SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Hari ke-3 perlombaan kerajinan tangan suku Amungme yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Olahraga (Disparbudpora) masih berlangsung pada Rabu (21/5/2025).
Masyarakat membuat kerajinan tangan dengan teliti dan kompak. Mereka yang terbagi dalam 12 kelompok tersebut membuat Noken, Mahkota dan Kawitok.

Tampak salah satu kelompok sedang bekerja menyelesaikan kerajinan tangan suku Amungme. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)
Noken
Noken umumnya dianyam oleh tangan perempuan. Salah satu peserta, Natalia Ogolmagai menjelaskan pembuatan noken khas dari orang Amungme bahan dasarnya adalah kayu Ilam, sebuah kayu yang hanya bisa didapati di daerah pegunungan Papua.
“Itu jauh sekali ambilnya, didalam hutan dan hanya ada di gunung, lalu kita tambahkan dengan kulit kayu dari pohon genemo,” jelasnya.
Ia mengatakan kulit genemo juga mereka pilih dengan kualitas terbaik kemudian dikupas kulitnya dan diambil isi didalam kulit tersebut untuk dibuat menjadi benang noken.
“Memang kalau noken yang buat hanya perempuan karena mereka yang lebih tau turun temurun,” jelasnya.
Ia menjelaskan noken besar umumnya dipakai oleh perempuan ketika pergi ke kebun, untuk mengisi hasil kebun, ada pula digunakan untuk menggendong anak.
“Kalau yang kecil biasanya dipakai oleh laki-laki,” tuturnya.
Natalia menerangkan saat ini mereka sudah memakai alat yang modern untuk menganyam noken, sementara jaman dulu, jarum yang digunakan berasal dari tulang kuskus.
“Jadi pertama itu Kulit kayu dikikis,, kemudian dikeringkan dan kemudian setelah itu akan dipintal menjadi benang, kalau sudah jadi benang tinggal kita mulai menganyam,” katanya.
Natalia menjelaskan untuk lama pembuatan kalau noken berukuran kecil bisa 3-4 hari pembuatan sementara yang berukuran besar sekali sekitar 1 Minggu pengerjaan.
“Saya sudah usia 35 tahun, saya besar dengan Nenek, nenek yang ajari saya untuk menjahit dan menganyam noken,” pungkasnya.
Mahkota
Petrus Ogolmagai menjelaskan mahkota dari suku Amungme dibuat menggunakan bulu kasuari.
“Itu sudah turun temurun dari nenek moyang sampai sekarang
Jadi kita pegang budaya mahkota ini jadi ini turun temurun selalu diajarkan, semua bahan ini alami dan bukan dari toko,” katanya.
Ia menjelaskan, mahkota asli Amungme hanya bisa dipakai oleh orang-orang penting dan ternama. Sehingga tidak bisa sembarang.

Seorang bapak saat membuat mahkota menggunakan bulu kasuari. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua.com)
“Kalau orang biasa pakai noken di kepala itu biasa, tapi kalau Kawitok dan mahkota itu hanya bisa dipakai oleh orang-orang besar. Banyak budaya mahkota yang dipakai di orang Papua lain, tapi kalau orang Amungme tidak sembarang pakainya. Hanya orang besar yang terpilih saja yang pakai,” jelasnya.
Mahkota dari bulu kasuari itu juga menggunakan rotan sehingga semua berasal dari hutan.
“Jadi bulu kasuari itu kita kumpul lalu diikat menggunakan rotan, dibentuk bulat,” ujarnya.
Ia mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Disparbudpora.
“Saya harap nanti ada rumah adat atau rumah budaya, harus kita kumpul satu tempat untuk bisa melestarikan budaya kami,” tutupnya.
Kawitok
Kawitok adalah sebuah kalung manik-manik asli dari suku Amungme dan hanya bisa dipakai oleh orang-orang kaya pada jaman dulu.
Begitu penjelasan dari Esau Onawame ketika ditemui Sasagupapua.com saat sedang mengamplas kerang.
“Kawitok ini adalah manik-manik nenek moyang kita, orang tua kita, Amungme punya adat itu Kawitok ini sudah,” jelasnya.
Dikatakan, Kawitok tidak sembarang dipakai dijaman dulu.
“Jadi hanya orang kaya yang bisa pakai, orang yang punya banyak babi, banyak kulit bia (alat transaksi barter jaman dulu), jadi hanya orang-orang seperti kepala suku, kalau jaman sekarang seperti bupati atau DPRD pokoknya orang penting saja yang pakai,” terangnya.
“Jadi dulu orang yang pakai koteka, gelang, Kawitok, terus hidung kasih lobang, pakai noken, pakai mahkota lagi itu berarti dia orang kaya, itu tidak sembarang orang, jadi orang bisa tau ini pasti orang kaya dan terkenal,” sambungnya.
Ia mengatakan Orang Amungme pasti mengetahui ketika seseorang menggunakan Kawitok sudah tentu dia adalah orang yang kaya.
“Jadi itu orang kaya yang punya banyak kulit bia, dulu harganya kalau dirupiahkan 1 biji kulit bia saja bisa 1-2 miliar. Jadi itu orang kaya itu punya babi besar, istri banyak, 12-15 anak banyak, kekayaan banyak,” jelasnya.
Kawitok dibuat dengan berbahan dasar adalah siput laut.
“Dulu belum canggih tapi ada alat yang digunakan untuk membela siput adalah Kapak batu, pakai batu baru kasih potong dia, baru bor juga pakai batu tapi Sekarang sudah canggih jadi,” ujarnya.
Pembuatan Kawitok menggunakan kerang atau siput.
“Dulu kerang kita dapat di Paniai, tukar dengan kuli bia, Paniai kan ada
danau, jadi semua turun ke Paniai baru bertransaksi,” pungkasnya.