“ADAKAH Seruan Kidung Natal hari ini di Puncak Nduga. Adakah Natal di gunung di Nduga seperti disini Juga. Dong juga mo rayakan Natal, dong juga mo rasakan natal, biarkan dong sambut sang raja di tanah yang sama Tanah Papua,”.
Begitu sepenggal lirik dalam lagu berjudul Natal Gelap di Nduga yang dinyanyikan oleh Onesias Chelvox Andreas Yoel Urbinas atau lebih dikenal dengan nama panggung Epo D’Fenomeno.
Rapper berdarah Biak, Papua ini, dikenal hingga Internasional karena karyanya yang selalu bercerita tentang Papua.
Ratusan karya musik Rap sudah ia persembahkan seperti yang baru-baru ini dirilis yaitu lagu berjudul Huaaaee Pica ada pula karya lainnya yakni Rapperendum, Feeling Blessed, Ludah Pinang, Faido Ma Maido Fa, dan masih banyak karya lainnya.
Epo memang terlahir ditengah keluarga yang menyukai seni, baik musik maupun seni tari tapi Epo tidak mahir dalam memainkan musik.
“Sebenarnya dari SD hingga ke perguruan tinggi masih ragu dengan cita-cita bahkan tidak terpikirkan untuk menjadi musisi,” kata Epo saat diwawancarai Sasagupapua.com.
Pernah Alami Situasi Broken Home
Sejak kelas 6 SD, Epo telah mengalami situasi broken home dimana harus menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya harus berpisah.
Keadaan tersebut membuat ia dan adik perempuannya sempat bingung memilih dengan siapa mereka tinggal.
“Itu cukup mengganggu mental juga, ade perempuan lebih nyaman tinggal dengan mama, kalau saya kadang dengan mama kadang dengan bapa kadang juga dengan orang lain,” kata Epo.
Dengan situasi tersebut tentu mempengaruhi Epo untuk meraih cita-cita.
“Menurut saya orang tua sudah begini tong mau berpikir untuk sekolah tinggi-tinggi ditambah masalah ekonomi lagi. Memang sebenarnya keluarga juga berkecukupan, seperti tanta, om, tapi mereka semua sudah berkeluarga tidak mungkin saya merepotkan mereka untuk mereka lihat saya lagi,” cerita Epo.
Mulai Menyukai Rap
Epo bercerita tahun 1990-2000an musik RnB, Hip-hop mulai bergaung sehingga merangsang minatnya untuk mendengar musik hip-hop yang ternyata ada pula beberapa musisi Indonesia juga mulai berkarya.
Selain itu, menurut Epo lagu jenis Hiphop memiliki ruang untuk bercerita lebih luas.
Berjalannya waktu, Epo mendengar lagu-lagu dari rapper Indonesia seperti Iwa K, Saykoji, dan lainnya kemudian menulis ulang liriknya untuk dihafal.
Ia mengaku selama ia menjadi musisi agak mengalami kesulitan menulis lagu dari kisah hidup yang dialaminya sendiri.
“Akhirnya emosional itu saya tuangkan lebih ke bercerita tentang keadaan Papua. Ketika saya mau menulis mewakili sa punya kesedihan, itu tidak bisa tapi ketika melihat orang punya kesedihan, malah saya bisa tulis,” ungkapnya.
Saat duduk di SMP sekitar tahun 2006-2007 Epo akhirnya mulai mencoba menulis lagu hingga masuk ke jenjang SMA.
“Sebenarnya dari SMP sudah coba menyanyi. Cuman ada teman yang ajak mendingan main bola saja, tapi sa kayaknya kurang tertarik main bola karena selalu di bangku cadangan, kadang emosi juga,” ujarnya.
Epo menyelesaikan sekolah di SMK Geologi Pertambangan, namun dengan kesibukan sekolah, bagi Epo semua hanya sebagai formalitas, sebab menulis lagu tetap menjadi hal yang paling disukainya.
Ia pun bertemu dengan teman yang memiliki visi yang sama dan memiliki hobi membuat musik digital pada tahun 2008.
Hingga kuliah, Epo dan temannya memilih melanjutkan kulian ke USTJ Jayapura dan mengambil jurusan Pertambangan. Namun menulis lagu bersama temannya tetap ia tekuni.
“Akhirnya kuliah juga berantakan sebenarnya secara latar belakang sekolah ilmu pertambangan sa sudah kuasai, tapi jiwa macam tidak disitu akhirnya tong dua (Epo dan teman) agak terganggu di kuliah sampai sama-sama vakum akhirnya kami pisah disitu 2011 tapi sebelumnya, tahun 2010 kita sudah rilis lagu di situs Reverbnation,” ungkapnya.
