Dinginnya malam dan hiruk pikuk Bundaran Timika Indah menjadi saksi bisu perjuangan Ira Imelda Apoka (39), seorang mama Papua asal Timika, yang memilih menjadikan lapaknya sebagai rumah kedua.
Demi membiayai pendidikan keempat anaknya dan bertahan di tengah persaingan ketat, Ira Imelda rela tidak pulang ke rumah selama berhari-hari, mengantar anak-anaknya ujian langsung dari lapak jualan.
Ira Imelda adalah potret ketangguhan perempuan Papua yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap, memaksa Ira untuk memutar otak demi memenuhi kebutuhan dasar dan biaya sekolah anak-anaknya yang berdekatan tingkat pendidikannya: satu baru tamat SMK, satu SMP (menuju SMA), satu kelas 6 SD, dan si bungsu berusia 2 tahun.
“Kami di sini bagi tugas. Siang saya jaga, susun pinang. Nanti malam anak-anak yang SMA dan SMP mereka berdua yang jaga malam. Kami tidur di sini dan tidak pulang,” ungkap Ira Imelda.
Keputusan untuk bertahan 24 jam di lapak bukan tanpa alasan. Akses sekolah yang terjangkau di sekitar SP1 dan Kwamki Baru menjadi pertimbangan utama.
Selain itu, mereka harus menghemat biaya transportasi ojek yang jika pulang-pergi bisa mencapai Rp 50 ribu per perjalanan. Pakaian seragam, sepatu, dan tas sekolah kini tersimpan rapi di dalam lapak, karena semua kegiatan sekolah, termasuk ujian, dimulai dari sana.
Bersaing dengan Pendatang dan Berharap Perda Pangan Lokal Disahkan
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Ira Imelda adalah persaingan dengan pedagang non-Papua.
Menurutnya, pembeli cenderung mendominasi lapak milik pendatang di siang hari. Hal ini memaksa mama-mama Papua sepertinya untuk berjualan hingga dini hari.
“Kalau jujur siang, kami di sini semua sepi karena dominan pembeli semua ke orang pendatang. Makanya kami harus jualan dari malam sampai pagi,” jelasnya.
Penghasilan dari menjual pinang, sirih, dan kapur sangat pas-pasan. Uang yang didapat harus diprioritaskan untuk membeli stok jualan kembali sebelum digunakan untuk makan. Sistem ini diajarkan kepada anak-anaknya untuk membangun ketekunan.
“Pinang harus di meja dulu baru nanti kita makan. Kalau uang pinang itu kami pakai beli makan, bagaimana kita mau beli pinang siri kapur dan lain sebagainya,” tegasnya.
Ira Imelda menyewa lapak sebesar Rp 500 ribu per bulan (termasuk listrik), yang dibayarnya dari hasil jualan harian dibantu pinjaman koperasi harian. Untuk menghemat pengeluaran makan, ia memasak sendiri di lapak, karena membeli lauk di luar bisa menghabiskan Rp 100 ribu sekali makan.
Perjuangan ini memunculkan harapan besar agar Pemerintah Daerah Mimika segera mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pangan Lokal.
Ia mendesak agar komoditas seperti pinang dan sagu dikhususkan untuk pedagang asli Papua, sementara pendatang fokus pada penjualan sembako.
“Kami mau jadi tuan di kami punya tanah. Perda ini harus segera ditetapkan dan disahkan,” pintanya, menyuarakan aspirasi agar mama-mama Papua bisa berkembang di tanah sendiri dan tidak hanya menjadi penonton.
Kebanggaan Seorang Ibu
Di balik kerasnya perjuangan, Ira Imelda merasa bersyukur memiliki anak-anak yang tangguh dan suportif. Mereka tidak pernah malu membantu ibunya berjualan di pinggir jalan.
“Yang saya rasa bangga, malam itu mereka jualan, mereka kadang suruh saya tidur, bilang mama tidur biar kami yang jaga,” ceritanya haru. Anak-anak laki-lakinya aktif membantu mencuci pinang, mengisi kapur, dan memastikan lapak tetap berjalan.
Bagi Ira Imelda, tekad adalah kunci. Ia tidak akan menyerah bersaing dengan non-Papua.
