Budaya · 11 Agu 2024 20:28 WIT

Cerita Pembuatan Film Mgo Wor Ba In’do Na Mgo Mar dan Sampari: Dokumenter Untuk Astronomi Biak


Cerita Pembuatan Film Mgo Wor Ba In’do Na Mgo Mar dan Sampari: Dokumenter Untuk Astronomi Biak Perbesar

PENELITIAN dan Dokumentasi kebudayaan di Papua merupakan tantangan tersendiri bagi para peneliti budaya dan sineas. Diketahui berbagai entitas kebudayaan yang beragam dan majemuk tersebar di Tanah Papua.

Namun unsur-unsur budayanya atau bahkan kebudayaan itu sendiri sedang terancam punah karena disebabkan oleh massifnya arus perubahan sosial-budaya yang berlangsung secara terus menerus selama lebih dari satu abad terakhir.

Sutradara Film, Yonri Revolt menjelaskan Inisiatif membuat dokumentasi audio-visual terkait dengan aktivitas ritual adat atau wor dan pengetahuan astronomi di Biak, merupakan wujud upaya pelestarian budaya dalam kerangka pemajuan kebudayaan nasional Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Undang Undang nomor 5 tahun 2017.

Kegiatan pembuatan film dokumenter kata dia, dipilih sebagai model pendekatan promosi dan diseminasi informasi yang populer di kalangan publik Papua dewasa ini.

“Kegiatan pembuatan film dokumenter dilakukan secara bersama antara Perkumpulan Mambesakologi Tanah Papua, Perhimpunan Yoikatra, dan Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih dengan pembiayaan yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Program Danaindonesiana,” jelasnya.

Proses pembuatan film dokumenter kata dia dilakukan sejak 3 Maret-16 April 2024.

Selama proses dokumentasi, tim telah berhasil menghimpun informasi dari sumber tertulis dan sumber lisan.

Dijelaskan narasumber untuk dokumentasi wor sebanyak 30 orang yang tersebar di kampung Wouna, Dwar, Adoki, Yafdas, Ambroben dan Darfuar.

Sementara narasumber untuk dokumentasi pengetahuan astronomi sebanyak 17 orang yang tersebar di Dwar, Sundei, Parai, Opuri, dan Darfuar. 

Dokumentasi wor juga meliputi proses diskusi kelompok terarah untuk mengidentifikasi eksistensi wor yang masih dilakukan oleh Orang Byak, dengan mengacu pada klasifikasi wor yang diteliti oleh F.C. Kamma pada tahun 1870-1892, yakni sebanyak 44 jenis Wor Byak.

Dalam diskusi yang berlansung di Ruang Peradilan Adat Aidoram Sorido-KBS pada 19 Maret 2024, sebanyak 34 Mananwir (ketua Adat  di 9 wilayah) yang hadir berupaya mengidentifikasi kembali wor yang masih dilakukan.

“Berdasarkan hasil identifikasi, diketahui terdapat 28 jenis wor yang masih dipraktikkan, termasuk 12 jenis wor yang telah mengalami transformasi. Sedangkan 16 jenis wor sudah dikategorikan punah,” terangnya.

Tim juga melakukan dokumentasi terhadap Wor Farbakbuk (perkawinan) di kampung Wouna, Wor Apen Beyeren (tradisi berjalan di atas batu panas barapen) di kampung Adoki dan aktivitas pelestarian wor di sanggar Manyoa di kampung Ambroben.

Sedangkan dokumentasi pengetahuan astronomi meliputi identifikasi terhadap objek astronomi meliputi matahari, planet, bulan dan konstelasi bintang yang menjadi parameter rujukan bagi aktivitas hidup seperti navigasi maritim, menangkap ikan, bercocok tanam, dan berburu.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa orang Biak mengidentifikasi penamaannya sebagai berikut:

a. Matahari disebut Ori.

b. Bulan disebut Paik, dengan 8 siklus bulan yaitu:

  1.  Fase Bulan Gelap (Paik Mor)
  2.  Fase Bulan Sabit Baru (Paik Babo)
  3. Fase Bulan Sabit Setengah (Paik Ker)
  4. Fase Bulan Setengah Purnama (Paik Iki Babo)
  5. Fase Bulan Purnama (Paik Ikoppef)
  6. Fase Bulan Purnama Sabit (Paik Iki Babo)
  7. Fase Bulan Purnama Setengah Gelap (Paik Ker)
  8. Fase Bulan Sabit Mati (Paik Iki Babo)

c. Planet Mars disebut Mak Sup I, Jupiter disebut Koembendi atau Kumimpekem, Saturnus disebut Mak Sup II, dan Venus yang disebut sebagai Makmeser atau Sampari.

d. Dari 88 konstelasi Bintang yang diketahui secara global, orang Byak mengidentifikasi beberapa Konstelasi Bintang seperti Scorpio disebut Romanggwandi atau Romanggwan Beba, Taurus sebagai Mak Kapim, dan Orion sebagai Mak Bukorsarwan, Mak Kasip, atau Sawakoi.

Setelah proses perekaman, kegiatan dilanjutkan dengan proses editing selama Mei hingga Juli 2024.

“Pada akhirnya kami memberi judul ‘Mgo Wor Ba In’do Na Mgo Mar’ untuk dokumenter Wor dan ‘Sampari’ untuk dokumenter astronomi Byak,” katanya.

Selanjutnya dilakukan presentasi perdana di Kampus Uncen, Biak pada 29 dan 30 Juli 2024 untuk mendapat saran dan masukan dari masyarakat Biak terhadap dua film dokumenter tersebut.

“Pelaksanaan pemutaran film Mgo Wor Ba In’do Na Mgo Mar di Biak dihadiri oleh 54 orang yang terdiri dari para Mananwir, tokoh agama, dan mahasiswa,” katanya.

