Cerita · 31 Mar 2024 17:03 WIT

Anak Sekolah di Timika, Merawat Budaya, Melawan Zaman


Yansen Reyansem Wanimbo ketika menunjukan hasil karya Mahkota Papua.Foto: Ina/Sasagupapua.com Perbesar

Yansen Reyansem Wanimbo ketika menunjukan hasil karya Mahkota Papua.Foto: Ina/Sasagupapua.com

Perjuangan Siswa SMP YPPK Santo Bernardus Timika, Dididik Agar Paham Budaya

Oleh: Kristin Rejang

PATRIALIS Erlangga Pawara telihat asik duduk dilantai kelas 7.8 SMP YPPK Santo Bernardus Timika, la besama Raphael Parera, Ridho Sitohang dan belasan teman lainnya membentuk lingkaran dengan lihai membagi tugas, ada yang menggunting kulit kayu, ada yang sibuk memegang manik-manik (kerang Papua), ada pula yang merapikan bulu ayam.

“Kami membuat tenggen, gelang yang biasa dipakai di lengan kalau pakai pakaian adat Papua untuk laki-laki,” jelas Patrialis ketika ditanya jurnalis Sasagupapua.com.

Patrialis dengan lihai menjelaskan bagaimana proses pembuatan tenggen tersebut.

“Tenggen ini berbahan kulit kayu, terus dihiasi dengan manik-manik dari kerang, terus pakai bulu kasuari atau karena tidak ada jadi kami pakai bulu ayam,” katanya.

Patrialis bersama teman-teman sudah mempelajari pembuatan tenggen sejak 2 minggu lamanya, tak hanya tenggen, mereka juga sudah diajarkan bagaimana membuat mahkota khas Papua.

Patrialis Erlangga Pawara bersama teman-teman membuat Tenggen, gelang khas Papua. Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com

 

“Awalnya kami merasa susah tapi lama-lama jdi terbiasa karena senang belajar dan bekerjasama dengan teman-teman,” ungkapnya.

Di sisi kiri, tampak siswa perempuan juga terlihat duduk di kursi melingkari meja. Tangan mereka terlihat sibuk merapikan bambu menggunakan cutter, ada pula yang sibuk menggunakan cat air mengoles bambu yang sudah dibentuk.

Mereka membuat sisir bambu. Sisir khas dari Papua ini, digunakan untuk menyisir rambut.

“Hari ini kelompok kami diberikan tugas membuat 5 bambu, kami membuatnya menggunakan bambu, dibentuk terus diamplas, diperindah dengan bulu ayam dan kami gambar motif-motif Papua di sisir menggunakan cat air” jelas Putri Vebrianto Saalino.

Para siswa SMP Bernardus ketika membuat sisir bambu. Mereka bekerja bersama-sama. Foto:Ina/Sasagupapua.com

 

Seorang siswa kelas 7.8. Putri menjelaskan pelajaran budaya selalu mereka ikuti di mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).

Atifah Kayana, siswa kelas 7.2 memamerkan hasil pembuatan mahkota khas Papua. Atifah terlihat antusias menjelaskan bagaimana proses pembuatan mahkota tersebut.

“Pembuatan dua mahkota berlangsung bisa satu hari saja. Saya belajar sudah hampir 1 bulan lebih dan sering kita diberikan tugas tidak hanya buat mahkota tapi buat baju dan lainnya,” jelas Atifah.

Menurutnya dengan adanya pembelajaran mengenai budaya, ia bersama teman-teman bisa meluapkan kreatifitas dan ide.

“Pesan saya, mari kita tetap semangat dalam menjaga dan melestarikan budaya dan karya papua. Mengasah pikiran kreatifitas,” pungkasnya.

Atifah Kayana saat menunjukan hasil pembuatan mahkota Papua. Foto: Ina/Sasagupapua.com

 

Putra Ramba bulo, Derida Esmiralda Chiquitita, Adinda Ezra Victory Sagala, dan Maria Pricillia Riani Riantoby mereka juga berhasil membuat baju khas Papua yang terbuat dari kulit kayu.

“Jadi ini pakai kulit kayu terus dijahit, kami senang sekali bisa mengembangkan karya budaya, ini sangat menambah wawasan kami,” pungkasnya.

