SASAGUPAPUA.COM, Jakarta—Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara resmi meluncurkan laporan kritis berjudul “Papua dalam Cengkeraman Militer: Laporan Situasi HAM Papua 2023–2025,” yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube resmi YLBHI, Selasa (16/12/2025).
Laporan ini merupakan sebuah desakan keras kepada pemerintah untuk mengevaluasi total pendekatan keamanan yang dinilai telah memperburuk kondisi hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua.
Dalam pidato pembukaan, Ketua Umum YLBHI, Muhamad Isnur, menegaskan bahwa eskalasi militer di Papua telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
“Pendekatan keamanan yang dominan ini telah merusak ruang sipil dan menimbulkan penderitaan yang tak terhitung bagi masyarakat Papua,” ujar Isnur. Ia menambahkan, “Laporan ini adalah bukti nyata bahwa upaya damai tidak akan pernah tercapai jika negara terus-menerus mengirimkan ribuan pasukan yang alih-alih menjaga, justru menciptakan rasa takut dan krisis kemanusiaan.”
Laporan, yang merupakan hasil kerja mendalam dari tim penulis Emanuel Gobai dan Rizaldi Ageng Wicaksono dan lainnya kemudian dipaparkan secara rinci.
Rizaldi Ageng Wicaksono, sebagai salah satu penulis, memaparkan temuan yang menunjukkan pola-pola impunitas dan kekerasan struktural.
“Dari data yang kami kumpulkan, terlihat jelas adanya peningkatan signifikan kasus pengungsian internal dan pembatasan akses informasi. Ini membuktikan bahwa janji penyelesaian damai di Papua hanya tinggal wacana, sementara di lapangan, yang terjadi adalah pengekangan terhadap hak-hak dasar,” kata Rizaldi.
Selanjutnya, Emanuel Gobai, Perwakilan YLBHI Papua, memberikan perspektif yang lebih mendalam mengenai dampak langsung militerisasi terhadap kehidupan masyarakat adat.
Ia menyoroti bagaimana masyarakat dipaksa meninggalkan tanah ulayat mereka.
“Yang paling menderita adalah orang asli Papua. Mereka kehilangan hak atas hidup yang layak, hak atas pendidikan, dan hak untuk berada di tanah mereka sendiri tanpa rasa takut. Kami meminta, hentikan pendekatan militer, karena dampaknya adalah genosida pelan-pelan terhadap budaya dan kehidupan masyarakat adat,” tegas Gobai.
Diskusi panel kemudian menghadirkan sudut pandang dari lembaga keagamaan dan perlindungan perempuan.
Darwin Darmawan dari Perwakilan PGI menyuarakan keprihatinan gereja terhadap situasi ini. “Gereja sebagai mitra kemanusiaan merasa tertekan melihat konflik ini. Kami percaya, solusi Papua harus mengedepankan dialog berbasis kasih, bukan pendekatan senjata yang hanya melahirkan dendam dan air mata,” jelas Darwin.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, menyoroti dimensi gender yang terabaikan dalam konflik tersebut.
“Perempuan di Papua menjadi korban ganda, baik sebagai bagian dari masyarakat yang terdampak konflik maupun sebagai sasaran kekerasan berbasis gender. Komnas Perempuan mendesak agar penarikan pasukan segera dilakukan, dan ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam resolusi konflik harus dibuka selebar-lebarnya,” pinta Yuni.
Menutup sesi, Anggota DPD RI, Eka Kristina Yeimo, menyatakan dukungan penuhnya terhadap temuan laporan YLBHI.
“Saya sebagai perwakilan dari daerah, melihat laporan ini sebagai cambuk bagi negara. Tidak ada satu pun alasan untuk mengabaikan laporan yang detail ini. Kami akan mendorong agar ada audit total terhadap kebijakan keamanan di Papua dan mendesak agar dialog yang bermartabat dan setara segera menjadi agenda utama pemerintah,” tutup Eka Kristina Yeimo.
Laporan “Papua dalam Cengkeraman Militer” ini bisa anda DOWNLOAD DISINI. Anda juga bisa menonton kegiatan peluncuran Laporan tersebut di CHANEL YOUTUBE YLBHI dalam LINK ini.








