Lingkungan · 19 Mar 2025 13:56 WIT

Paradox ! Ketika Smelter Logam Mulia Terbesar Diresmikan, Tapi Masyarakat Adat di Papua Masih Terabaikan


Suasana rumah masyarakat di Amamapare yang berdampingan dengan Area Industrial Porsite PT.Freepot Indonesia. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com) Perbesar

Suasana rumah masyarakat di Amamapare yang berdampingan dengan Area Industrial Porsite PT.Freepot Indonesia. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com)

SASAGUPAPUA.COM, TIMIKA – Presiden Prabowo Subianto meninjau sekaligus meresmikan pabrik pemurnian logam mulia atau precious metal refinery (PMR) PT Freeport Indonesia (PTFI) di kawasan PTFI, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, pada Senin, 17 Maret 2025. PMR ini menjadi bagian dari hilirisasi industri pertambangan nasional serta memperkuat kemandirian Indonesia dalam pemurnian dan pengolahan logam mulia.

Dalam Sambutannya, Prabowo menjelaskan, pabrik ini dirintis pada zaman  pemerintahan Joko Widodo.

Dikatakan, berdirinya industri ini, yaitu industri processing sehingga bahan baku konsentrat bisa berubah dan dimurnikan menjadi logam-logam mulia, emas dan perak, dan juga ada beberapa produk-produk lainnya.

“Ini sungguh sesuatu yang sangat penting bagi negara dan bangsa kita. Ini yang kita hendaki bahwa negara kita, bangsa kita tidak hanya akan menjual bahan baku, tapi kita ingin juga menjual barang-barang jadi, barang-barang produk akhir yang punya nilai tambah yang sangat besar. Kita bersyukur bahwa kita punya fasilitas ini, industri ini. Saya diberitahu industri ini instalasi pemurnian logam ini, terutama emas, adalah yang terbesar di dunia dari segi hulu sampai hilir di satu entitas. Jadi ini saya kira perlu kita mensyukuri,” katanya.

Ia mengatakan negara yang seharusnya bersyukur, karena memiliki sumber alam yang cukup besar.

Presiden Prabowo Subianto meresmikan pabrik pemurnian logam mulia atau precious metal refinery (PMR) PT Freeport Indonesia (PTFI) di kawasan PTFI, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, pada Senin, 17 Maret 2025. (Foto: BPMI Setpres)

“Kita sekarang di dunia ini memiliki cadangan emas yang ke-6 terbesar di dunia, cadangan emas ke-6. Kita ingin mengelola kekayaan ini dengan baik, masih terdapat beberapa penyimpangan-penyimpangan, ada illegal mining di mana-mana, ada penyelundupan, penyelundupan emas ke luar negeri tanpa melalui proses yang benar. Ini merugikan negara, bangsa, dan rakyat. Dan ini akan kita tindak, akan kita telusuri. Kita harus terus-menerus memberantas segala penyimpangan, penyelundupan. Penyelundupan keluar Indonesia merugikan penerimaan kita, penyelundupan barang luar ke Indonesia juga mengancam industri kita, mengancam pekerjaan ratusan ribu rakyat kita,” ujarnya.

Prabowo Subianto mengucapkan terimakasihnya kepada semua pihak termasuk kepada Freeport-McMoRan yang katanya sudah lama di Indonesia.

Dikatakan sejak tahun 1968,1967 sampai sekarang sudah 58 tahun.

“I would also like to thank our friends from Freeport, from Freeport, from Phoenix, Arizona. Please pass my best regards to Richard and all my friends there. I just mention that Freeport-McMoRan has been present in Indonesia 58 years, I think, 58 years. And you’ve been a good corporate citizen, a good corporate present in Indonesia, you’ve contributed a lot to our economy. And we would like to see you continue your participation, and your present in Indonesia,” ungkapnya.

Ia mengatakan Freeport hadir sudah cukup lama di kita dan ikut merupakan salah satu kontributor yang besar dalam perekonomian Indonesia.

“Mereka juga menurut saya adalah contoh dari korporasi yang bertanggung jawab, yang baik. Dan sekarang mereka buktikan dengan mereka buat hilirisasi di Indonesia,” ucapnya.

Prabowo juga berharap Jawa Timur harus menjaga dan menjadi tuan rumah yang baik, sehingga kita terus bisa menjadi tempat yang ramah terhadap investasi, tempat yang ramah terhadap perusahaan-perusahaan yang ingin masuk ke Indonesia, ingin berpartisipasi.

Ia mengatakan dengan adanya smelter tersebut akan menjadi kekuatan dan energi baru bagi masa depan Indonesia.

“Saya kira ini yang ingin saya sampaikan. Selamat kepada Freeport Indonesia. Terima kasih juga kepada induk perusahaan Freeport-McMoRan. Congratulations and we look forward to a strong partnership in the years to come. The last time I visited the mind, I think, was 27 years ago. Now I’m a bit older, I hope I’m a bit wiser. Maybe I can get an invitation to visit again. I remember the food in your cafeteria was very good,” ucapnya.