“Perempuan Papua itu hebat. Perempuan Papua itu untuk berjuang bagi anak-anak dia akan lakukan segala cara. Jadi saya tidak akan pernah duduk menyerah,” tutupnya penuh semangat.
Perjuangan Dirasakan Mama Frederika : Rela Tidur 24 Jam di Lapak Bundaran Timika Indah Demi Biaya Sekolah Anak dan Adik
Di bawah kerlap-kerlip lampu Bundaran Timika Indah, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Frederika Waeta (30) juga menghabiskan hari-harinya, bahkan malam-malamnya, di sebuah lapak jualan pinang.
Bukan karena tidak punya rumah, tetapi karena tuntutan ekonomi yang memaksanya menjadi tulang punggung keluarga tunggal selama tiga tahun terakhir.
Mama Frederika, sapaan akrabnya, memiliki tiga anak—masing-masing berusia 7 tahun (kelas 2 SD), 4 tahun, dan 2 tahun—serta beberapa adik yang masih bersekolah.
Suaminya, seorang karyawan kontrak di PTFI, sudah menganggur sejak lama, menjadikan lapak pinang sebagai satu-satunya sumber penghasilan.
Menghemat Biaya Hidup dengan Tidur di Lapak
Sama seperti Mama Ira, selama hampir lima tahun, Frederika memilih untuk berjaga dan tidur di lapaknya 24 jam penuh. Keputusan ini diambil untuk menghemat pengeluaran transportasi.
“Kalau kita pulang balik terus, uang ojek ini 5-10 ribu lumayan juga, jadi terpaksa harus tidur,” jelas Frederika.
Ia tinggal di Jalan Perintis, dan biaya ojek yang terasa memberatkan dalam anggaran harian membuatnya harus bertahan di lapak yang dingin dan banyak nyamuk.
Makanan pun terpaksa dibeli atau dimasak seadanya di lokasi, karena keterbatasan waktu dan mobilitas.
Beban Biaya Sekolah dan Ketergantungan Pinjaman Koperasi
Alasan utama Frederika bertahan adalah biaya pendidikan yang tinggi. Anak-anak dan adik-adiknya bersekolah di yayasan swasta, yang menuntut pembayaran SPP dan uang pembangunan yang besar.
“Kita duduk 24 jam untuk bayar sekolah karena sekolah ini yayasan, jadi kita harus jualan 24 jam,” keluhnya.
Untuk modal awal dan operasional harian, Frederika mengandalkan simpan pinjam dari koperasi harian. Sistem harian dipilih karena dianggap lebih ringan daripada cicilan mingguan.
Namun, ada beban biaya sewa lapak yang harus dibayar rutin setiap bulan sebesar Rp 550 ribu, ditambah biaya tambahan jika menggunakan fasilitas air dan listrik untuk memasak.
Situasi keluarga semakin diperparah setelah kendaraan mereka ditarik, membuat semua mobilitas bergantung pada ojek, yang semakin menambah beban finansial.
Merasa Diabaikan oleh Bantuan Pemerintah Di tengah perjuangan ini, Frederika menumpahkan kekecewaannya terhadap pemerintah daerah. Selama lima tahun berjualan di tempat umum dan terbuka, ia mengaku tidak pernah tersentuh bantuan sosial (Bansos) seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH).
“Dong datang ambil kami punya data tapi kami tidak pernah dapat bantuannya,” ujarnya.
Ia juga ikut menyoroti masalah Perda Pangan Lokal, di mana bantuan dana dari Bank Papua dan dinas terkait lebih sering diterima oleh pedagang pendatang, bukan oleh mama-mama Papua asli yang menjual pangan lokal mereka.
“Kami juga mau kami punya anak-anak ke depan itu berhasil seperti bapak-bapak yang ada duduk yang gantung-gantung perda ini,” tegasnya.
Frederika berharap pemerintah membuka mata dan memberikan perhatian nyata, bukan sekadar pendataan tanpa tindak lanjut.
Harapannya sederhana: bantuan modal atau program yang memungkinkan mama-mama Papua seperti dirinya untuk berkembang, menjadi tuan di tanah sendiri, dan memastikan generasi penerus bisa mengenyam pendidikan yang layak.







