IKATAN Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Mimika Korwil Salatiga-Purworejo menyebut pengiriman bantuan dana operasional dan pemodokan dari Pemerintah Kabupaten Mimika melalui Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) tahun 2023 terpotong.
Mereka menyebut pemotongan ini dilakukan dengan alasan yang tidak jelas, bahkan para mahasiswa mengaku memiliki bukti yang akurat.
Ketua IPMAMI Korwil Salatiga, Lidianus Deikme mengatakan dengan adanya situasi tersebut, pihaknya menuntut beberapa poin.
Pertama, mereka dengan tegas menyampaikan bahwa, tahun 2024 dan seterusnya tim kunjungnan Pemda tidak perlu melakukan monitoring ke 10 Korwil IPMAMI Se-Jawa dan Bali, yang menurut mereka selalu menggunakan alasan perjalanan dinas.
“Itu namanya pemborosan dana operasional maupun pemodokan yang menjadi hak mahasiswa dan pelajar asal kabupaten Mimika,” katanya melalui rilis yang diterima Sasagupapua.com, Senin (21/8/2023).
Mereka juga meminta, terkait dengan bantuan dana operasional dan pemodokan sebaiknya dikirim langsung melalui buku tabungan rekening 10 Korwil yang ada dibawah kepengurusan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mimika Se-Jawa dan Bali.
“Dengan tegas kami meminta kepada kabag SDM Kabupaten Mimika segera membahas dan memutuskan dengan status bantuan Studi diubah menjadi status beasiswa,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan mahasiswa meminta agar melakukan evaluasi pembahasan hasil monitoring dari setiap Kota Study Se-Jawa & Bali.
“Kami juga minta agar dalam pengumpulan persyaratan bantuan studi harus transparan dan jangan memakai sistem perorangan,” katanya.
Terakhir, mahasiswa Salatiga meminta Kabag SDM untuk menjawab proposal terkait bantuan dana natal yang sudah diajukan sejak bulan Juli yang lalu.
Kepala Bagian SDM Pemkab Mimika, Martinus Nuboba menjelaskan tidak ada pemotongan biaya pemondokan maupun operasional seperti yang disampaikan oleh para mahasiswa di Salatiga.
“Jadi pemotongan itu tidak ada. Untuk biaya kontrakan setiap kota kita kasih Rp150 juta, dipotong PPN dan PPh,” jelasnya ketika dikonfirmasi Sasagupapua.com.
Rp150 juta itu diberikan ke setiap kota study untuk biaya kontrakan selama satu tahun. Nahkan Martinus mengatakan angka tersebut selalu disalurkan sama setiap tahunnya.
“Setiap tahun memang angkanya seperti itu,” ungkapnya.
Martinus menerangkan, dana kontrakan biasanya langsung dikirimkan kepada pemilik kontrakan.
“Jadi sebelum mereka (mahasiswa) tinggal di kontrakan, pemkab juga ada persyaratan dimana pemilik kontrakan harus menyertakan dengan nilai kontrak, sertifikat rumah, KTP, Kartu Keluarga lalu kita penandatanganan berita acara, semuanya pemerintah pakai prosedur yang jelas, lalu pembayarannya langsung ke pihak kontrakan,” katanya.
Selain biaya kontrakan, pemerintah juga memberikan biaya operasional setiap tahunnya di setiap kota study untuk menunjang pembayaran seperti listrik, air dan wifi.
“Anggaran operasional itu untuk bayar seperti wifi,air,listrik lampu putus mereka bisa ganti sendiri, jadi per kota studi ada yang 20 sampai 25 juta,” ungkapnya.
Untuk biaya operasional, pemda langsung mengirimkan ke Korwil dan diketahui oleh ketua-ketua asrama.
Penulis: Kristin Rejang