Ia juga mengucapkan terimakasih kepada Gubernur Jawa Timur.

Sementara itu, dalam rilis pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Bahlil Lahadalia menegaska keberadaan pabrik pemurnian (smelter) logam mulia atau Precious Metal Refinery (PMR) milik PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan bukti keseriusan Pemerintah dalam mewujudkan program hilirisasi.

Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang dituangkan dalam program Asta Cita Kabinet Merah Putih.

“Peresmian ini sebagai bukti konsistensi Bapak Presiden dalam mewujudkan apa yang menjadi salah satu program utama, yaitu hilirisasi,” kata Bahlil saat mendampingi Presiden Prabowo pada peresmian smelter logam mulia di Gresik, Jawa Timur.

Keberadaan smelter logam mulia ini, sambung Bahlil, diharapkan dapat menjadi pendorong utama hilirisasi industri pertambangan di Indonesia, meningkatkan nilai tambah produk pertambangan dalam negeri, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen emas utama di dunia.

“Saya pikir ini adalah kesempatan bagi teman-teman pengusaha atau seluruh masyarakat untuk melakukan investasi di bidang emas karena kita tahu salah satu investasi yang stabil di era ekonomi global yang tidak menentu, yaitu emas,” ujarnya.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia saat membawaka sambutan. (Foto: Ig bahlillahadalia)

Bahlil menjelaskan, proyek smelter PTFI merupakan fasilitas pemurnian lumpur anoda yang menggunakan proses hydrometallurgy terbesar di dunia dan menjadi fasilitas pemurnian emas modern pertama di dunia yang terintegrasi dari hulu (pertambangan dan pengolahan) ke hilir (pemurnian). Hal ini tercermin melalui biaya investasi senilai USD630 juta atau setara Rp10 triliun.

Bahlil merinci produksi emas dari 3 juta ton konsentrat yang dibawa dari Freeport diperkirakan mencapai 50-60 ton. Sementara itu, konsentrat dari Amman yang jumlahnya sekitar 900 ribu ton diperkirakan menghasilkan 18-20 ton emas.

Total produksi emas dari kedua pabrik, yaitu di Gresik dan Amman, diharapkan dapat mencapai 60-70 ton per tahun di Indonesia.

“Kita sudah melakukan kontrak dengan Antam sejumlah 30 ton. Sisanya akan kita prioritaskan untuk pasar dalam negeri,” tegasnya.

Sebagai informasi, smelter logam mulia PTFI di Gresik menggunakan teknologi pemurnian hydrometallurgy untuk memproduksi emas. Proses ini menghasilkan emas murni batangan sebagai salah satu produknya. Precious Metal Refinery di PT Smelting Gresik memurnikan lumpur anoda, yang dihasilkan oleh smelter, untuk menghasilkan produk emas pertama pada 30 Desember 2024.

Smelter ini merupakan bagian dari ekspansi PT Smelting Gresik dan memiliki kapasitas Precious Metal Refinery (PMR) sebesar 6.000 ton per tahun. Selain emas, smelter ini juga menghasilkan produk lain seperti katoda tembaga, perak murni batangan, dan PGM (Platinum Group Metals), serta produk sampingan seperti asam sulfat, terak, gipsum, dan timbal.

Walhi Papua Nilai Ada Kisah Masyarakat Asli Papua yang Tertinggal

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua, Maikel Primus Peuki mengatakan pada hari Senin, 17 Maret 2025 merupakan hari yang bersejarah. Dimana Presiden Prabowo Subianto meresmikan produksi smelter emas milik PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur.

Dengan antusiasme tinggi, peresmian ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam industri pertambangan di Indonesia, yang diyakini dapat mengangkat perekonomian nasional dan memberikan lapangan pekerjaan bagi banyak masyarakat.

“Namun, di balik kilau kesuksesan tersebut, ada kisah yang terlupakan. Kisah tentang Orang Asli Papua, para pemilik hak wilayah yang telah tinggal di tanah Papua sejak zaman nenek moyang mereka. Mereka adalah tuan tanah yang hak-haknya kini dipertanyakan,” katanya kepada media ini, Selasa (18/3/2025).

Maikel menuturkan, meskipun tanah mereka menjadi sumber daya alam yang sangat berharga, mereka justru merasa diabaikan dalam proses pembangunan yang melibatkan kekayaan alam itu.

Maikel Peuki Direktur Walhi Papua – Dok Walhi Papua

“Dengan bangunan smelter yang megah dan proses produksi emas yang berjalan lancar, orang-orang asli Papua yang seharusnya menjadi pemilik sah tanah itu malah merasa terpinggirkan. Selama bertahun-tahun, mereka tidak mendapatkan pembagian yang adil dari hasil kekayaan alam yang digali dari tanah mereka. Bahkan, mereka merasa hak mereka diabaikan dan suara mereka tidak didengar dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka,” tuturnya.