Tahun tersebut banyak lagu yang sudah dirilis. “Tapi menurut sa lagu yang berharga itu dia pu judul tangisan anak negeri. Kita bercerita tentang tong anak Papua ini kaya, tapi menangis diatas kitong pu tanah yang kaya,” jelasnya.
Karena tidak melanjutkan kuliah di USTJ, musik pun tak lagi dilanjutkan. Epo mencoba mencari kerja serabutan.
“Karena situasi itu saya berpikir bahwa mendingan sa jangan buat susah orang, sa mau cari hidup sendiri saja sudah,” kata Epo.
Ingin Mengubah Caci Menjadi Puji
Epo terus berjuang dan berusaha untuk mencari pengakuan dari orang-orang terdekat bahwa sukses bukan hanya karena sekolah tinggi dan bekerja di kantoran, namun menurutnya menjadi seniman juga merupakan sebuah pekerjaan. Ia ingin mengubah cacian menjadi puji.
“Akhirnya sa dari situ coba kuatkan niat bahwa sa akan berjuang, untuk tunjukan bahwa menyanyi ini juga kerja,” ungkapnya.
Epo telah mengalami banyak bahasa yang meremehkan apa yang saat itu sedang diusahakan.
“Kita kalau melihat beberapa oknum orang tua Papua berpikir bahwa standar yang selama ini di doktrin adalah kuliah, selesai, kerja itu baru ko bisa jadi orang dalam tanda kutip ko sukses. Akhirnya itu yang jadi standar mimpi menurut sa untuk anak Papua,” ujarnya.
Menurutnya, ketika itu dijadikan standar, akhirnya banyak ruang kosong yang tidak terisi.
“Disitu akhirnya teman-teman pendatang masuk, ada suara-suara yang teriak bahwa hak kesulungannya dirampas dan lainnya, menurut sa memang betul ada beberapa yang datang dan merebut hak kesulungan anak Papua tapi tong harus seimbang. Kita lihat bahwa kita sendiri juga ada yang malas, kita ada yang hanya pikir di satu sudut saja sekolah selesai kuliah dan kerja, kalau sa tra sampai selesai kuliah atau sa tra kerja di kantor berarti sa bukan sukses dan tidak berguna,” ungkapnya.
“Akhirnya itu menjadi standar ukuran, pasar kosong, industri kreatif kosong, sekarang juga tidak hanya OAP yang jual pinang, kita bisa lihat,” lanjutnya.
Epo mengatakan banyak cemoohan yang ia terima karena menyukai musik Rap.
Ia juga sempat mencoba hidup mandiri. Lalu, tahun 2011, Epo bertemu dengan lingkungan yang memiliki selera musik yang sama dan menyebut nama grup mereka adalah DXH Crew akhirnya mulai berkarya.
“Puji Tuhan, bagi yang suka rap di papua kalau sebut DXH Crew di Papua pasti tau,” kata Epo.
Banyak karya dari DXH Crew, mulai awal karir dengan populernya Colombo Zone sampai juga diantaranya tahun 2017 mereka mengeluarkan lagu berjudul Pinang, Sa yang kedua, ada pula lagu berjudul Percuma dan lainnya.
“Memang sebelumnya ada kaka-kaka yang sudah berhasil lebih dulu kami, sayangnya saat itu masih ada penolakan juga. Banyak remeh yang datang. Akhirnya kita generasi kedua ini adalah generasi perintis untuk berusaha buktikan caci bisa jadi puji, tapi akhirnya orang suka dengar lagu rap dan sekarang ade-ade dong sudah tinggal teruskan, ibaratnya generasi pertama cari jalan, kedua dan seterusnya tinggal jalan. Akhirnya di Papua musik Rap jadi satu playlist yang sudah ada,” kata Epo.
Meski demikian masih ada penolakan yang terjadi, karya mereka masih dianggap sepeleh. Akhirnya mereka mencoba berinovasi dengan membuat musik Rap namun ada campuran musik Reggae.
Mencoba di momen natal, membuat musik Rap-reggae natal akhirnya perlahan mulai diterima.
“Dari situ mulai di terima dari teman-teman pemuda gereja putar sambil jalan keliling santa claus, akhirnya kita mulai percaya diri, ada juga truk sampah yang putar kita pu lagu, itu saja tong su senang sekali,” ujarnya.
Begitupun taksi angkot yang kebanyakan adalah orang dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan mereka menyukai sehingga sering diputar dan menjadi familiar.
