Penulis: Hendrikus Purnomo
TAHUN Politik, mendekati Pemilihan Umum 2024 yang akan diselenggarakan secara serentak diseluruh Indonesia. Saat ini aura kompetisi sudah terasa kian memanas. Di beberapa ruas jalan, dipinggir jalan, dibundaran, diperempatan, dipersimpangan jalan, dan tempat umum kini mulai terpampang baliho, poster, pamplet dan stiker para calon, lengkap dengan promosi, visi, misi dan sesuatu yang ditawarkan. Tentu saja untuk menarik simpati dan untuk menjadi ‘Yang Dipilih.’ Dan terlihat nyata, pemasangannya tidak lagi memikirkan tentang estetika dan keindahan, bahkan terlihat semrawut, tak beraturan.
Namun, terlepas dari hiruk pikuk tentang pemilu, para calon dan masyarakat pendukungnya secara umum terlebih dahulu harus “siap menang dan siap kalah”. Jangan hanya siap untuk menang, tapi tidak siap untuk kalah. Bersaing secara sehat dan tetap santun, saling menghargai, saling menghormati satu sama lain akan lebih elegan dari pada saling menjatuhkan, saling menjelekan melalui media apapun. Kita semua tentu sudah paham apa itu berita palsu (hoax), apa itu provokasi, dan apa itu propaganda politik.
Sayang sekali akhir-akhir ini melalui media televisi, media sosial, media online, youtube, dll kita menyaksikan tayangan yang kurang mendidik, dan lebih menjurus pada hasutan, propaganda untuk membenci calan A, calon B, calon C dan seterusnya. Semua penyaji informasi seperti sudah tidak lagi memperhatikan kode etik. Yang harus kita ingat dan perhatikan bersama, pemilu adalah sebuah moment yang singkat, masa kampanye pun juga ada batasan waktunya. Tetapi kita hidup bersosial tetap akan berlanjut sampai akhir hayat. Di suatu saat pasti kita akan membutuhkan orang lain, di suata moment tertentu kita pasti akan membutuhkan orang lain. Tidak menutup kemungkinan orang lain itu adalah dari orang yang tidak sehaluan, tidak sejalan dalam partai, tidak sejalan dalam politik, tidak sama dalam pilihan di saat ini. Ingat, kedudukan dan jabatan itu ada batasannya. Seseorang tidak akan menduduki jabatan selamanya, dan ingat tidak ada yang abadi dalam dunia poltik.
Ada banyak pemimpin dan pejabat, baik dalam konteks pemerintah, lembaga maupun instansi, ingin bertahan lebih lama dalam jabatan yang dipegangnya, apalagi ketika jabatan itu memberikan nilai tertentu bagi kehidupannya. Andaikan kontribusinya untuk orang lain besar mungkin bisa dimaklumi dan baik untuk didukung. Namun yang banyak terjadi, mereka tetap bertahan sekalipun orang lain tidak merasakan kontribusinya bahkan cenderung mengecewakan. Ada orang yang ingin menduduki jabatan tertentu bertahun-tahun.
Kita bisa sependapat bahwa setiap orang boleh dan berhak menjadi pemimpin, menjadi terdepan, menjadi yang paling atas dan menjadi yang paling penting. Namun tentu saja yang memenuhi beberapa persyaratan. Menjadi seorang pemimpin yang baik dan benar, paling tidak bisa memenuhi tiga kriteria dasar berikut.
Kriteria Pertama, adalah mau dan mampu melakukan segala hal yang menjadi kepentingan orang banyak, baik dalam konteks pemerintah, maupun lembaga. Menjadi pemimpin berarti menjalankan amanat untuk kemajuan dan kemakmuran orang lain. Menjadi pemimpin berarti bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Kesuksesan pemimpin bukan ketika dirinya kaya dan sukses, tetapi ketika yang dipimpinnya sejahtera dan merasakan buah-buah kerjanya dan kebaikannya.
Kriteria Kedua, adalah ’pelayanan.’ Menjadi pemimpin atau menjadi yang terpilih, berarti siap melayani dan membaur bersama yang memilihnya, yang dipimpinnya. Menjadi terdepan berarti siap sebagai penunjuk jalan, menjadi panutan, siap di tengah untuk menemani mendampingi melayani sepenuh hati dan di belakang untuk memberikan dorongan, semangat dan bantuan. Seperti pepatah Jawa yang mengatakan ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani.”
Kriteria Ketiga, adalah mau dan mampu menyelenggarakan kaderisasi atau regenerasi. Mestinya kita selalu memberikan ruang kepada orang lain untuk turut berkembang dan menduduki tempat yang lebih tinggi. Sebagai pemimpin seharusnya menyadari jabatan tersebut tidak akan dimiliki selamanya sehingga sudah menjadi kewajibannya untuk mempersiapkan generasi penerus yang lebih baik dengan tetap menjunjung tinggi independensi. Kepemimpinan perlu berjalan terus silih berganti. (Red)