Ia mengatakan, pemerintah mendorong pembangunan yang seharusnya bisa menjadi berkah untuk semua pihak, justru malah membuat Orang asli Papua semakin jauh dari akses terhadap kemajuan tersebut.

“Alih-alih diberdayakan dan dilibatkan dalam proyek-proyek besar yang menggunakan sumber daya alam mereka, mereka justru terpinggirkan, bahkan diabaikan dalam perencanaan dan pelaksanaan yang terjadi,” ucapnya.

Maikel mengadakan, ditengah hiruk-pikuk peresmian smelter emas, ada kesedihan yang mendalam di hati orang-orang asli Papua.

“Mereka menyaksikan kekayaan yang mereka miliki dipergunakan, namun mereka sendiri tetap dalam ketertinggalan. Mereka merasa seperti anak tiri di tanah mereka sendiri, terpinggirkan dari kemajuan yang seharusnya mereka rasakan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya keadilan sosial, Lingkungan hidup yang baik dan sehat dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan adat serta tanah adatnya. Terutama mereka yang telah lama menjaga dan merawat tanah tersebut.

Tanpa adanya perhatian yang cukup dan pemenuhan hak-hak mereka, kata dia kemajuan yang terjadi hanya akan menjadi kemenangan yang rapuh, yang kehilangan makna sejatinya.

Dengan munculnya kondisi ini mencerminkan ketimpangan yang ada dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia, di mana masyarakat lokal atau Masyarakat Adat Papua sering kali terpinggirkan, sementara pihak-pihak luar yang memiliki kekuasaan dan modal mendapatkan keuntungan besar.

“Pembangunan yang seharusnya dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat asli Papua, justru malah memperburuk ketimpangan sosial, lingkungan hidup dan ekonomi,”  ujarnya.

Orang Asli Papua, sebagai tuan tanah, terus berjuang agar hak-hak mereka diakui dan dihargai, serta agar mereka dilibatkan dalam setiap keputusan yang menyangkut masa depan mereka.

“Ini memang membuktikan Perampasan Sumberdaya alam emas dari Tanah Papua Harus di Laporkan ke UN PBB melalui mekanisme pengaduan HAM Atas Lingkungan Hidup,” pungkasnya.

Sejak Awal Tidak Ada Pengakuan dan Penghargaan

Presiden Prabowo Subianto berterimakasih kepada semua pihak, termasuk Freeport dan Gubernur Jawa Timur, namun Presiden ke-8 itu tidak memberikan apresiasi dan terimakasihnya kepada masyarakat adat yang berada di lokasi penambangan Amman maupun PT.Freeport Indonesia.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA),  Menuel John Magal mengatakan pihaknya sudah terbiasa tanpa penghargaan dari negara.

“Saya tidak heran karena memang dari awal hadir perusahaan itu di tanah Amungsa dan mereka menerobos, masuk di tanah adat suku Kamoro dan suku Amungme dan akhirnya mereka menambang di gunung sucinya Amungme, nah itu tidak pernah negara tidak pernah menganggap disitu ada orang. Sehingga memang sejak awal itu tidak ada pengakuan dan penghargaan sama sekali dari negara terhadap Amungme,” katanya.

Bayangkan, kata John sekarang dari tanah Amungme, Negara bisa menghasilkan emas 50-60 ton dari tanah Amungsa namun kata dia masyarakat masih miskin dan melarat ditengah-tengah kelimpahan yang luar biasa yang betul-betul itu menjadi kekayaan bangsa hari ini.

“Tapi memang sejak awalnya itu kami dilupakan, sampai hari ini saya juga tidak tau, nasib Amungme kedepan itu seperti apa. Karena pendidikan kami juga masih berantakan, ekonomi kami juga begitu-begitu, kemudian kesehatan dan semua aspek kehidupan kami ini betul-betul perjuangan,” katanya.

Menurutnya tidak ada perhatian lebih bagi masyarakat adat, bahkan tidak ada persiapan yang jelas soal pasca tambah, ketika tambang tutup bagaimana nasib masyarakat.

“Itu sekali tidak ada yang memikirkan itu. Jadi memang sebenarnya untuk menghargai menghormati pemilik tanah adat saja sudah cukup, kalau kami dihargai oke terimakasih gitu, tapi sama sekali ternyata dari negara sendiri ya tidak ada penghormatan itu terhadap kami,” ujarnya.

John menuturkan, sejak tahun 1967 dengan undang-undang penanaman modal nomor 1 tahun 1966 negara sudah melakukan kontrak karya. Kontrak karya itu ditandatangani, kata Menuel, tapi tidak melibatkan masyarakat adat.

