Umum · 28 Mei 2024 21:27 WIT

Suku Awyu dan Moi Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua di Mahkamah Agung


Perwakilan Masyarakat Adat Awyu dan Moi asal Papua Barat mengunjungi gedung Mahkamah Agung dengan mengenakan pakaian adat, dimana mereka akan menggelar doa, ritual, serta menampilkan tarian adat. Mereka pun membawa sebidang tanah adatnya sebagai simbol untuk diserahkan ke Mahkamah Agung. Demonstrasi mereka menuntut Mahkamah Agung mencabut izin dua perusahaan kelapa sawit di Boven Digoel dan Sorong yang mengancam hutan adat, yang total mencakup lebih dari separuh provinsi Jakarta. Mahasiswa Papua dan kelompok masyarakat sipil lainnya juga akan hadir untuk mendukung perjuangan masyarakat Awyu dan Moi. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace Perbesar

Perwakilan Masyarakat Adat Awyu dan Moi asal Papua Barat mengunjungi gedung Mahkamah Agung dengan mengenakan pakaian adat, dimana mereka akan menggelar doa, ritual, serta menampilkan tarian adat. Mereka pun membawa sebidang tanah adatnya sebagai simbol untuk diserahkan ke Mahkamah Agung. Demonstrasi mereka menuntut Mahkamah Agung mencabut izin dua perusahaan kelapa sawit di Boven Digoel dan Sorong yang mengancam hutan adat, yang total mencakup lebih dari separuh provinsi Jakarta. Mahasiswa Papua dan kelompok masyarakat sipil lainnya juga akan hadir untuk mendukung perjuangan masyarakat Awyu dan Moi. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

PEJUANG lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi–keduanya merupakan suku dari Papua–mendatangi gedung Mahkamah Agung di kawasan Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024) pagi. Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil. 

Lewat aksi damai ini, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.

“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.

Dalam Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan keduanya kini sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung.

Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL).

PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu.

Namun gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun.

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

Perwakilan Masyarakat Adat Awyu dan Moi asal Papua Barat mengunjungi gedung Mahkamah Agung dengan mengenakan pakaian adat, dimana mereka akan menggelar doa, ritual, serta menampilkan tarian adat. Mereka pun membawa sebidang tanah adatnya sebagai simbol untuk diserahkan ke Mahkamah Agung. Demonstrasi mereka menuntut Mahkamah Agung mencabut izin dua perusahaan kelapa sawit di Boven Digoel dan Sorong yang mengancam hutan adat, yang total mencakup lebih dari separuh provinsi Jakarta. Mahasiswa Papua dan kelompok masyarakat sipil lainnya juga akan hadir untuk mendukung perjuangan masyarakat Awyu dan Moi. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata Rikarda Maa, perempuan adat Awyu.

Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.

Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.

“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu; hutan adalah apotek bagi kami; kebutuhan kami semua ada di hutan. Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi.

Keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air.

Perwakilan Masyarakat Adat Awyu dan Moi asal Papua Barat mengunjungi gedung Mahkamah Agung dengan mengenakan pakaian adat, dimana mereka akan menggelar doa, ritual, serta menampilkan tarian adat. Mereka pun membawa sebidang tanah adatnya sebagai simbol untuk diserahkan ke Mahkamah Agung. Demonstrasi mereka menuntut Mahkamah Agung mencabut izin dua perusahaan kelapa sawit di Boven Digoel dan Sorong yang mengancam hutan adat, yang total mencakup lebih dari separuh provinsi Jakarta. Mahasiswa Papua dan kelompok masyarakat sipil lainnya juga akan hadir untuk mendukung perjuangan masyarakat Awyu dan Moi. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

“Kami meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi. Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi tapi juga masyarakat Indonesia lainnya,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka Bentala Rakyat.

Suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum. Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua pun mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi.

“Perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua. Kami mengajak publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dan menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng kita menghadapi krisis iklim,” kata Sekar Banjaran Aji, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.

Berikan Komentar
penulis : Kristin Rejang
Artikel ini telah dibaca 55 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Catatan Komnas HAM: 68 Warga Sipil di Tanah Papua Jadi Korban Kekerasan Sepanjang 2024

11 Desember 2024 - 07:09 WIT

Solidaritas Pelajar Papua Bersuara Dalam Peringatan Hari HAM Sedunia

10 Desember 2024 - 20:42 WIT

Ketidaksesuaian Data, Pleno Tingkat Kabupaten Rekapitulasi Hasil Distrik Kwamki Narama Ditunda

5 Desember 2024 - 23:19 WIT

Jennifer Tabuni: Pleno Tingkat Kabupaten Sementara Berjalan

3 Desember 2024 - 16:13 WIT

Jelang Pencoblosan, KPU Papua Tengah Gelar Pesta Rakyat

24 November 2024 - 12:26 WIT

Ribuan Massa Ikut Kampanye Akbar Paslon MP3, Maximus Janji BLK Terbesar di Asia Pasifik

23 November 2024 - 18:57 WIT

Trending di Politik