Hukum Kriminal · 10 Feb 2025 10:19 WIT

Ada Dugaan Gratifikasi yang Dilakukan Manajemen PT. Freeport Indonesia Kepada Oknum ASN di Papua


Koordinator Karyawan Mogok Kerja (Moker) PT Freeport Indonesia dan Privatisasi dan Kontraktor, Billy Laly dalam jumpa pers yang dilaksanakan di Timika, Sabtu (8/2/2024). Foto:Istimewa Perbesar

Koordinator Karyawan Mogok Kerja (Moker) PT Freeport Indonesia dan Privatisasi dan Kontraktor, Billy Laly dalam jumpa pers yang dilaksanakan di Timika, Sabtu (8/2/2024). Foto:Istimewa

SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Manajemen PT.Freeport Indonesia diduga melakukan praktek  gratifikasi terhadap sejumlah pejabat di Pemerintahan Provinsi Papua Tengah dan Pemerintahan Kabupaten Mimika.

Hal ini disampaikan oleh Koordinator Karyawan Mogok Kerja (Moker) PT Freeport Indonesia dan Privatisasi dan Kontraktor, Billy Laly dalam jumpa pers yang dilaksanakan di Timika, Sabtu (8/2/2025).

Billy mengatakan dugaan tersebut mencuat berdasarkan temuan dari Inspektorat Provinsi Papua Tahun 2021.

“Sesuai hasil pemeriksaan Audit tujuan tertentu atas dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku Oknum ASN dan oknum Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Pemprov Papua dan Pemkab Mimika tahun 2020,” katanya.

Dugaan gratifikasi tersebut dilakukan oleh PTFI terhadap 6 oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) dan satu oknum Kepala Dinas di Pemprov Papua dan 7 oknum ASN di lingkup Pemkab Mimika.

“Adanya dugaan gratifikasi berupa akomodasi dan transportasi yang dibiayai oleh PT Freeport Indonesia terkait perselisihan hubungan industrial antara Moker dan Freeport,”tegasnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh salah satu karyawan Moker, Obet Biam. Obet mengatakan kisah ketidak adilan yang mereka rasakan semakin rumit dengan adanya temuan dan diduga ada gratifikasi dari PT Freeport Indonesia menyangkut perselisihan hubungan industry antara karyawan Moker dan Freeport.

“Kami hanya butuh keadilan dan bukan janji manis dari pemerintah maupun PT Freeport Indonesia yang harus bertanggungjawab tentang nasib 8.300 karyawan yang di putus sepihak oleh manajemen. Dampak dari keputusan sepihak manajemen PT FI ini telah membuat ribuan karyawan dan keluarga hidupnya terkatung-katung, tolong pemerintah melihat hal ini,” ungkap Obet Biam.

Ia berharap penegak hukum terkait seperti kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak lanjuti adanya dugaan gratifikasi dilakukan PT Freeport Indonesia terhadap oknum ASN Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, berdasarkan Laporan hasil Audit dari Inspektorat Papua.

“Ini sudah sangat jelas berdasarkan adanya laporan hasil audit Inspektorat dimana telah terjadi adanya dugaan gratifikasi, pihak keamanan dan kejaksaan serta KPK sudah harus menindak lanjuti temuan ini. Kami berharap negara hadir untuk memberikan keadilan bagi 8.300 karyawan Moker yang sampai saat ini masih terkatung-katung,”keluh Obet.

 

8.300 Eks Karyawan Freeport Masih Belum Mendapatkan Kepastian

Delapan tahun berlalu sejak aksi mogok kerja massal pada 2017, nasib 8.300 eks karyawan PT Freeport Indonesia masih dalam situasi tanpa kepastian.

Billy Laly, menegaskan bahwa tidak ada bukti hukum yang menyatakan bahwa mereka telah mengundurkan diri.

“Kami mohon rekan-rekan media untuk melakukan klarifikasi. Apakah ada bukti hukum atau fakta hukum yang menyatakan bahwa kami mengundurkan diri? Dari berbagai rekomendasi yang kami peroleh, tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa kami telah di-PHK,” kata Billy Laly .

Billy merujuk pada surat dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Papua pada tahun 2018 lalu yang menegaskan bahwa aksi mogok kerja mereka sah secara hukum.

Selain itu, Komnas HAM juga telah merekomendasikan agar para karyawan dipekerjakan kembali, sementara Kemenkumham pada 2022 menegaskan bahwa sebelum ada putusan tetap dari pengadilan, baik karyawan maupun perusahaan tetap memiliki hak dan kewajiban masing-masing.

“Putusan kasasi pada 2022 juga menegaskan bahwa aksi mogok kerja dari April hingga 1 Mei 2017 adalah sah. Namun, Freeport tetap bersikeras bahwa keputusan ini bersifat personal, padahal jika kita lihat putusan tersebut, jelas disebutkan bahwa mogok kerja itu sah,” lanjut Billy.

Para eks karyawan menilai bahwa pengawas tenaga kerja yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan persoalan ini belum menjalankan tugasnya secara maksimal. Mereka menuntut agar rekomendasi dari berbagai lembaga dihormati dan diterapkan.

“Kami sudah menempuh berbagai langkah dan mendatangi semua pintu. Semua rekomendasi sudah ada, dan saya bisa pastikan tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa kami mengundurkan diri,” tegasnya.

Setelah delapan tahun tanpa kejelasan, para eks karyawan Freeport hanya meminta satu hal yaitu ruang perundingan.

Hingga kini, ribuan eks karyawan Freeport masih berharap ada titik terang atas perjuangan panjang mereka. Dengan berbagai rekomendasi hukum yang sudah ada, mereka menuntut agar hak-hak mereka sebagai pekerja dihormati dan dipenuhi.

“Kami hanya meminta agar ruang perundingan dibuka. Sejak 2018 hingga kini, Freeport masih beranggapan bahwa kami mengundurkan diri, sehingga hak-hak kami seolah tidak ada. Kami ingin duduk bersama dan menyelesaikan persoalan ini secara adil,” pungkas Billy.

Berikan Komentar
penulis : Kristin Rejang
Artikel ini telah dibaca 2,135 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

34 Organisasi Masyarakat Sipil Kecam Pembahasan Revisi UU TNI

17 Maret 2025 - 19:53 WIT

Deddy Sitorus: Miris Lihat Masyarakat Masih Tukar Pangan Lokal Dengan Mi Instan, Hutan Dibabat Habis, Kekayaan Alam Dibawa Keluar

17 Maret 2025 - 15:58 WIT

Bappeda Kabupaten Mimika Gelar Musrenbang Otsus Tahun Rencana 2026: Fokus Untuk Kebutuhan Masyarakat Bukan Keinginan Pemerintah

17 Maret 2025 - 14:55 WIT

Kata Masyarakat Kampung Yoboi: Olah Pakai Mesin, Perempuan ‘Su’ Tidak Ramas Sagu

17 Maret 2025 - 13:06 WIT

Gubernur Meki Nawipa Berkunjung Ke Sekolah GenIUS di Jakarta

17 Maret 2025 - 12:56 WIT

Meki Nawipa Protes Dana Otsus Ikut Terpangkas, Berapakah Total Dana Otsus 2025 di Papua Tengah Sesudah Efisiensi?

16 Maret 2025 - 18:38 WIT

Trending di Jurnalisme Data