“Masyarakat adat itu dibohongi, karena ada satu perjanjian namanya Januari agreement, mereka bilang nanti kami akan bangun masyarakat, begini, begitu, pendidikan lah toko lah, perumahan segala macam tapi semuanya itu tidak pernah jadi,” serunya.

Lalu kata dia, masyarakat diabaikan begitu lama hingga tahun 1994 Lemasa bangkit dan melawan hingga tahun 2000 kemudian ada MOU 2000 yang kata Menuel, didalam MOU 2000 itu juga sebenarnya memiliki perjanjian yang luar biasa jika dilaksanakan semuanya.

Ketua Lemasa, Menuel John Magal. (Foto : Kristin Rejang/Sasagupapua.com)

“Janji yang bagus-bagus tapi sebenarnya bekerjasama dengan masyarakat Amungme itu buang prestasi karena MoU 2000 itu tidak pernah dilaksanakan, kecuali pemberian dana perwakilan itu kepada yayasan Iwamako dan Yayasan Watsing itupun tidak maksimal. Tapi MoU itu tidak dilaksanakan sampai hari ini,” jelasnya.

Ia mengatakan sebenarnya MOU 2000 tersebut berakhir pada tahun 2006 yang harusnya pada tahun 2006 dilakukan evaluasi namun tidak pernah ada evaluasi seolah-olah tidak ada dan masyarakat hingga kini terabaikan.

Ia juga menyebut dana 1 persen juga ada, namun tidak sampai ke masyarakat.

“Dana ini juga kan kemana kita tidak tau, mengalir kemana kita tidak tau karena dana ini besar sekali tapi kok menguap begitu saja dari tahun ke tahun. Masyarakat yang harusnya jadi sasaran dana satu persen ini juga tidak di program yang membuat masyarakat maju itu tidak ada, ini juga menjadi pertanyaan besar juga, dana-dana ini kemanakan,” ucapnya.

Dikatakan jika masyarakat 100 persen betul-betul merasakan dana sosial yang diberikan tentu menjadi hal yang baik. “Tapi masalahnya nama besarnya sampai ke masyarakat, dananya itu hilang ke siapa-siapa yang habiskan masuk kemana itu kita tidak tau,” kata John.

Ia juga mengaku kecewa dengan oknum-oknum yang mengelola dana sosial tersebut. Sehingga menurutnya perlu dibenahi.

“Kalau yang sudah jadi smelter itu kan saya rasa bahwa itu sebrang pulau sana terlalu jauh walaupun emas itu dihasilkan dari tanah kami, didepan mata saja membuat kami itu berantakan, tapi memang saya itu sebagai ketua Lemasa betul betul berharap supaya harus ada sebuah transformasi yang dalam dan mengubah banyak hal,” ungkapnya.

Ia menginginkan masyarakat-nya maju dan tidak dibiarkan miskin serta melarat, pendidikan pun ikut susah.

“Nah ini yang menjadi sebenarnya tanggung jawab moral dan etika itu harus ada di perusahaan ini. Sehingga hal yang dana sosial ini saja sebenarnya bisa sejahterakan masyarakat itu cukup tapi ini saja tidak. Sebenarnya kami suku Amungme rugi banyak, kami miskin, melarat diatas kekayaan kami sendiri. Ini miris sekali sebenarnya,” ujarnya.

Ia menduga angka kemiskinan di Timika juga disumbangkan oleh masyarakat Amungme dan Kamoro.

Seorang Mama asli Kamoro terlihat sedang memasak di depan Bivak. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com)

“Jadi ini betul betul sangat miris yah kelimpahan emas 50-60 ton emas tapi kita sendiri melarat sendiri kan sangat kontradiktif sangat paradoks sale ya orang bilang paradox, jadi aneh begitu,” ungkapnya.

Hanya saja yang menimbulkan kekhawatiran adalah ketika perusahaan tambang tersebut tutup.

“Masyarakat jatuh miskin dan mereka hanya meratapi gunung mereka habis dan jaga gunung yang kosong itu tanpa pendidikan dan skill yang baik, Jadi kalau adil itu, emas kami angkut keluar boleh tapi harus ada kontribusi kepada masyarakat,” ujar John.

Ia berharap agar ada keadilan bagi masyarakat adat di wilayah operasi Freeport.

“Tapi ini saya bilang bahwa keadilan itu tidak ada bagi Amungme, emas kami dikeruk tapi manusia dibuang. Gunung suci kami dihancurkan, diinjak, mereka hanya membutuhkan emas dari perut bumi kami, tapi kami sendiri itu diinjak, dibuang, nah harapan saya semoga presiden Prabowo ini dia bisa memberikan perhatian kepada masyarakat yang tanahnya menghasilkan emas berton-ton, supaya ada rasa keadilan di hati masyarakat,” pungkasnya.