Lagu-lagu hasil karya Epo dan teman-teman hanya di rilis di situs Reverbnation secara gratis yang penting velue mereka dapat hanya lagu itu disukai oleh pendengar namun tidak bernilai ekonomi.
Seiring berjalannya waktu, Epo bermimpi suatu saat akan ada platform yang hanya setelah membuat lagu, lalu di upload, tayangkan dan akan dapat uang.
Dan akhirnya ada YouTube mulai lahir dan terkenal sekitar tahun 2014-2016. Meski begitu, Epo masih belum mendapatkan pengakuan.
“Tapi masih lumayan panjang karena ada beberapa tong punya keluarga masih beranggapan ko mau jago bagaimana, jago apapun, ko harus kerja, jadi pegawai boleh baru kalau istilah orang Biak bilang ko mambri kalau tidak berarti ko Roynoba, tidak ada apa-apanya begitu,” ucapnya.
Raih Juara di Kompetisi Beef Rap Battle
Beef Rap Battle adalah ajang pencarian bakat khusus Hip Hop yang diprakarsai oleh All Day Music. Acara ini juga mendevelope talent yang menang untuk siap terjun ke industri rekaman.
Tahun 2018, Epo berkesempatan mengikuti ajang tersebut.
“Ada sebuah label besar namanya All Day Music, mereka bikin satu kompetisi yang kalau saya bilang se-Asia tenggara sih karena hadiahnya 100 juta, itu yang ikut seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke,” kata Epo.
Audisi awal yang digelar dilakukan secara gratis hanya bermodalkan satu video Rap akhirnya Epo yang awalnya iseng membuat video dan mengupload, ternyata bisa lolos masuk 100 besar dari 1.200 peserta dan berkesempatan berangkat ke Jakarta.
“Sa pu nama itu urutan ke 99 yang lolos ke Jakarta mewakili Jayapura, Papua,” katanya.
Tantangan awal adalah para peserta harus menggunkan uang pribadi untuk berangkat ke Jakarta.
Epo yang baru saja selesai melangsungkan pernikahan merasa kesulitan mencari uang sebab tabungannya hanya tersisa Rp2 juta namun ia harus memikirkan kebutuhan rumah tangga.
“Sa coba bicara dengan maitua (istri), maitua bilang stop sudah tong su trada uang jadi kayaknya ko tunda saja dulu tidak bisa paksa keadaan,” ungkapnya.
Namun akhirnya, sang istri tercinta, Renny Tomasouw menyetujui keinginan Epo untuk berkarya sesuai dengan komitmen bersama sebelum menikah, sang istri akan terus mendukung hobi-nya.
“Teman lain juga ada dua orang yang lolos baru mereka juga mau berangkat jadi sa tambah pikiran, sa duduk di pojok rumah baru maitua datang bilang kalau ini ko pu mimpi berarti ko kejar tapi ko ingat bahwa kalau su tekad harus kejar harus pulang bawa hasil,” ujarnya.
Bagi Epo mimpinya adalah bisa bertarung dengan para rapper yang berada di Jakarta dan daerah Jawa lainnya untuk menunjukan bahwa Papua juga bisa tampil terbaik dalam dunia Rapper.
Akhirnya Epo memutuskan menggunakan uang tabungan 2 juta yang ia pakai membeli tiket senilai Rp1,8 juta.
“Sisa dua ratus tinggal untuk maitua, jadi hanya bawa tiket saja. Karena di kompleks ada kios, saya coba hutang rokok dengan makanan ringan untuk pakai ganjal perut selama di pesawat, sa bilang sa mau ikut lomba jadi sa hutang dulu nanti balik baru sa ganti,” cerita Epo.
Singkat cerita, Epo mulai bertarung di Jakarta dengan persiapan seadanya ia mengikuti audisi dan akhirnya ia bisa lolos ke 32 besar.
Setelah itu ia bertanding Rap lagi akhirnya kembali dinyatakan lolos ke 16 besar.
Dengan tantangan yang semakin sulit mulai dari menulis lagu sendiri, tidak tidur dalam satu malam, kemudian diberikan jebakan-jebakan saat perform.
Epo mampu melewati semua tantangan hingga akhirnya lolos ke Semi Final yakni 8 besar.
Akhirnya ia lolos ke Final dengan nilai tertinggi dari hasil membuat lagu dibantu oleh teman-teman seperjuangan dari Papua yang sempat lolos pada tahapan awal dan telah gugur pada tahap selanjutnya di dalam Beef Rap Battle tersebut.
