,27 km2.
“Fenomena El Nino tahun 2023 ini berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya,” ujarnya.
Kepunahan salju abadi di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah dan ekosistem yang ada di sekitar salju abadi. Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dalam menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi yang dilakukan.
Mitigasi ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh hanya segelintir orang. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk saling bergandeng tangan melakukan aksi-aksi nyata dalam melakukan mitigasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, khususnya di Indonesia.
Caranya, dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Poin ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
“Serta kerjasama lintas sektor dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia perlu terus diperkuat,” kata Dwikorita.
Mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua, merupakan bukti nyata bagaimana perubahan iklim memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan. Keberadaan salju abadi yang menjadi kebanggaan Indonesia itu kini terancam punah dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini tentu menjadi kehilangan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia.
Penulis: Kristin Rejang