Baca juga Anomali Kemiskinan di Kabupaten Mimika, Kota Tambang

 

Produksi Freeport Hasil Tambang di Timika

Presiden Direktur PT.Freeport Indonesia, Tony Wenas menjelaskan Pada 2023 PTFI berhasil memproduksi tembaga 1,65 miliar pound serta 1,97 juta ounces emas.

Dikutip dari laman website resmi Freeport, dijelaskan dari kinerja operasi PTFI tersebut, PTFI berhasil mencetak laba bersih senilai 3,16 miliar dolar AS atau setara Rp48,79 triliun (asumsi Rp 15.439 per USD).

Secara keseluruhan penerimaan negara dalam bentuk pajak, royalti, dividen, dan pungutan lainnya mencapai lebih dari Rp40 triliun pada tahun 2023, termasuk kontribusi ke daerah mencapai lebih dari Rp9 triliun.

Ia juga menjelaskan, PT Freeport Indonesia (PTFI) menyetorkan sekitar Rp3,35 triliun bagian daerah atas keuntungan bersih perusahaan tahun 2023 kepada Pemerintah Provinsi Papua Tengah, kabupaten penghasil, dan kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah.

“Pembayaran bagian daerah dari keuntungan bersih merupakan realisasi komitmen perusahaan dalam mendorong peningkatan ekonomi pemerintah daerah,” kata Presiden Direktur PTFI Tony Wenas.

Tony merinci dana sekitar Rp3,35 triliun terbagi untuk Pemprov Papua Tengah sekitar Rp839 miliar dan Pemkab Mimika sekitar Rp1,4 triliun. Sementara kabupaten lain di provinsi Papua Tengah yakni Kabupaten Nabire, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya masing-masing mendapatkan sekitar Rp160 miliar.

Dari pelabuhan ini, konsentrat tembaga dikirim ke pabrik peleburan dan pemurnian di Gresik, Jawa Timur, (Foto: ebk.ptfi.co.id)

Tony juga mengaku, PTFI terus berkomitmen memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitar wilayah operasional melalui beragam program investasi sosial. Pada 2023, nilai investasi sosial PTFI mencapai hampir Rp2 triliun dan akan terus bertambah sekitar 100 juta dolar AS atau Rp1,5 triliun per tahun sampai dengan 2041.

“Keberhasilan kami sebagai perusahaan adalah ketika masyarakat di lingkungan sekitar area operasional meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya. Kami terus bertumbuh dan berkembang bersama Papua hingga selesainya operasi penambangan pada 2041,” kata Tony.

 

Suara Perempuan

Kehadiran Freeport pada 1967, melalui Undang “ Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No.1 Tahun 1967, menghadirkan daya rusak di wilayah adat Suku Amungme, Kamoro dan Sempan.

Begitu pernyataan yang diterbitkan oleh pihak Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dengan judul 54 Tahun Tambang Freeport dan Kehancuran Suku Amungme, Komoro dan Sempan yang ditulis oleh seorang tokoh Perempuan Amungme, Adolfina Kuum pada 03 September 2022 lalu.

Dalam tulisan tersebut dikatakan Perusahaan pertambangan raksasa di tanah Papua ini hanya memberikan kesejahteraan pada segelintir orang, tidak untuk suku asli yaitu Amungme, Kamoro, dan Sempan yang tinggal di wilayah Mimika Timur Jauh, Distrik Jita dan Agimuga. Bahkan Selama 54 tahun mengeksploitasi wilayah ini, Freeport telah meluluh lantahkan kepercayaan yang selama ini dipegang teguh oleh Suku Amungme, Kamoro, dan Sempan.

Penari Perang-perangan saat memperagakan kisah dua kepala suku Amungme sedang beradu argumen. (Foto: Edwin Rumanasen/Sasagupapua)

“Dimana suku Amungme menganggap gunung sebagai tempat keramat dan suci, di dalamnya hidup roh dan leluhur mereka. Tanah dianggap sebagai simbol ibu karena memberikan rezeki dan kehidupan,” tulis Adolfina.

Namun kata dia, gunung dan tanah dibabat, dikeruk, dilubangi, dan dihabisi oleh Freeport. Suku Kamoro dan Sempan mereka tidak bisa hidup tanpa sungai, sampan dan sagu. Akan tetapi, nasib mereka sama dengan Suku Amungme, ruang hidup dan sendi-sendi kehidupan mereka dihancurkan oleh Freeport.

Kehadiran PT Freeport juga dianggap memberikan daya rusak yang luas dan mendalam terhadap warga sekitar dan daya rusak akibat operasi Freeport tidak hanya berdampak ketiga suku ini, tapi juga meluas ke masyarakat adat lainnya di tiga distrik dan 27 kampung yang berada di wilayah pesisir dengan perkiraan penduduk 6.484 jiwa.