“Disitu (Final) yang sa belajar adalah rasa star syndrom ambisi juara mulai muncul karena sa rasa, ah sudah ini sisa 4 orang jadi gampang saja. Pas final karena anggap remeh akhirnya saya keluar sebagai juara 3 nasional waktu itu,” katanya.
Keberhasilannya mendapatkan juara 3 sempat membuatnya patah semangat namun semangatnya terobati karena ia memberikan rasa bangga sebab mampu menghasilkan satu karya dan berhasil ‘mengawinkan’ budaya Biak dengan musik Hiphop.
“Satu hal yang sa impikan juga yaitu kawinkan sa pu budaya Biak dengan musik Hiphop, dan membawa kebanggaan juga bagi kitong orang Biak. Banyak yang akhirnya kirim pesan dan sampaikan, saudara dalam kompetisi itu ko juara tiga tapi bagi kitong orang Biak bilang ko juara satu karena ko bawa nyanyian doa Biak di Jakarta dikawinkan dengan hiphop itu mahal,” ungkapnya.
Dari kompetisi tersebut menurut Epo menjadi suatu kompetisi yang memiliki kenangan dan cerita dalam perjalanan jenjang karirnya.
“Karena itu mulai terbuka panggung-panggung besar untuk sa juga,”kata Epo.
Dari Rap Mampu Mendirikan Rumah Produksi di Papua
Pria kelahiran 22 September 1992 ini telah menghasilkan ratusan karya yang bersuara tentang Papua.
Berangkat dari fasilitas rekaman yang sederhana, kini Epo sudah berhasil memberikan hadiah kepada istri tercinta dan ketiga anaknya, membuat hunian yang nyaman, hingga membeli mobil.
Bahkan Epo juga sudah memiliki studio musik sendiri.
“Dulu kitong hanya lihat orang pu studio, akhirnya dengan suka dan duka kita bisa buat studio. Ini juga mendorong untuk kita tinggal tenang di rumah karena studionya di rumah, sebab bagi musisi studio adalah rumah ternyaman,” katanya.
Konsistensinya sebagai seorang musisi rapper di Papua memberikan visi yaitu menyuarakan Papua melalui karya seni.
Selain itu bisa memiliki industri musik sendiri di Papua. Epo telah berhasil mendirikan satu rumah produksi yang diberi nama Rum.fararur.production sehingga menjadi wadah bagi anak Papua yang ingin berkarya.
Ia juga sedang membuat kompetisi Rap Battle yang bernama Papua Baribut.
“Jadi itu juga pertama kali kita buat label musik yang resmi khusus hiphop di Papua, dan sudah berbadan hukum,” ungkapnya.
Mereka juga memiliki satu media untuk menyuarakan terkait Rapper yang diberi nama Rapporter_Papua. Selain itu Epo juga membuka jasa bagi karya yang ingin dinaikan melalui aplikasi Joox dan Spotify.
“Puji Tuhan dari rap ini sebenarnya bukan mau menyombongkan diri tapi ini saya mau menyampaikan motivasi saja untuk adik-adik jang pernah ragu, kalau ko berhasil sekolah sampai selesai, itu berkat, bahkan nanti ko kerja di kantor, itu juga berkat. Tapi ketika ko sudah mencintai seni, harus semangat, karena seniman tidak pernah pensiun kecuali Tuhan panggil,” kata Epo.
Perkembangan Rap di Papua Menurut Epo
Perkembangan musik Rap di Papua menurut Epo sudah sangat berkembang, bahkan ia berterimakasih untuk kerja keras dari Rapper generasi muda yang sudah menghasilkan karya yang viral bahkan ada yang dipakai oleh artis ibu kota hingga mereka diundang TV nasional di Jakarta.
Namun, ada hal yang disayangkan oleh Epo dimana ada karya anak rapper terbaru lebih banyak mirip membahas seperti tentang kegagalan cinta, dan lainnya. Menurut Epo hal demikian tidak menjadi masalah sebab itu merupakan karya entertainment, namun menurutnya ketika ada di Papua banyak yang membutuhkan suara para Rapper.
“Kitong tinggal di satu tempat yang membutuhkan kitong punya suara juga ketika kita sudah dikenal banyak orang mari kita kasih hidup lagi tong lihat tong pu orang tua atau sesama orang Papua yang lagi susah, tong bantu suarakan dorang. Tra harus jadi lagu juga, misalnya tong menulis saja di sosial media untuk bantu bersuara. Itu saja su cukup sekali, jadi itu saja yang sa harapkan,” katanya.