Putra Ramba bulo, Derida Esmiralda Chiquitita, Adinda Ezra Victory Sagala, dan Maria Pricillia Riani Riantoby saat menunjukan hasil pembuatan baju khas Papua yang biasa digunakan untuk penari. Foto: Ina/Sasagupapua.com

 

Anak Asli Papua Harus Paham Budaya

Menurut Sanerare Ronsumbre, ia sebagai anak asli Papua merasa bangga karena Papua sangat kaya akan budaya.

“Menurut saya, kita anak Papua harus bisa mengembangkan budaya, belajar terus budaya kita, banyak teman-teman dari luar senang belajar budaya kita, dan kita harus pertahankan budaya kita supaya tetap lestari,” kata siswa kelas 7.8 ini.

Ia mengaku senang karena lewat pendidikan di sekolah, ia bisa belajar budaya Papua.

“Senang sih karena bisa dibudidayakan kembali. Lebih peduli dengan budaya papua di ajarkan di sekolah, tidak hanya budaya di Papua tapi juga budaya dari mana saja kami belajar di sekolah ini,” ujarnya.

Sanerare Ronsumbre tersenyum ketika difoto saat sedang membuat sisir bambu.Foto: Ina/Sasagupapua.com

 

Senada dengan Sanerare, Yansen Reyansem Wanimbo juga mengungkapkan rasa senang karena bisa belajar budaya di sekolah.

“Lewat belajar di sekolah sa tau buat mahkota, sa juga mau belajar anyam noken,” ujarnya.

“Selama saya tidak sekolah disini sa tidak tau cara buat mahkota Papua, jadi sa tau pas sekolah disini baru buat ini,” sambungnya.

Mengajar Budaya Lewat Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan

Lima tahun mengabdi di sekolah SMP YPPK Santo Bernardus, Norbertus Riki Lengitubun atau akrab disapa Rizky ini mengajar budaya lewat mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN).

Secara pribadi, Rizky sangat senang mempelajari budaya-budaya sebab itu adalah identitas dan nasionalisme.

“Setelah perubahan kurikulum dari K13 ke kurikulum merdeka itu memberikan keleluasaan dan bahkan di sini untuk kurikulum merdeka PKN itu hampir sama dengan seni budaya,” ujarnya.

Sehingga memberikan bagian terbanyak dan sebagai pelengkap keinginan Rizky mengajarkan para siswa paham budaya.

Selain mengajarkan siswa membuat karya-karya seperti mahkota, baju adat, sisir bambu dan lainnya, Rizky juga aktif mengajarkan tarian.

Yansen Reyansem Wanimbo sangat senang karena bisa membuat mahkota Papua. Foto: Ina/Sasagupapua.com

 

Terbukti, di sekolah tersebut memiliki sanggar tari yang diberi nama sanggar Tari Dian Cenderawasih. Banyak tarian yang diciptakan oleh Rizky seperti tarian kolosal nusantara, tarian kemerdekaan, tarian yang bercerita mengenai masuknya agama katolik di Papua, dan lainnya.

Menurutnya, generasi sekarang sangat perlu memahami budaya secara mendalam. Sebab anak-anak sekarang harus melawan zaman digital.

“Lewat pembelajaran misalnya saat ini kami mempelajari budaya lokal nah saya harus angkat budaya Mimika, sebab kita harus tahu budaya yang ada di sini, setelah itu baru kita nanti kembali ke masing-masing itu kita belajar kita punya budaya masing-masing. seperti itu,” ungkapnya.

Rizky mengatakan, muatan lokal menjadi mata pelajaran yang harus dipertahankan sebab transisi teknologi saat ini mengancam identitas budaya menjadi hilang.

“Jadi orang suka dengan contoh tarian Daboy dan lainnya. Tarian yang tidak memiliki makna apapun memang boleh itu kreatif tapi harus punya identitas, artinya punya arti di gerakan tersebut,” ujarnya.

Secara kacamata, kata Rizky, kita bisa melihat bahwa anak muda lebih cenderung mulai kurang peduli dengan budaya akibat teknologi.

“Nah dengan sendirinya yosim Pancar, pangkur sagu, tumbuh tanah dan sebagainya akhirnya terpengaruh dan tidak lagi dilirik,” kata Rizky.