Mereka tidak lagi bisa mengakses jalur transportasi laut, kehilangan mata pencaharian, kehilangan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebanyak 3.500 penduduk di tiga distrik yaitu Distrik Agimuga, Jita dan Manasari di wilayah Mimika Timur Jauh saat ini tidak lagi memiliki akses jalur transportasi laut. Hal ini dikarenakan sungai yang menjadi jalur transportasi utama mereka telah mengalami sedimentasi dan pendangkalan akibat pembuangan limbah tailing PT Freeport di Sungai Ajkwa/Wanogong.

“Limbah tailing adalah bahan hasil buangan dari proses penambangan bijih emas dan tembaga berukuran seperti pasir. Pada 1970an, tailing yang dihasilkan oleh PT Freeport sekitar 8.000, 10. 000 ton per hari, sekarang sudah mencapai 300.000 ton per hari. Tailing bermerkuri ini dialirkan melalui Sungai Aghawagon/Ajkwa yang berada di sebelah timur Kota Timika,” ungkapnya.

Sungai bagi Suku Sempan dan Kamoro adalah medium transportasi juga sebagai lokus pemenuhan sumber kehidupan. Mereka bergantung terhadap sungai karena di situlah mereka mencari dan mengumpulkan makanan pokok seperti kepiting, ikan, tambelo, udang, dan soa-soa.

Lalu, sagu adalah makanan pokok tradisional dan sumber karbohidrat Suku Sempan dan Kamoro. Akan tetapi, sejak Freeport membuang limbah ke Sungai Ajkwa/Wanogong, pohon-pohon sagu mengering dan menjadi sulit untuk memperoleh sagu.

Rumah Warga Suku Kamoro di Amamapare. (Foto: Kristin Rejang/Sasagupapua.com)

“Saat ini, masyarakat harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan makanan pokok mereka ini. Dengan terpaksa, masyarakat menggunakan perahu-perahu kecil melewati jalur laut. Sedangkan, jalur ini berbahaya, selama 2011-2020 kecelakaan laut terus meningkat,” ujarnya.

Berdasarkan riset Lepemawi (Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh) pada 2017 lalu, terdapat 6 sungai hilang. Hilangnya sungai tidak hanya karena tertimbun oleh endapan limbah beracun, tapi juga karena direklamasi oleh salah satu kontraktor PT Freeport untuk dijadikan port site Freeport agar kapal-kapal besar bisa masuk dan berlabuh. Beberapa sungai yang direklamasi dan ditutup adalah Sungai Yamaima, Sungai Ajikwa/Wanogong, Sungai Kopi, dan Sungai Nipan.

Sungai-sungai ini kata dia, sudah tidak bisa lagi dijadikan jalur transportasi warga, tempat berburu serta sumber pangan lokal. Ini yang menyebabkan masyarakat harus berhadapan dengan ombak laut yang berbahaya.

Salah satu bentuk penghilangan tersebut adalah adalah dengan cara menebang pohon-pohon yang sudah mati dan mengering di sepanjang tanggul timur dan barat.

Masih di sekitaran tanggul Freeport,jelas Adolfina, ada fenomena jutaan ikan mati mendadak di area tanggul timur, pusat pembuangan limbah tailing Freeport.

Fenomena ini kata dia telah terjadi sebanyak empat kali. Pemerintah dan Freeport berdalih bahwa fenomena matinya ikan-ikan di area tanggul timur adalah fenomena alam.

“Akan tetapi, kuat dugaan dari Lepemawi, kalau matinya jutaan ikan secara mendadak ini akibat dari pembuangan tailing Freeport,” ungkapnya.

Aktifitas para pedagang lokal di Eks Pasar Swadaya Kabupaten Mimika.
Foto: Kristin Rejang -Sasagupapua.com

Pada 2017, masyarakat adat yang mendiami Kampung Pasir Hitam dan telah mendiami kampung tersebut secara turun-temurun dipaksa kehilangan tanah leluhurnya karena digusur oleh Freeport.

Mereka kehilangan tempat tinggal, rumah, kenangan, bahkan cita-cita leluhur mereka. Warga Kampung Pasir Hitam mengungsi ke kota ikut sanak saudara, ada juga masyarakat yang mendirikan kamp-kamp di pinggir Sungai Yamaima. Tidak ada lagi kehidupan di kampung mereka yang telah dikepung limbah.

Adolfina juga mengatakan, limbah tailing PT Freeport yang dibuang serampangan ini mempengaruhi kesehatan warga, terutama di wilayah pembuangan limbah.

Misalnya Amatus,yang merupakan salah seorang warga masyarakat adat yang terdampak berkata, Anak-anak perempuan di Kampung Pasir Hitam mempunyai penyakit akut yakni sakit kepala yang datang tiba tiba, penyakit kulit, sesak nafas, kaki dan tangan kram, hilangnya nafsu makan.

Akibatnya, banyak korban meninggal setiap hari dan bulannya.

“Hal ini berdampak dari setiap harinya kami berdiri dan berpijak dengan menghirup udara limbah tailing Freeport, mandi tailing, cuci pakai air tailing,” kata Adolfina.