Satu lagi ada oknum-oknum rapper yang juga mengambil nada lagu dari PNG kemudian mengubah liriknya menjadi aransemen yang lagi-lagi menjurus ke urusan percintaan.
“Dan sa salah satu musisi papua yang dikontak dari label musik di PNG bahwa mereka tidak respek dengan hal seperti begini,” ungkapnya.
Menurutnya, jika ditarik dari sejarah musik di Pasifik, justru musisi Papua yang membuat musisi di PNG menjadi hebat misalnya melalui Black Brothers dan lainnya, bukan sebaliknya.
Sehingga ia mengatakan seluruh masyarakat Papua bukan hanya tanah yang diberkati namun juga diberkati dengan hikmat, sehingga kerja keras dalam berpikir menurutnya itu merupakan suatu pergerakan intelektual yang tinggi untuk manusia. Sehingga perlu adanya inovasi-inovasi.
Epo mengatakan tidak harus ke Jakarta untuk dekat dengan dunia entertainment, namun di Papua saja bisa membesarkan karya musik.
“Puji Tuhan saya sudah berulang kali diundang ke Jakarta dan saya bilang saya musisi Papua bukan musisi Papua Jakarta, jadi kalau kam perlu sa menyanyi kam undang sa dari sini (Papua). Jadi itu sudah, dan lagi-lagi sa mau kasih tau bahwa kitong ini mahal kitong datang dengan kulit hitam rambut keriting berdiri di atas panggung, itu saja sudah berbahasa apalagi kita menampilkan sesuatu hasil ciptaan kita, itu mahal,” ungkapnya.
Pesan-Pesan Untuk Generasi Muda Papua
Sebagai musisi yang peduli terhadap kemajuan di Papua, Epo berpesan kepada para generasi muda Papua agar jangan terlalu memperbanyak diskusi namun harus segera ada eksekusi.
“Karena banyak yang nanti kumpul, bicara banyak sampai pinang 14 kantong bisa habis, ide banyak tapi eksekusi kosong. Jadi sa bilang bangun dari rasa malas itu penting sekali tong akui bahwa masih banyak anak Papua yang malas, jadi tong harus bangun lebih pagi dan tidur lebih malam untuk giat bekerja lagi, bekerja apa saja. Ko tidak akan rendah meskipun ko duduk jualan di pinggir jalan tapi itu ko pu usaha sendiri, turunkan gengsi,” ungkapnya.
Saat ini di Papua juga banyak mengalami konflik sosial maupun politik.
Menurutnya, ada banyak cara sebagai bentuk perjuangan untuk Papua.
“Sa mau terimakasih untuk tong pu saudara dong yang berjuang menyuarakan papua di jalan, di hutan, gunung, lembah, dan di berbagai tempat sa terimakasih,” katanya.
Namun menurutnya anak muda Papua yang ada di daerah perkotaan juga bisa membangkitkan rasa perjuangan misalnya dengan berprestasi di sekolah, lewat dunia kesenian, dan lainnya.
Kata Epo, saat ini perjuangan dalam bentuk prestasi anak Papua tertutup dengan isu politik dan konflik sosial.
Sehingga orang di luar Papua lebih tertarik untuk membaca maupun menonton cerita-cerita konflik dan politik dari pada melihat karya anak Papua.
“Akhirnya kitong merasa bahwa kitong berkarya juga capeh, bikin prestasi capeh, akhirnya terkesannya macam kita yang puji diri sendiri karena kita mengupload sendiri prestasi di sosial media karena tidak ada media yang serius mengangkat hal itu,” serunya.
Ia berharap agar anak muda Papua bisa bergandengan tangan untuk berinovasi, untuk membuat sesuatu yang baru.
Dimana, kata Epo, jika semakin banyak anak Papua, semakin menumpuk dan menjadi gunung menurutnya puncaknya akan semakin kelihatan yaitu prestasi.
Sehingga menurutnya, anak muda harus lebih banyak melihat sisi-sisi kosong di tanah Papua yang belum terisi.
“Kitong jang gengsi, kita isi semua ruang yang kosong, kas tunjuk bahwa bahasa tuan diatas rumah sendiri itu bukan hanya sekedar bahasa saja tapi lewat kerja keras. Pemekaran sudah 6 provinsi kita hanya bisa duduk saja lalu bilang aduh nanti orang transmigrasi ini datang kitong kalah saing. Tidak usah bilang seperti itu kitong harus bergerak sebelum mereka masuk kita harus start bekerja duluan, jadi ketika dong masuk mereka lihat apa yang dong mau buat su ada itu anak-anak asli yang bikin,” pungkasnya.
Penulis: Kristin Rejang