SASAGUPAPUA.COM, Papua – Nada bicara Onesias Chelvox Andreas Yoel Urbinas atau akrab disapa Epo D’Fenomeno terdengar getir namun tegas. Musisi kebanggaan Papua ini tidak sedang membicarakan rilis lagu baru, melainkan sebuah ancaman besar yang menurutnya sedang mengintai peradaban Papua: hilangnya hutan adat akibat instruksi pusat terkait penanaman sawit dan tebu secara masif.
Kritik tajam ini lahir dari keresahan Epo yang melihat adanya jurang pemisah yang semakin lebar antara kebijakan negara dengan denyut nadi kehidupan masyarakat adat Papua.
Bagi Epo, persoalan ini bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan ancaman terhadap eksistensi peradaban yang sudah berakar ribuan tahun di atas tanah Papua.
Hutan: Bukan Warisan, Tapi Titipan Tuhan
Epo mengawali pemikirannya dengan menegaskan posisi sentral hutan bagi Orang Asli Papua (OAP). Ia menilai negara selama berpuluh-puluh tahun gagal memahami bahwa bagi OAP, hutan adalah aturan hidup itu sendiri.
“Masyarakat adat itu hidup tidak terlepas dari hutan yang menyediakan segala sumber daya. Sa pikir itulah bedanya bangsa Papua dengan bangsa yang lain di negara ini, karena negara ini berpuluh-puluh tahun tidak memahami Papua, bahkan apa yang diinginkan dengan cara budaya hidup orang Papua sendiri,” tegas Epo ketika dihubungi media ini, Minggu (21/12/2025).
Ia menekankan bahwa pendekatan terhadap hutan harus berbasis pada “kebutuhan”, bukan “keinginan” atau keserakahan korporasi.
“Kembali lagi, hutan ini adalah sumber daya. Yang diperlukan adalah bagaimana OAP mengelola sumber daya yang sudah ada dengan kuota yang bisa dibatasi. Karena hutan ini bukan manusia punya, hutan ini ciptaan Tuhan. Artinya bukan sekadar warisan, tapi ini titipan Tuhan,” kata Epo.
Ancaman Gastrokolonialisme: Penjajahan Lidah
Satu poin yang paling menghentak dari analisis Epo adalah istilah “Gastrokolonialisme”. Ia melihat hilangnya hutan berdampak langsung pada hilangnya jati diri melalui apa yang dimakan oleh generasi muda Papua hari ini.
“Kehilangan identitas, kehilangan jati diri, di mana kita lihat gastrodiplomasi ini semakin putus. Kitong mengalami yang disebut dengan gastrokolonialisme lewat kebiasaan makan. Kitong generasi saat ini bisa dikatakan kalau belum ada nasi itu berarti belum makan kenyang. Itu hal-hal yang kitong bisa sebut penjajahan lidah,” ujarnya.
Epo menggambarkan betapa ironisnya ketika OAP dipaksa untuk mengadopsi identitas budaya luar yang asing bagi mereka.
“Contohnya OAP diminta untuk menjual gudeg dan menjelaskan gudeg, itu kan bukan identitas secara gastronomi. OAP menjelaskan tentang bahasa Jawa itu agak rancu. Tapi kalau OAP disuruh menjelaskan tentang makanan yang biasa kitong makan, bahasa yang kitong bicara, di situlah letak bagaimana kitong mendominasi diri kita sendiri,” tuturnya.
Antara Kelola Mandiri dan Keserakahan Industri
Solusi yang ditawarkan Epo adalah pemberdayaan, bukan penggusuran. Ia meyakini jika OAP diberikan akses dan keterampilan untuk mengelola hutannya sendiri, alam akan tetap terjaga karena adanya ikatan batin.
“Yang diperlukan adalah pelatihan mengelola sumber daya agar OAP bisa menciptakan industri. Ketika OAP mengelola hutannya sendiri dengan skill, akan ada rasa: ‘Aduh, jang tong ambil banyak, tong ambil secukupnya’. Tapi kita bisa menghasilkan sesuatu yang berdampak untuk ekonomi daerah. Itu bedanya dengan orang yang bukan punya, dia akan ambil dengan gaya rakus,” kata Epo.
Epo juga menyentil bagaimana proyek-proyek besar yang kini disebut Proyek Strategis Nasional (PSN) sebenarnya hanyalah “baju baru” dari pola eksploitasi lama yang telah menghapus nama-nama lokal di peta Papua.
“Sebenarnya PSN ini nama baru saja. Sawit dan penebangan hutan ini sudah berjalan bertahun-tahun. Bahkan daerah tertentu tempat penebangan itu malah disebut bukan nama daerah itu lagi, tapi lebih akrab dengan nama aktivitas perusahaan di situ. Orang-orang yang paham pasti tahu nama-nama itu,” ujarnya.
Kepala Daerah yang Terpasung Sistem
Ketika ditanya mengapa suara perlawanan dari pemangku kebijakan lokal tampak redup, Epo memberikan jawaban yang menohok tentang realitas politik di Papua.
“Kepala daerah harus berbicara, tapi mau bagaimana? Dorang ini kan anak buah parpol, anak buah sistem. Ketika pencalonan kan ada cerita oknum pinjam uang kiri kanan lewat pengusaha, jadi ketika berjalan ke depan su tra bisa, hanya mengikuti tatanan dari atas sampai bawah,” ungkap Epo.
Bagi Epo, keberpihakan para pejabat saat ini seringkali hanya gimik politik demi mengamankan jabatan di periode berikutnya.
“Statement publik untuk membela sesama OAP, sa pikir itu hanya marketing untuk dapat simpati periode berikutnya. Tapi membela harkat martabat dan identitas, sa pikir su tra bisa karena sudah terkontaminasi sistem dan utang modal politik. Ini kenyataan, makanya jangan kaget kalau di tingkat kota dan kabupaten banyak wakil non-OAP.”
Harapan pada Generasi “Coffee Shop”
Menutup pernyataannya, Epo memberikan tantangan kepada generasi milenial dan Gen Z Papua. Ia melihat ada ketimpangan antara keriuhan di media sosial dengan tindakan nyata untuk menjaga hutan.
“Harapan ini agak sulit karena ketika bicara jago, bicara teriak seakan-akan sayang sekali, tapi kenyataannya hari ini adalah mental sosial media. Suara di sosial media penting, tapi tindakan di lapangan juga penting.”
Epo memperhatikan bahwa isu-isu serius seperti kelestarian hutan seringkali kalah saing dengan konten-konten hiburan yang bersifat euforia semata.
“Anak-anak milenial dan Gen Z OAP ini kan coffee shop baru ramai tuh, event, joget-joget di pesta. Tapi kalau forum suarakan hutan, itu sedikit. Kitong berkaca dari karya musisi hari ini; kalau upload suara yang kritis, penonton sedikit. Tapi kalau lagu yang bicara sensasi dan euforia, itu banyak sekali.”
Pesan terakhir Epo sangat mendalam, Jika hak masyarakat adat atas tanahnya hilang, maka segala struktur administrasi negara di Papua menjadi tidak relevan.
“Kalau masyarakat adat sudah tidak punya hak untuk berteriak membela tanah adatnya sendiri, lantas kesejahteraan apa yang diharapkan? Lantas apa gunanya ada provinsi, daerah-daerah, dan suku bangsa dalam negara ini? Bubar saja kalau begitu.”