Masyarakat juga kesulitan air dan hanya mengkonsumsi air hujan.

“Kami sering mengonsumsi air hujan atau kami harus ke kota bermil-mil, walau di jalur transportasi banyak masalah seperti perahu kandas, kami dorong hingga 5 -6 jam untuk ke kota mencari air bersih. Tapi, kalau musim kemarau akibatnya fatal karena terpaksa kami harus lakukan hal yang sebenarnya kami tahu berbahaya tapi terpaksa kami lakukan. Anak-anak mandi di sungai yang terkontaminasi limbah beracun,” ujar seorang warga yang tinggal di sekitar wilayah pembuangan limbah.

Pernah Diadukan ke Pihak DPR RI

Selanjutnya dalam artikel yang ditulis JATAM yang berjudul Lebih dari 6000 Jiwa Menderita Akibat Limbah Beracun, Freeport & Negara Hanya Peduli Cuan, dijelaskan Operasi penambangan PT. Freeport Indonesia yang telah lebih dari setengah abad di tanah Papua, telah menimbulkan derita berkepanjangan bagi warga dan lingkungan hidup. Setelah gunung dibabat dan tanah dirampas dan dilubangi, sungai sebagai ruang hidup warga asli Papua “terutama suku Kamoro dan Suku Sempan, diracuni jutaan ton limbah beracun setiap hari.

Selain tercemar, JATAM juga mengatakan, sungai-sungai yang esensial bagi transportasi dan sumber hidup warga mengalami pendangkalan, hingga sebagian pemukiman penduduk terisolir. Lebih dari 300 juta ton limbah tailing yang dibuang ke laut, diduga sebagai pemicu munculnya wabah penyakit kulit bagi warga, sebagaimana dialami warga kampung Otakwa (Ohotya).

Ironisnya kata JATAM, situasi ini diabaikan. Pemerintah dan Freeport hanya peduli soal saham dan cuan, memastikan pendapatan negara terus mengalir, tak terganggu.

JATAM mengatakan, Pihak Freeport tampak tidak mau bertanggungjawab, lalu berdalih menggunakan peta wilayah konsesinya sebagai dasar pemberian kompensasi terhadap warga terdampak, enggan bertanggungjawab atas segala daya rusak yang dialami warga Suku Sempan, Amungme, Kamoro, terutama warga yang tersebar di 23 kampung di Distrik Jita, Distrik Agimuga, dan Distrik Mimika Timur Jauh.

Sementara Presiden Jokowi, pasca melakukan divestasi saham Freeport sebesar 51,2%, mewanti-wanti publik untuk tak lagi menganggap Freeport milik Amerika.

Realitasnya tulis JATAM, komposisi kepemilikan saham yang besar itu justru tak berdampak pada munculnya kedaulatan negara untuk memastikan ada penegakan hukum atas kejahatan korporasi. Sebaliknya, kejahatan demi kejahatan dibiarkan dan dilanjutkan, bahkan negara justru menjadi bagian dari pelaku kejahatan itu sendiri. Upaya perlawanan dan protes berulang dari warga terdampak pun justru dihadapi dengan tindakan represif negara dan korporasi.

Bahkan, tak jarang kata pihak JATAM, ada cara-cara licik dilakukan Freeport, seperti menyiasati tetua adat tertentu sebagai bagian dari perwakilan warga terdampak, untuk terlibat dalam proses pembahasan AMDAL.

“Cara-cara licik seperti ini, selain tak berdasarkan aspirasi warga secara menyeluruh, justru memicu konflik sosial di tengah-tengah warga,” tulis JATAM.

Rentetan situasi yang terus berulang ini dan dibiarkan itu juga telah diadukan ke pemerintah pusat, melalui Komisi IV DPR RI. Pada Rabu, (01/02/23) lalu, misalnya, anggota DPRD Papua saat itu, sekaligus ketua Kelompok Khusus (Poksus Papua), John Gobay bersama Adolfina Kuum dari Yayasan Lepemawi, Timika melakukan hearing di DPR RI.

Dalam RDP tersebut, John Gobay dan Adolfina Kuum mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit atas seluruh operasi pertambangan Freeport, terutama dampaknya terhadap warga dan lingkungan.

John Gobai dan Adolfina Kum. (Foto: Capture Youtube TVR Parlemen)

Pendangkalan atas sungai-sungai oleh limbah tailing itu nyata terjadi. Kehidupan warga suku Kamoro dan Sempan, yang dikenal  budaya  3S (sungai, sampan, dan sagu) mulai hilang,” ujar John Gobay.

Sementara itu, Adolfina Kuum mempertanyakan ketakberdayaan negara di hadapan sejumlah kejahatan Freeport atas warga dan lingkungan Papua. Pemerintah dan Freeport telah mencuri kekayaan orang Papua. Sementara kejahatan yang dilakukan perusahaan tak pernah dilakukan penegakan hukum, apalagi dilakukan pemulihan dan ganti rugi atas segala kerusakan,” ujar Doli.