Norbertus Riki Lengitubun guru SMP YPPK Santo Bernardus yang sangat senang mengajar tentang budaya kepada para siswa. Foto: Ina/Sasagupapua.com

 

Meskipun Rizky bukan Orang Asli Papua namun ia banyak belajar tentang budaya Papua dan didukung dengan bakat.

“Saya lebih suka tarian Papua walaupun ada orang biasanya mengatakan bahwa amber selalu ingin tahu tapi sebenarnya saya punya oyang mati disini saya anak cucu perintis jadi tidak salah kalau saya belajar budaya disini,” ungkapnya.

Semangat melatih dan mengajar soal budaya sudah menjadi konsen dari Rizky.

“Yah saya semangat walaupun kadang tidak dibayar tidak jadi masalah, saya tidak apa. Saya punya kerinduan itu bagaimana anak-anak ini kembali tahu daerah asal,” kata Rizky.

Ia juga konsen memberikan tugas kepada anak-anak agar paham bahasa ibu kandung.

“Nah di sini kita banyak tersesat artinya banyak orang tua yang tersesat, mereka juga sudah tidak tahu bahasa Ibu. nah ini yang berbahaya, karena lambat laun pelafalan bahasa ibu setiap orang dari suku tersebut berkurang dan bahkan nanti hilang, bahasa aslinya bisa punah. jangan sampai terjadi di kita,” ujarnya.

Guru yang mengajar 10 kelas dalam satu minggu ini mengaku senang karena mendapatkan siswa yang aktif dan antusias belajar budaya.

Menurutnya siswa SMP Bernardus memiliki ciri khas.

“Mereka aktif walaupun mereka dengan keterbatasan dan ada yang kurang disuport dengan pengetahuan (budaya) dari orang tua tapi mereka berusaha untuk mencari tahu sendiri berusaha untuk mencari solusi dalam arti untuk menyelesaikan tugas yah kurang lebih seperti itu,” pungkasnya.

Butuh Gedung Serbaguna

SMP Bernardus Timika memiliki jumlah siswa sebanyak 797 orang yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Saur Simbolon.

Saur menjelaskan pihak sekolah berusaha untuk menanamkan generasi muda agar paham Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa harus membeda bedakan berasal dari mana, suku mana, sehingga ada momen tertentu para guru selalu mengingatkan pentingnya budaya.

Kepala Sekolah SMP YPPK Santo Bernardus Timika, Saur Simbolon. Foto: Ina/Sasagupapua.com

 

“Seperti yang para guru kembangkan disini bukan hanya budaya dari segi tarian tapi juga dari segi jenis makanan, memperkenalkan busana tradisional budaya tertentu. Karena mereka juga dilibatkan menggunakan busana sesuai dengan daerahnya,” katanya.

Saur menjelaskan saat ini kendala yang dihadapi adalah sekolah tidak memiliki aula serbaguna. Ia berharap nantinya bisa memiliki gedung tersebut untuk menunjang kebutuhan para siswa.

“Aula ini harusnya ada karena termasuk dalam hal pembinaan pelestarian budaya, pentas budaya,” pungkasnya.

Berikan Komentar
Artikel ini telah dibaca 340 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Roti SIBI Dari Tangan Anak-anak Spesial di SLB Timika

11 Mei 2025 - 20:14 WIT

Cerita Penambang Ilegal di Yahukimo, Seminggu Bisa Dapat Sampai Empat Ons Hingga Setoran ke ‘Tuan Lokasi’

21 April 2025 - 18:46 WIT

Cerita Motivasi Dibalik Sosok Rafael Taorekeyau, Pemuda Kamoro yang Aktif Bersuara untuk OAP

18 April 2025 - 15:57 WIT

Kata Masyarakat Kampung Yoboi: Olah Pakai Mesin, Perempuan ‘Su’ Tidak Ramas Sagu

17 Maret 2025 - 13:06 WIT

Kisah Perjuangan Hajah Khairi si Montir Bengkel Perempuan di Papua 

11 Maret 2025 - 13:29 WIT

Makna Mendalam Ketika Daun Palem Kering Dibakar Sebelum Rabu Abu

5 Maret 2025 - 01:11 WIT

Trending di Agama