Sedangkan pemutaran film Sampari di Biak, dihadiri oleh 48 orang yang didominasi oleh seniman dan mahasiswa.

“Pemutaran kedua film dokumenter ini kemudian dilanjutkan di Jayapura untuk menghimpun saran dan kritik dari publik Papua,” ujarnya.

Pemutaran film Mgo Wor Ba In’do Na Mgo Mar dilakukan pada 5 Agustus 2024 di halaman Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Uncen), yang dihadiri kurang lebih sebanyak 100 orang.

Sedangkan pemutaran film Sampari dilakukan pada 7 Agustus 2024 di Aula Museum Loka Budaya Uncen dengan dihadiri penonton sebanyak 35 orang.

“Secara umum kami simpulkan bahwa perubahan sosial-budaya yang dihadapi oleh Orang Byak, sangat berpengaruh terhadap perubahan nilai budaya dan sistem pewarisan Budaya Byak,” ungkapnya.

Kemunculan inovasi baru seperti aplikasi sistem pemosisi global (GPS) dan stelarium (pemetaan langit) turut mendorong berkurangnya minat generasi muda terhadap pengetahuan astronomi.

Sedangkan perkembangan teknologi informasi digital berpengaruh terhadap minat generasi muda Byak untuk mempelajari wor.

Kami berharap ke depan masyarakat adat Byak menyiapkan kerangka dan strategi pemajuan kebudayaan, sehingga mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya Byak yang telah diwariskan turun temurun. 

Selama sesi pemutaran film dokumenter di Biak, kalangan Mananwir dan tetua adat melihat bahwa perubahan budaya merupakan tantangan bagi masa depan orang Byak, sehingga menyarankan agar film dokumenter dapat diputar pada sembilan wilayah adat di Biak.

Sedangkan kalangan generasi muda kurang memberikan respon yang berarti, entah karena proses pewarisan tradisi yang tidak berjalan secara baik atau karena minimnya minat untuk melestarikan budaya Byak.

Sedangkan pada sesi pemutaran film dokumenter di Jayapura, tanggapan terhadap film dokumenter Wor adalah perlunya menyelesaikan adegan Wor Apen Beyeren di ending hingga tuntas agar tidak mengganggu fokus penonton.

Pendapat lain menyoroti hal-hal teknis seperti suara yang dinilai masih mentah dan membutuhkan pengeras suara yang memadai terutama dalam pemutaran di luar ruangan.

Antropolog Universitas Cenderawasih, Albert Rumbekwan mengatakan, film ini masih perlu menambah narasumber terutama para narasumber yang menetap di kampung-kampung maritim, di sekitaran Pulau Biak.

Seperti di Kampung Sowek, Kabupaten Supiori dan kampung-kampung di Numfor. Hal ini deperlukan untuk memperkaya pengetahuan yang akan disajikan dalam film.

Kendati demikian, Rumbekwan memahami medan penelitian yang dihadapi para peniliti tidak mudah terutama waktu penelitian yang terbatas hanya satu bulan.

Ia menyarankan agar penelitian ini dapat terus berlanjut hingga seluruh kekayaan pengetahuan yang ada pada SuKu Byak itu dapat didokumentasikan dan menjadi media edukasi dalam rangka pelestarian budaya maritim Byak.

Pengacara Gustaf Kawer yang juga turut menghadiri presentasi publik film Sampari di Aula Museum Loka Budaya Uncen memberikan apresiasi atas kerja-kerja pendokumentasian budaya yang sudah dilakukan oleh Mambesakologi dan Yoikatra.

Menurutnya, karya-karya ini dapat mendongkrak laju pelestarian budaya di Papua.

“Film ini dapat menjadi alat penyadaran bagi setiap orang untuk kembali melihat dan merawat budayanya, khususnya pengetahuan astronomi tradisional yang saat ini tidak banyak dipakai di era moderen ini,” ungkapnya.

Kurator Biennale Jogja, Ayos Purwoaji menyoroti pendekatan artistik yang dipakai dalam produksi film ini.

Film ini tidak takut bereksperimentasi atas penyutradaraan di lapangan seperti penggunaan stellarium untuk menangkap langit tapi sekaligus untuk memantik percakapan.

“Terdapat adegan puitik saat para subjek menanti terbitnya bintang fajar di pinggir pantai, namun hingga terang bintang itu tidak kunjung terlihat,” pungkasnya.

Berikan Komentar
penulis : Edwin Rumanasen
Artikel ini telah dibaca 146 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Ikut PKN, Rumah Kreatif Hallelujah Rawat Budaya Dengan Pertunjukan Tradisi ‘Onaki’ di Atuka

27 Oktober 2024 - 15:05 WIT

Solidaritas Merauke Unjuk Rasa di Depan Kantor Kementerian Pertanahan: Jangan Rampas Hak Hidup OAP

16 Oktober 2024 - 21:01 WIT

Mengejar Mimpi Symphony Amor Marching Band: 100 Persen Anak Adat Mimika yang Ingin Tampil di Istana Negara

10 Oktober 2024 - 09:29 WIT

Komika John Yewen: Papua Butuh Sosok Pemimpin yang Mampu Perjuangkan Hak Masyarakat Adat

28 September 2024 - 18:06 WIT

Dengarkan Suara Koalisi Anak Adat dan BEM Mahasiswa: Masyarakat Harus Pilih Kepala Daerah yang Pro Lingkungan

21 September 2024 - 23:14 WIT

OPINI | Salah Pilih Susah Pulih: Nasib Papua di Tangan bakal calon Tanpa Komitmen Lingkungan dan Hak Masyarakat Adat

20 September 2024 - 09:00 WIT

Trending di Budaya