Atas seluruh temuan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di atas, M. Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM berpandangan, akuisisi saham Freeport sebesar 51% tak berdampak pada menguatnya kedaulatan pemerintah Indonesia untuk mengatur Freeport agar taat dan patuh ada hukum dan peraturan yang berlaku.

Sedang berlangsung pagelaran pelanggaran hukum yang dilakukan secara bersama oleh korporasi dan negara dengan melakukan pembiaran atas praktik kejahatan tanpa adanya penegakan hukum. Hal ini jelas menunjukkan pembangkangan oleh korporasi negara secara terang-terangan terhadap konstitusi UUD 1945, tegas Jamil.

Menurut Jamil, pembiaran atas seluruh tindak kejahatan itu tidaklah mengherankan, sebab, pemerintah Indonesia telah berkali-kali kehilangan akal sehat dan tunduk pada Freeport.

Pertama, Presiden Megawati pada 2004 menerbitkan Keppres yang melegalkan 13 perusahaan tambang yang lahannya tumpang tindih dengan hutan lindung diizinkan melanjutkan kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut hingga kontraknya berakhir, Freeport menempati nomor urut pertama.

Kedua, Kementerian ESDM RI, menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, yang akhirnya memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah konsentrat ke luar Negeri.

Ilustrasi. Foto: Jatam

Ketiga, Kementerian LHK yang kehilangan akal sehat pada 2018, saat menemukan 22 kegiatan melanggar Amdal, salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka grasberg dari 410 hektar menjadi 584 hektar, menjadikan lima sungai sebagai tempat pembuangan limbah beracun (merkuri dan sianida), bukannya melakukan penegakan hukum, justru malah menerbitkan surat agar Freeport menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).

Keempat, temuan BPK yang menyebutkan terdapat kerugian negara mencapai Rp. 185 triliun akibat saat operasi produksi, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( IPPKH).

Adapun terkait konflik horizontal akibat siasat licik Freeport yang hanya memilih orang-orang tertentu untuk membicarakan AMDAL yang menjadi syarat terbitnya perizinan lingkungan dan dokumen-dokumen lain terkait aktivitas tambang, juga menyalahi aturan.

“Model pelibatan masyarakat ala Freeport adalah salah secara hukum, melanggar ketentuan Pasal 26 UU PPLH 32/2009 dan turunannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 17/2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan,” ujar Jamil.

Menurut Jamil, jika proses tersebut tetap diteruskan oleh Freeport bersama Menteri LHK maka amdal dan perizinan lingkungan yang dihasilkan cacat prosedur dan cacat yuridis sehingga harus batal demi hukum.

 

 

 

 

 

 

 

Dukung karya jurnalistik kami dengan mengikuti Instagram Sasagupapua di:
https://www.instagram.com/sasagupapuanewsroom?igsh=MXFpMWkwaDByOWx1Mw==

Juga Tiktok kami : https://www.tiktok.com/@sasagupapuanewsroom?_t=ZS-8unyMlK4D4c&_r=1

Youtube : https://www.youtube.com/results?search_query=SASAGUPAPUA

Dan jangan lupa kunjungi Website kami di Sasagupapua.com untuk membaca informasi yang ditulis oleh jurnalis kami.

Kami juga hadir di saluran WhatsApp : https://whatsapp.com/channel/0029VaoVIbI7Noa8tmNlQn2f
Ikuti saluran kami di WhatsApp dan jadilah yang pertama mendapatkan berita.

Jika ingin diliput dan berlangganan, silahkan hubungi 081248693994

Berikan Komentar
penulis : Kristin Rejang
Artikel ini telah dibaca 505 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Di Timika, Natalius Pigai Paparkan Tujuh Poin Hasil Pertemuan Dengan Asosiasi Gubernur

13 Mei 2025 - 18:06 WIT

Banjir di Mamberamo Raya, Pemprov Papua Salurkan Bantuan

13 Mei 2025 - 17:53 WIT

Frederikus Kemaku Harap Pemerintah dan Freeport Serius Selesaikan Masalah Lemasko

2 Mei 2025 - 09:53 WIT

Suarakan Hak Buruh, LBH Papua Desak Pemerintah Pusat dan Daerah Penuhi Hak Buruh di Seluruh Wilayah Papua

1 Mei 2025 - 23:57 WIT

Meki Nawipa Minta Pemekaran Kabupaten Hingga Ijin Pertambangan Kembali ke Provinsi

1 Mei 2025 - 17:46 WIT

Pemkab PPT Bantu Ambulance Untuk Dua Rumah Sakit Milik TNI/Polri di Timika

1 Mei 2025 - 15:51 WIT

Trending di Kesehatan