Menempuh perjalanan kurang lebih 35 kilo dari pusat kota Nabire, Kuriana Ramandei (35) bersama suami Kristofel Inarkombu menghabiskan waktu tempuh setiap hari untuk ke lokasi ayam petelur milik mereka yang beralamat di Kaladiri 3, Distrik Nabire Barat, Kabupaten Nabire, Papua Tengah.
Kuriana Ramandey adalah seorang pengusaha ayam petelur asli Papua yang lahir dan besar di Nabire.
Awal Mula Usaha Ayam Petelur
Bermula membantu usaha orang tua dan om. Tiap hari ia tak selalu bersemangat untuk pulang balik Kota Nabire ke Kaladiri untuk belajar bagaimana proses memberikan makanan, mengurus ayam hingga marketing.
Tahun 2024, Kuriana memberanikan diri untuk mulai menjalankan usaha ayam petelur.
“Tapi saat itu modal saya terbatas saja tapi saya beranikan diri untuk maju, hanya bisa belanja ayam saja. Puji Tuhan ada satu kandang yang bapak dan mama punya kosong mereka kasih ijin untuk saya isi ayam,” kata Kuriana.
Perempuan Asli Papua yang juga merupakan seorang ASN di Kabupaten Nabire ini mulai belanja ayam Pullet sebanyak 1.500 ekor.
“Puji Tuhan saat ini sudah mulai produksi dan saat ini saya sudah punya ayam pulet 1.100 ekor itu saya besarkan sendiri,” terangnya.
Ibu yang memiliki satu orang anak ini merasa beruntung bisa menekuni usaha ayam petelur ini sebab selain telur bisa dijual, ayamnya jika sudah afkir juga memiliki nilai jual, bahkan kotoran ayam pun bisa menjadi uang.
“Yang paling penting sekali yang saya lihat di pasaran kabupaten Nabire ini kebutuhan telur sangat tinggi sekali, permintaannya untuk Nabire karena Nabire menjadi pusat perbelanjaan di beberapa kabupaten lain,” katanya.
Tempat usaha ayam petelur juga menjadi sukacita bagi Kuriana dan keluarga untuk menghilangkan penat dari pekerjaan.
“Yang menjadi sukacitanya itu lokasi ayam petelur ini bisa menjadi rekreasi buat saya setelah penat dari pekerjaan,” katanya.
Selain itu, dengan usaha ayam petelur Kuriana juga bisa mendapatkan penghasilan setiap hari.
“Kemudian permintaan telurnya juga banyak jadi kita semangat terus untuk menambah atau melakukan yang baru,” terangnya.
Untuk itu, ia selalu berusaha memperhatikan pakan yang teratur agar ayam bisa produktif menghasilkan telur sesuai dengan target permintaan yang kian hari kian meningkat di Nabire.
Ada Tantangan
Tak selalu berjalan mulus, dalam menekuni usaha ini, Kuriana juga melewati berbagai tantangan seperti pakan ayam yang mereka ambil masih dari luar Papua dengan harga yang terus naik setiap beberapa bulan.
“Karena memang pakannya kita masih harapkan dari luar,” katanya.
Sudah memesan dari luar kadang pakan lambat tiba di kandang sehingga terpaksa jika lambat mereka harus akali dengan belanja jagung untuk mencampur dengan pakan yang tersisa agar ayam bisa makan sebab makanan ayam berpengaruh dengan produksi telur.
Jarak dari tempat tinggalnya ke lokasi ayam petelur juga sangat jauh sekitar satu jam perjalanan dengan tantangan kondisi jalan yang bebatuan serta melewati hutan.
“Karena memang kami memilih lokasi yang jauh dari pemukiman masyarakat,” jelasnya.
Lainnya, saat ini kandang ayam mereka belum memiliki listrik langsung dari PLN sehingga mereka akali dengan memakai genset dan solar sel.
Dalam pemasaran juga Kuriana mengaku tidak selalu mulus. Kadang mereka menghadapi sepinya pembeli telur secara tiba-tiba salah satu penyebabnya karena masih ada telur yang dipasok dari luar Nabire.
“Jadi kalau misalnya ada telur dari luar putaran telur agak lambat yang biasanya sehari langsung kami punya habis semua kadang tersisa satu dua ikat atau dua hari baru habis jadi yang menjadi kendala itu masih ada pemasok-pemasok besar telur dari luar,” kata Kuriana.
Tantangan lainnya ayam yang mati karena sakit. Kuriana membeli ayam 1.500 ekor namun memasuki usia 13 Minggu sampai masa produksi lebih dari 100 ekor ayam mati karena sakit juga karena stres akibat cuaca.
“Kendala pelihara ayam ini pertama menabung karena cuaca. Di Nabire ini cuaca berubah-ubah kadang hujan, kadang panas itu membuat Resiko stres untuk ayam akhirnya menjadi malas makan, karena curah hujan yang tinggi, ada bakteri di air minum itu bisa buat ayam sakit dan bisa banyak yang mati,” katanya.
Namun itu tidak membuat semangat dari Kuriana dan keluarga menjadi luntur. Kini mereka bisa memproduksi telur perhari maksimal kurang lebih enam ikat (per ikat 4 rak).
Produksi setiap hari mereka langsung antar ke pelanggan yang tersebar di beberapa lokasi seperti di Karadiri, SP C, didalam kota hingga beberapa toko roti yang kini suplai telur dari kandang milik Kuriana.
Telurnya dihargai sesuai dengan ukuran, seperti ukuran A (besar) biasa dijual perikat Rp400.000, kemudian ukuran B (sedang) per ikat Rp375 ribu, dan C (kecil) perikat harganya Rp350 ribu.
Pesan untuk Anak Muda Papua
Kuriana aktif membagikan aktivitasnya di kandang ayam petelur miliknya agar menjadi motivasi bagi anak muda khususnya Orang Asli Papua.
Ia berpesan agar anak-anak muda berani untuk melakukan hal yang kecil untuk bisa maju ke hal yang lebih besar.
“Kita harus mulai dulu, geluti suatu usaha tidak bisa langsung memikirkan modal besar akhirnya membuat kita malas tapi kita mulai dengan belajar tentang usaha yang kita tekuni kemudian baru kita pikirkan modal. Dari mana saja bisa datang asalkan kita tau dulu dan bisa belajar,” katanya.
Ia berharap anak muda Papua bersama-sama menjadi pelaksana-pelaksana UMKM.
“Jadi kita tidak hanya sekedar menjadi pembeli tapi kita bisa menjadi pengusaha diatas kita punya tanah sendiri. Asalkan jangan malas, kalau punya uang jangan habiskan dengan minum dan pesta pora, simpan menabung dan jadikan untuk usaha,” pungkasnya.